MOJOK.CO – Enak betul si Kucing dimanja-manja, sementara kita cuma bisa memandang dan mengikuti maunya. Ih, dunia apa, sih, ini? Kok berporos di hidup kucing?
Di kantor Mojok, ada kucing liar yang secara teratur datang dan masuk. Biasanya, dia duduk di bawah meja, setelah berbulan-bulan lalu hobinya nongkrong di pinggir kolam ikan. Setiap ada kru yang mau makan—apalagi pakai lauk ayam—si kucing bakal mengeong-ngeong, lalu anteng setelah disodorkan tulang atau justru daging yang masih panas. Ah, jangankan daging, lah wong jajan semacam Chiki dan Taro saja dia doyan!
Sebagai manusia yang nggak berani-berani amat dengan kucing, saya justru sebenarnya jadi penasaran sama makhluk yang satu ini. Kenapa, sih, binatang yang suka rese karena hobi tiba-tiba melompat dan mencaplok makanan ini justru disayangi sedemikian rupa oleh sekian banyak orang?
Seorang teman saya memelihara 9 ekor kucing di rumahnya dan dia selalu menyebut keseluruhannya sebagai “anak-anaknya”. Tadi pagi, waktu chat sama saya, dia memilih menggunakan voice note sambil berkata, “Maaf, ya, aku nggak ngetik, soalnya lagi ngasih makan anak-anak.”
Saya yang cuma anak rantau dan sedang terkapar di atas kasur kosan pun hanya bisa mengangguk-angguk mendengarnya, membayangkan betapa hidup si kucing tadi jauh lebih enak daripada saya. Lah gimana nggak; mereka dibantu mendapatkan sarapan, sedangkan saya sendiri bahkan nggak kuat untuk pergi ke minimarket dan membeli air mineral.
Iya, iya, pikiran ini pun men-trigger kepala saya sendiri: kenapa teman saya tampak sangat memanjakan kucingnya, sih???
Mantan pacar saya saat SMA juga merupakan pencinta kucing. Setiap kali—literally setiap kali—ada kucing mendekat, ia akan membelai, lalu memanggilnya lembut, “Pus, pus…” meskipun ia tahu saya ketakutan setengah mati. Kalau kami sedang memegang makanan, kucing tadi bakal disodori sedikit, sembari ia berkata, “Di makanan kita tuh ada haknya kucing, tahu.”
Saya yang saat itu sedang ketakutan, sih, cuma diam saja, tapi di dalam hati sebenarnya sedikit gondok. Lah gimana, makanan yang tadi dia kasih itu, kan, abon yang baru saja saya beli!
Kelakuan kucing kian jelas saya amati setelah saya patah hati dan harus ngungsi ke rumah teman saya yang punya 9 kucing tadi. Kucing-kucing ini, entah maksudnya apa, sering sekali berusaha mencuri perhatian saya. Mereka melompat ke kasur saya dari jendela—iya, mereka ke luar dulu, manjat jendela, lalu masuk lagi—dan duduk santai di atas laptop saya. Mereka juga mengendus-endus teh hangat yang mau saya minum, lalu mengikuti saya dari kamar ke dapur, tak peduli saya sedikit bergidik karena ngeri.
Teman saya bilang kucingnya cute dan bersikap manis sekali, lalu mengelus-elus perutnya dengan sayang, sementara saya keheranan setengah mati: siapa, sih, sebenarnya kucing itu??? Mantra apa yang sudah dia tanamkan ke kepala teman saya sampai-sampai dia segitu dicintainya, sementara saya tampak begitu menyedihkan dan tercampakkan???
Dalam dunia sains, baru ada sedikit sekali penelitian khusus tentang kucing dan kelakuannya karena sikap mereka yang memang tak dapat ditebak: kadang bisa diatur, kadang manja, dan kadang malas-malas saja. Seorang peneliti malah berkata bahwa sebuah studi bakal jauh lebih mudah dilakukan jika objeknya adalah ikan, bukan kucing.
Namun, saya curiga: jangan-jangan keistimewaan kucing ini terhubung dengan sejarah spiritual dan misteri??? Jangan-jangan, selama ini, kucing memang merupakan cenayang profesional yang dikirim ke Bumi untuk mengacaukan otak manusia mengalihkan perasaan sayang manusia kepada dirinya???
Setidaknya, kecurigaan saya ini nggak kosong-kosong banget. Sambil berdoa supaya teman saya—dan mantan pacar saya—tidak teracuni oleh mantra-mantra “jahat” dari kucing, saya pun menemukan bahwa ke-cenayang-an kucing ini tampak dari berbagai fakta berikut.
Pertama, konon kucing menjadi makhluk yang disembah orang-orang pada masa Mesir kuno. Kabar ini mungkin sudah pernah kamu dengar sebelumnya, tapi—ayolah—kenapa bisa-bisanya kucing yang kecil, imut, dan lucu ini justru disembah???
Beberapa sumber menyebutkan bahwa ia dianggap sebagai perantara antara manusia dan dewa, tapi lihatlah dia sekarang: dia justru menjadikan manusia sebagai perantara antara penjual makanan enak dan mulutnya sendiri. Sadar tidak???
Kedua, kucing—terutama di Tiongkok dan Jepang—dianggap membawa hoki yang tinggi. Itulah sebabnya patung-patung kucing yang tangannya goyang-goyang itu kerap ditemui di etalase toko-toko yang dibuka di pinggir jalan.
Mungkin, dengan prinsip ini, teman saya tadi memelihara kucing beneran. Alih-alih memercayai kepercayaan “Banyak anak, banyak rezeki”, sepertinya dia lebih percaya “Banyak kucing, banyak rezeki”. Saya, sih, nggak tahu seberapa banyak rezeki yang dia dapatkan, tapi saya rasa, saya lebih sering membaca pesannya yang berbunyi: “Utangku ke kamu kubayar besok-besok lagi saja, ya, soalnya mau aku pakai untuk beli makanan anak-anak.”
Baiklah.
Ketiga, di tanah Eropa, kucing memiliki image sebagai makhluk perantara dunia orang mati dan orang hidup. Ia diyakini bisa menghidupkan yang mati dan membunuh yang hidup.
Eh, jangan protes dulu. Sebuah studi pernah menemukan fakta bahwa hidup kucing berkaitan dengan perilaku yang sama liarnya dengan macan tutul dan harimau Afrika. Nah, hewan-hewan ini dikenal dengan perilaku dominan negatif, yang kemudian membawa kita ke simpulan berikutnya bahwa…
…kucing-kucing kamu itu bisa saja memiliki niat untuk membunuhmu karena sikapnya yang impulsif, terutama saat sedang marah!!!
Di poin ini, saya terkejut beneran dan kepikiran sama teman saya yang tadi lagi ngasih makan kucing. Tapi dia barusan pasang Instagram Story dan selfie bareng kucing-kucingnya.
Jadi, yah, saya rasa kecurigaan saya soal ini bisa saya lanjutkan besok. Sebaiknya, sekarang saya bangkit dari kasur karena, hey, mau saya sakit seberat apa pun, toh saya tetap harus bangun dan bergerak sendiri—tidak seperti di hidup kucing yang kalau mau manja pasti bakal selalu dituruti.