Kos Muslim dan Kecurigaan Kita untuk Bisa Hidup Berdampingan

Siasat Mahasiswa Jogja Ngekos Pasutri Demi Tekan Pengeluaran: Rp600 Ribu Dapat Eksklusif, Bebas, tapi Penuh "Drama Keluarga".MOJOK,CO

Ilustrasi kos putri muslim, yang biasanya melarang lawan jenis masuk. Kata Roni, di kos pasutri, hal ini bukan masalah. (Mojok.co)

MOJOK.COPlang bertuliskan ‘terima kos muslim’ yang ditaruh di depan rumah, sepertinya menjadi hal yang biasa. Kira-kira, mengapa identitas agama harus disematkan bahkan sejak dalam urusan tempat tinggal?

Hidup di Jogja perlahan membuat saya mengenali salah satu ciri kuat dari namanya kota pendidikan. Tidak seperti kota asal saya, di kota ini saya melihat begitu banyaknya bangunan yang disediakan untuk dijadikan kos-kosan. Di Jogja, bangunan yang diperuntukkan untuk kos, ada di setiap sudut kota. Ya bagaimana tidak? Lha wong di Jogja, baik universitas, institut, maupun sekolah tingginya juga ada di mana-mana. Dengan merajalelanya kampus, maka tidak mengherankan, orang yang menyediakan kos juga amat banyak.

Mengenai kos-kosan ini, ada satu hal yang ‘menarik’ bagi saya, sejak dulu. Yang berkali-kali saya tanyakan—pada diri sendiri, kenapa banyak di antara papan atau kertas HVS yang di-laminating, biasanya diletakkan di depan pintu atau pagar sebagai keterangan menerima kos. Banyak pemilik kos menggunakan kata, ‘terima kos putra khusus muslim’ atau ‘terima kos putri khusus muslimah’? Kira-kira ini kenapa, Malihhh???!!!

Mengapa identitas agama dibawa-bawa hanya dalam perkara tempat tinggal?

Pikiran yang tiba-tiba ada di pikiran saya, masalah tempat tinggal sementara ini dibeda-bedakan, dikarenakan pemilik kos takut kalau penghuni kos yang non muslim membawa anjing. Pasalnya, hal ini bisa bikin najis seluruh rumah. Lalu, pikiran saya yang lebih waras lainnya meralat. Kalau cuma takut rumahnya jadi najis karena anjing, yaudah sih, tinggal dilarang membawa anjing saja. Jadi, nggak perlu juga ditulis kalau kos-kosan itu khusus untuk orang muslim saja.

Lalu saya mencoba menduga dengan hal lainnya lagi. Ataukah ini adalah informasi bahwa di dalam rumah kos, tidak disediakan tempat beribadah untuk orang selain muslim? Jadi, plang tersebut semacam penegasan, bahwa di dalam kosan cuma ada mushala doang. Tapi, diri saya yang lain lagi-lagi mengkonfirmasi, memangnya kalau cuma perkara tidak disediakan tempat ibadah saja, mereka—yang non muslim—bakal protes? Bukankah di negara yang bersemboyan Bhineka Tunggal Ika ini, sudah biasa di tempat umum hanya ada masjid atau mushala saja?

Dikarenakan pikiran saya hanya mampu menduga-duga, akhirnya saya tanya kepada beberapa teman saya yang kos di kos muslim. Macam-macam jawaban mereka. Namun dari hasil tanya tipis-tipis saya, ternyata plang ‘kos muslim’ itu salah satunya sebagai pertanda bahwa tempat tinggal tersebut ikut serta dalam mencegah pergaulan bebas. Di antaranya dengan jam tutup kos yang nggak malam-malam amat dan nggak boleh membawa teman lawan jenis masuk.

Selain itu, akhlak dan akidah penghuni kos juga dijaga, dengan diadakannya kajian yang terjadwal, terjaganya kebersihan dan kesucian kos-kosan. Hingga aturan mengenai seberapa panjang hijab yang harus penghuni kos muslim kenakan, bahkan yang lebih ekstrem lagi: ada aturan jika mengajak teman perempuan masuk ke kosan—khusus muslimah—dia harus berhijab dan pakai rok.

Mengenai pembatasan jam malam, mungkin masih banyak yang menganggap bahwa keluar malam berafiliasi positif dengan pergaulan bebas. Tapi, mohon maaf nih, jam kampus yang sungguh menyesakkan—dari pagi sampai sore—membutuhkan tambahan waktu lebih lama untuk kita berada di luar. Ya buat bersosialisasi-lah, buat berorganisasi-lah, buat ngerjain tugas kelompok, praktikum, wawancara, dan hal lainnya. Atau bagaimana jika kita bekerja dan mendapat shift malam. Misalnya yang menjadi perawat atau dokter? Oleh karena itu, kita tidak dapat langsung menggeneralisir bahwa keluar malam itu sama dengan menjadi ‘anak nakal’. Selanjutnya, keluar hingga larut malam tidak serta merta melunturkan akidah kita.

Sementara mengenai pelarangan teman lawan jenis untuk masuk, di kosan saya yang—diperuntukkan untuk—umum saja, tulisan tersebut juga ada. Jadi, daripada harus mencatutkan kata ‘muslim’ dalam identitas rumah kos, mengapa nggak ditulis saja daftar larangan dan kewajiban di rumah kos supaya siapa pun—baik penghuni maupun tamu yang datang—bisa menyesuaikan diri?

Jika betul keberadaan kos muslim sebagai upaya untuk menjaga penghuninya dari pergaulan bebas, saya rasa tidak hanya agama Islam yang tidak menyukai si pergaulan bebas. Bukankah, semua agama pun pasti melarangnya? Toh, akhlak dan moral yang baik bukan hanya dimiliki oleh Islam saja, kan? Hal ini lantas, seolah hanya memunculkan gagasan agama di luar Islam, tidak memiliki moral yang baik. Memangnya, agama mana, sih, yang tidak mengajarkan kebaikan?!!!!!

Selanjutnya, kalau karena alasan diadakannya kajian yang terjadwal, mengapa tidak bikin pesantren sekalian? Sementara jika plang tersebut sebagai tanda supaya semua penghuninya bisa saling menjaga kebersihan dan kesucian rumah kos, sebetulnya di pikiran kita, orang non muslim hidupnya se-ngawur apa, sih?!!! Kalau nggak yakin lantai kosannya suci, setelah wudhu—jika kamar mandi luar—kita kan bisa pakai ‘sandal rumah’ untuk menjaga kesucian kita?

Hal lain yang terlintas dalam pikiran saya tentang kos muslim ini: sungguh eksklusif.

Pasalnya, keberadaannya sungguh terasa sangat mengkotak-kotakkan. Ini kan udah kayak diskriminasi sejak dalam kos-kosan. Rumah kos semacam ini seolah hanya mau menerima satu jenis agama—dari golongannya saja. Dikarenakan golongannya dirasa paling terpercaya. Padahal, apakah sudah pasti, orang dalam satu golongan tersebut betul-betul ‘baik’ semuanya?

Dengan pengeksklusifan diri tersebut, bagaimana kita bisa belajar mengenal dan memahami orang yang tidak sepemahaman dengan kita? Bagaimana kita akan belajar untuk tidak menaruh curiga? Lalu perlahan-lahan menerima segala perbedaan yang ada dengan hidup damai dan saling berdampingan?

Exit mobile version