MOJOK.CO – Dengan berbagai daya tarik cerita yang ditawarkan, Kera Sakti mampu membuktikan diri sebagai salah satu serial terbaik di era 90-an.
Entah sudah berapa tahun berlalu sejak terakhir kali saya menonton serial Kera Sakti. Yang jelas, sampai sekarang, ingatan saya pada kisah perjalanan Biksu Tong bersama murid-muridnya ke barat mencari kitab suci itu masih terus melekat.
Serial Kera Sakti, yang kalau dalam Dukcapil Hongkong tercatat dengan nama asli “Journey to The West” dan disiarkan pertama kali oleh TVB itu tak bisa dimungkiri memang menjadi pengisi sebuah ruang khusus bagi jutaan anak-anak Indonesia era 90-an lalu.
Kera Sakti bukanlah serial biasa. Ia spesial. Ada banyak aspek dan nilai-nilai yang terkandung dalam Kera Sakti. Ia memadukan banyak hal yang selama ini sering menjadi obsesi bagi anak-anak (khususnya anak laki-laki): dongeng, makhluk jadi-jadian, dan perkelahian.
Untuk ukuran serial anak, atau setidaknya banyak ditonton oleh anak-anak, saya pikir Kera Sakti mampu menunaikan tugasnya dengan sempurna. Terlalu sempurna malahan.
Sebagai mantan pemirsanya, saya dengan penuh kesadaran tak terlalu sudah untuk mengakui Kera Sakti sebagai salah satu serial anak terbaik di tahun 90-an.
Tentu saja saya punya banyak alasan yang mungkin saja Anda juga menyetujuinya.
Kaya akan pengetahuan fauna.
Di Kera Sakti, penonton bisa menemukan tokoh-tokoh siluman dengan latar belakang hewan. Kekayaan pengetahuan alam khususnya fauna ini tentu bagus bagi anak-anak. Mereka jadi memahami betapa dunia ini penuh dengan keanekaragaman nabati dan hewani.
Dari mulai kera dan babi, tentu saja, kemudian nyamuk, belalang, harimau, ular, kerbau, laba-laba, kalajengking, anjing, kambing, kupu, burung, kucing, ayam, sampai binatang-binatang tak lazim seperti berang-berang dan lipan.
Dari aspek ini, tentu saja Kera Sakti jauh lebih unggul ketimbang serial-serial lain, apalagi kebanyakan sinetron Indonesia yang pengetahuan faunanya sebatas hanya pada tiga binatang saja, yakni ular, belut, dan buaya. Itu pun dalam wujud yang full manusia.
Mengenalkan konsep keberagaman beragama.
Boleh jadi, hanya Kera Sakti-lah yang mampu membuat anak-anak Indonesia, utamanya yang Islam, menjadi tahu akan konsep dan perspektif ajaran agama lain, dalam hal ini, Buddha.
Gara-gara Kera Sakti, ada jutaan anak Indonesia yang sudah mengenal konsep reinkarnasi, bahkan sebelum mereka paham konsep kehidupan selanjutnya di dalam agama mereka sendiri.
Ini tentu saja bagus. Memupuk jiwa kritis sejak masih anak-anak. Perkara nanti ada yang nanya Biksu Tong kalau pagi salat subuh apa nggak, itu lain soal.
Tidak naif.
Salah satu yang paling saya suka dari Kera Sakti adalah penggambaran beberapa tokohnya yang tidak naif. Tidak melulu tokoh yang baik banget atau jahat banget, namun juga ada tokoh yang setengah baik setengah jahat.
Cu Pat Kai, misalnya. Siluman babi murid Tong Sam Cong tersebut kendati tampak baik, namun juga punya sifat egois dan jahat. Ia bahkan pernah tak mau menyelamatkan gurunya saat gurunya diculik. Ia menganggap tugasnya memang sudah selesai sebagai murid.
Contoh lainnya adalah Kera Tung Pei. Sosok yang oleh banyak orang dianggap sebagai musuh terberat rombongan Tong Sam Cong ini bagaimana juga sebenarnya adalah sosok yang punya niat baik. Ia punya niat ingin mengantarkan Tong Sam Cong menjalankan tugas sucinya. Keinginan yang baik tersebut sayangnya terlalu berlebihan, sehingga membuat dirinya amat bernafsu untuk menggantikan Sun Go Kong sebagai murid Tong Sam Cong.
Boleh dibilang, apa yang dilakukan oleh Kera Tung Pei ini adalah bentuk fastabiqul khoirot namun dengan cara yang salah.
Mengaduk emosi.
Tak banyak serial yang mampu mengaduk emosi anak-anak yang menontonnya. Dari sekian yang tak banyak itu, Kera Sakti adalah satunya.
Kera Sakti bukan hanya menawarkan banyak adegan yang lucunya setengah mati, namun juga menghadirkan adegan yang sedihnya nggak ketulungan.
Adegan ini, misalnya.
Sun Go Kong menghajar siluman tengkorak yang sedang menyamar sebagai manusia. Tong Sam Cong yang tak tahu bahwa yang dihajar oleh Sun Go Kong sejatinya adalah siluman tengkorak kemudian marah besar. Ia kemudian tidak mengakui Sun Go Kong sebagai muridnya lagi dan mengusirnya.
Sun Go Kong berusaha meminta maaf. Namun tiap kali Sun Go Kong bersujud, Tong Sam Cong berpaling darinya. Tak menyerah, Sun Go Kong kembali berlari ke arah gurunya berpaling dan kembali bersujud. Tong Sam Cong kembali berpaling ke arah yang lain.
Sun Go Kong kemudian menggandakan dirinya menjadi empat dan bersujud mengelilingi gurunya dari empat arah mata angin.
Backsound-nya yang sedih membikin air mata saya semakin deras. Apalagi saat Sun Go Kong menangis dan kemudian terpaksa meninggalkan guru dan dua saudara seperguruannya.
Saat menonton adegan itu, saya menangis tersedu-sedu. tapi tentu saja, sambil menangis, dalam hati saya tetap mengumpat, “Biksu Tong goblooook!”
Membuat anak-anak Indonesia jadi bisa ngerap.
Sejarah mencatat bukan lagu-lagu Iwa K, Saykoji, atau Eminem yang mampu membuat anak-anak Indonesia bisa nyanyi rap, melainkan Ost Kera Sakti.
Hampir mustahil menemukan anak 90-an yang tak hafal lirik “Seekor kera, terpuruk, terpenjara dalam goa di gunung tinggi sunyi tempat hukuman para dewa…”
Lagu yang dinyanyikan oleh grup rap Sindikat 31 tersebut sukses menjadi lagu rap yang, boleh dibilang, paling terkenal dan paling dihafal sepanjang sejarah Indonesia sampai saat ini.
Hafalan anak-anak 90-an akan lirik lagu ini mustahil ditandingi oleh lagu dari serial atau sinetron mana pun. Tingkat hafalnya bahkan hanya setingkat di bawah hafalan orang Islam pada surat Al-Fatihah.