MOJOK.CO – Hampir semua anggota DPR punya saran yang seragam ke publik yang tak sepakat dengan UU KPK: Udah deh, kalian ajukan judicial review ke MK. Kenapa ya DPR nyaraninnya begitu?
Salah satu senjata andalan anggota DPR (yang hampir selalu kita dengar) ketika melihat desakan publik soal pembatalan UU KPK lewat Perpu Presiden Jokowi adalah publik disarankan agar ajukan judicial review UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Bahkan ada juga yang menyeletuk bahwa, ngapain sih sampai turun ke jalan segala? Sekarang kan kalau nggak terima dengan keputusan DPR ada jalur-jalur resminya?
Berkali-kali, semua pejabat dan politisi pendukung UU KPK yang baru mendorong agar semua mengarah ke judicial review. Kata mereka, agar semua berada di jalur konstitusional. Tak lupa juga mengingatkan kalau negara ini negara hukum dan bla-bla-bla lainnya.
Awalnya, sempat muncul pertanyaan dari saya. Ini kenapa wakil rakyat terhormat begitu percaya diri sekali ketika meminta masyarakat ajukan judicial review ke MK?
Sebab, nggak mungkin dong mereka menyarankan sesuatu yang berpotensi bikin UU KPK yang sudah mereka bikin itu jadi ditolak MK? Blunder dong kalau gitu namanya.
Dugaan saya sementara saat itu ya hanya ada dua. Pertama, kalau mau khusnudzon, DPR benar-benar ingin memberi kesempatan ke publik agar bisa berpikir secara konstitusional, dan kedua—kalau mau suudzon—DPR sudah yakin bahwa gugatan uji materi ke MK itu bakal kalah.
Oke, mari kita bahas satu-satu. Dari yang khusnudzon dulu ya.
Jadi gini. Sebelumnya, kita harus sama-sama tahu kalau paling tidak ada tiga cara UU KPK bisa batal.
Pertama, legislative review, alias dibahas lagi sama DPR. Hal yang sebenarnya bisa dibilang sama-juga-boong, karena artinya UU KPK yang ini harus disahkan dulu, baru dibahas lagi. Melihat gelagat DPR kita hari ini, sepertinya mustahil DPR ke depan mau ngebahas UU KPK ini lagi. Jadi bisa dibliang ini saran yang nggak mashoook.
Kedua, judicial review ke MK itu tadi. Hal yang selalu disarankan sama seluruh anggota DPR dan politisi yang pro dengan revisi UU KPK.
Ketiga, ya perpu dari Presiden. Hal yang sedang diperjuangkan oleh banyak pihak. Dan kalau boleh jujur, merupakan satu-satunya cara yang bisa ditempuh saat ini.
Uniknya, ketika DPR selalu ingatkan rakyat bahwa negara ini negara hukum dan harus taat konstitusi, mereka sendiri malah minta publik agar jangan desak presiden untuk keluarin perpu. Ini kan aneh sekali? Paradoks banget gitu.
Di satu sisi mereka minta publik taat konstitusi dengan kasih saran ajukan judicial review ke MK, tapi di sisi lain mereka mewanti-wanti agar jangan sampai publik mendesak presiden terbitkan perpu. Lah? Puadahaaal perpu juga jalur yang konstitusional lho, Pak Wakil Rakyat Yang Terhormat. Boleh, legal, dan dilindungi undang-undang. Sama-sama konstitusional ini kok.
Kenapa yang “itu” boleh, yang “ini” nggak boleh? Apa karena yang “itu” DPR sudah yakin bakal menang? Sedangkan yang “ini” DPR yakin bakal kalah? Idih, gitu amat dah cara mainnya.
Padahal toh kalau betulan ada perpu, DPR masih ada hak juga kok buat nolak. Lalu balik lagi. Gitu aja terus. Meski melelahkan karena jadinya bolak-balik kayak pingpong, tapi kan itu artinya rakyat didengerin, bukan dicuekin sama wakilnya sendiri.
Meski begitu, langkah yang disarankan DPR ini bukannya tidak pernah dilakukan. Pewakilan mahasiswa pernah dengan “nekat” mengajukan berkas uji materi ini ke MK betulan pada Senin 30 September 2019 silam, atas nama kuasa hukum Zico Leonard.
