Kenyataannya, ‘Semesta Bekerja untukmu’ Bukan Sesuatu yang Romantis-Melankolis

semesta bekerja untukmu rumah kosong kobra ulat bulu kehancuran dunia mojok.co

semesta bekerja untukmu rumah kosong kobra ulat bulu kehancuran dunia mojok.co

MOJOK.COKondisi kita yang tidak baik-baik saja adalah pertanda dunia yang tidak baik-baik saja. Lihatlah apa yang terjadi dengan dunia sekarang, masihkah kamu bisa menganggap “semesta bekerja untukmu” sebagai kalimat yang manis?

Semesta bekerja dan ia mendatangkan ular kobra ke pemukiman. Semesta bekerja dan kini ia mengganti ular kobra dengan ulat bulu. Iya, mulanya ini tentang teror ular kobra yang sudah lewat dan sekarang berganti dengan teror ulat bulu.

Waktu kobra pada bermunculan di sejumlah wilayah di Jawa, ahli reptil yang diwawancarai media mengatakan, memang dasarnya musim hujan tuh adalah saat telur kobra menetas. Terus sekarang musim hujan juga jadi alasan sebagai waktunya ulat bulu syut-syut-syut, merayap ke dinding-dinding rumah.

Pertemuan hewan-hewan ini dengan manusia melampaui perkara horor dan ketakutan. Misalnya, ada pembahasan bahwa wilayah-wilayah kemunculan kobra adalah lokasi yang dulu persawahan dan semak-semak habitat ular yang kemudian dirambah menjadi pemukiman.

Di sini, kobra kemudian yang jadi korban yang tak bisa disalahkan. Sudah tergusur, sekarang dianggap teror. Padahal dia cuma bingung karena kehilangan rumah. Nasib kobra cuma melanjutkan nasib harimau, gajah, badak, orang utan, ubur-ubur, badak. Mereka masuk pemukiman dan bikin manusia ketakutan karena salah manusia sendiri, sudah menjarah makanan dan rumah mereka. Bagi hewan-hewan itu, bukan semesta yang bekerja, tapi manusia.

Buat membetulkan cara pandang kita, Garda Satwa Indonesia sampai bikin postingan Facebook.

“Kepada media-media di Indonesia, stop memberitakan seolah hewan-hewan ini meneror hidup manusia.

“Tempat mereka memang di hutan, manusia yang ambil tempat tinggal mereka, merusak habitatnya, lalu manusia pula yang bertingkah seolah manusia korbannya dan hewan-hewan ini penjahatnya.

“Taman nasional banyak hancur dikeruk isinya, untuk tambang, diambil kayunya, setelah dirusak, ditinggalkan dan membuka lahan baru lagi tanpa perbaikan. Sekitar 100 juta hektar hutan Indonesia gundul, dan kalian masih menuding hewan-hewan ini penjahatnya?“Ayo pemerintah, jalankan UU konservasi. Rawat hutan Indonesia beserta isinya, itu tugas negara. Tak melulu mementingkan kesejahteraan manusia dan pembangunan ekonomi. Semua harus seimbang, tinggal ini sisa kekayaan kita untuk Indonesia di masa mendatang.”

Sungguh masalah yang mestinya bikin aww malu bangt.

Tapi bukan cuma itu (astaga, saking seringnya menuliskan kata ini di Mojok, saya sampai merasa diksi ini klise).

Cermati berita-berita kemunculan kobra dan ulat bulu, maka Anda akan menemukan pengakuan warga bahwa hewan-hewan ini berkembang biak di rumah kosong dalam satu pemukiman.

Pikiran saya sekarang melayang ke rumah-rumah kosong itu. Rumah tipe sederhana di kompleks murah, rumah gedongan yang senantiasa menyala lampunya karena tak berpenghuni, rumah-rumah dengan tulisan dijual/dikontrakkan yang tak kunjung dicopot plangnya selama berbulan-bulan.

Ternyata berkaraoke, bersenda gurau dengan teman dan keluarga, atau ngakak-ngakak saat melihat postingan lucu memang cuma pelarian. Semesta bekerja dan kenyataan yang disodorkan bukan sebuah dunia yang baik-baik saja. Kita hidup dalam skema ekonomi, sosial, dan politik yang rumit. Maksud saya, hampir mustahil menyalahkan orang yang berinvestasi pada rumah dan tanah bermodal uangnya yang tak seberapa. Itu satu-satunya cara bisa hidup dengan aman di usia tua, setelah puluhan tahun banting tulang.

Tapi orang-orang kaya tetap punya dosa lebih besar. Mereka menikmati kekayaan untuk mengongkosi kesenangan tak penting dan tak masuk akal macam tiap bulan harus pelesir ke luar negeri atau makan makanan langka. Dan untuk mendapakan kekayaan itu, mereka mengeruk sumber daya alam dan mengeksploitasi tenaga kerja.

Setengah kekayaan yang ada di Indonesia dimiliki orang 1% penduduk. Di ujung sana ada kekayaan ekstrem, di ujung sini ada kemelaratan yang mencekik manusia dan hewan dan tumbuhan.

Analisis penyebab banjir Jakarta ini adalah contoh bagaimana semua orang memang punya kontribusi pada bencana, tapi orang kaya punya peran berkali lipat. Masuk akal mengapa banyak ajaran religius dan filsafat melarang orang menjadi terlalu kaya.

Masalah-masalah dunia memberi dampak sampai ke sisi paling pribadi kita. Lalu kita gundah. Lalu kita disodori kalimat itu:

“Biarkan semesta bekerja untukmu.”

Semesta menjawabnya dengan banjir, kebakaran, pencairan es, topan, gelombang udara panas, dan seterusnya, dan seterusnya.

BACA JUGA Melihat Semesta Bekerja seperti Lirik Lagu Kunto Aji atau artikel lainnya di POJOKAN.

Exit mobile version