Masalahnya, ada beberapa persoalan detail yang keliru. Seperti tidak dicantumkan nomor UU-nya dan tidak disebutkan kerugian konstitusional dari pihak pemohon. Secara otomatis pula, pengajuan uji materi ini pun gagal—bahkan sebelum dibahas menyeluruh oleh Hakim MK.
Ya iyalaaah. UU KPK aja belum sah secara legal formal kok, belum ditandatangani sama Presiden Jokowi lagi. Ya mana bisa ditemukan kerugian konstitusionalnya bagi pihak pemohon (dalam hal ini rakyat biasa yang diwakili mahasiswa)?
Ini ibarat kamu menggugat sesuatu yang belum ada di dunia ini. Ibarat mau menggugat cerai, tapi yang kamu gugat statusnya baru tunangan—belum jadi istri yang sah secara legal. Ya mana mungkin bisa?
Makanya, wajar saja kalau hakim MK saat itu sampai berkelakar, “Ah, ini Mas Zico ini, mendahului Tuhan ini. Ya kita lihat perkembangan ke depan ya?”
Nah, masuk ke pembahasan kedua. Yakni, suudzon kita sama anggota DPR. Kenapa mereka ngotot agar publik segera ajukan judicial review ke MK?
Jawabannya jelas: karena mereka yakin MK nggak bakal mengabulkan permohonan pihak termohon.
Pertanyaannya kemudian: lho, kok bisa gitu?
Nah, pernyataan Prof. Mahfud MD yang cukup jernih bisa menjelaskan ini.
“Hal itu sia-sia lantaran MK tak memiliki hak untuk membatalkan UU yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Kalau dibahas biasa yang dipertentangkan tetap kalah di DPR karena partainya sudah setuju. Padahal rakyat menghendaki bukan itu. Pasti nggak ada gunanya. Judicial review nggak mungkin lagi,” kata Mahfud MD.
Artinya, kalau DPR bikin aturan untuk membubarkan KPK saja sekalipun, belum tentu juga MK menolak. Sebab, dalam sengketa kayak gini, MK hanya akan menilai sebuah UU itu dimunculkan sudah sesuai dengan syarat administrasi hukum tata negara atau tidak? Kalaupun ada pengabulan per pasal juga paling pasal-pasal yang nggak signifikan-signifikan banget. Bukan terus bisa membatalkan semuanya.
Itu yang bikin Mahfud MD ketika masih jadi Hakim MK harus menolak gugatan judicial review UU Penodaan Agama pada 2010 silam. Padahal menurut Mahfud MD, UU tersebut bakal bermasalah kalau disahkan. Tapi sebagai hakim, Mahfud MD tak punya wewenang untuk membatalkan isinya semua hanya karena tidak disukai banyak orang.
“Lah kalau MK boleh membatalkan undang-undang yang tidak disukai orang, semua UU dibatalkan secara sewenang-wenang oleh MK,” kata Mahfud MD.
Hal senada juga disampaikan oleh ahli hukum tata negara, Refly Harun. “MK pernah mengatakan bahwa Undang-Undang yang buruk itu belum tentu bertentangan dengan konstitusi. Kita menganggap Undang-Undang KPK ini buruk, tapi belum tentu bertentangan dengan konstitusi,” katanya.
Ingat ya, hukum yang buruk belum tentu bertentangan dengan konstitusi. Sekarang pertanyaannya: apakah revisi UU KPK melanggar konstitusi? Tidak to? Namun apakah isinya buruk? Iyaaa.
Jadi kalau ada anggota DPR bilang… “Silakan UU KPK ini ajukan judicial review ke MK.”
Itu tandanya, kamu sedang coba dikibulin sama wakilmu sendiri. Karena wakil rakyat udah tahu, mau yang jadi kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra atau Hotman Paris sekalipun–misalnya, ya kamu tetep aja bakal gigit jari.
BACA JUGA Hati-Hati, Tolak Revisi UU KPK Bisa Dianggap Makar atau artikel Ahmad Khadafi lainnya.