Dunia permusikan tumbuh dan berkembang dengan sangat dinamis. Dari waktu ke waktu, lahir musisi-musisi andal dari berbagai aliran. Seiring dengan makin majunya teknologi, alat-alat musik baru tercipta, genre musik pun semakin beragam.
Satu per satu genre musik berguguran dan digantikan dengan tren genre musik yang baru. Rock yang dulu sempat menjadi andalan generasi 80-90an kini mulai banyak ditinggalkan oleh generasi milenial yang cenderung lebih menyukai genre musik elektrik yang dianggap lebih rancak dan lebih booom.
Begitu pula dengan seperti musik-musik tradisional seperti keroncong dan kawan-kawannya yang mulai banyak ditinggalkan.
Akses terhadap produk musik semakin mudah, persaingan pun semakin keras.
Dalam kondisi yang demikian, tak banyak genre musik yang bisa bertahan. Satu dari sedikit itu adalah dangdut koplo.
Nah, saya bersama Mojok Institute berusaha membedah kenapa genre dangdut koplo bisa menjadi genre yang awet dan bisa bertahan bahkan setidaknya sampai 100 tahun ke depan.
Eksploratif dan kolaboratif
Koplo adalah genre yang tepo seliro. Ia mau menerima perbedaan. Ia sadar bahwa musik adalah universal, karena itulah, ia tak segan-segan bereksplorasi dan berkolaborasi dengan genre yang lain.
Mak, tak heran jika kemudian kerap muncul koplo-koplo gaya baru dengan mengusung konsep perpaduan seperti rockoplo (Rock gaya koplo) yang kerap dibawakan oleh OM Ken Arok atau jandut (jaranan/jathilan dangdut) yang kerap dibawakan oleh OM Sagita.
Monoton tapi tak bikin bosan
Ini fakta. Dangdut koplo adalah musik yang boleh dibilang cukup monoton. Ketipung kendangnya ya begitu-begitu saja, dung tak dung tak-nya juga begitu saja. Tapi, ia tak pernah membuat orang bosan untk terus mendengarnya.
Jangankan soal ketipung kendangnya, soal lagunya pun juga begitu.
Di Indonesia, ada sosok Ebiet G Ade yang pernah membuat sekuel Camellia I, Camellia II, Camellia III dan berlanjut pada Camellia IV. Ada juga Koes Plus yang menciptakan sekuel Nusantara dalam delapan seri, yaitu Nusantara 1, Nusantara 2, Nusantara 3, dan seterusnya hingga berakhir pada Nusantara 8.
Coba bandingkan dengan Eny Sagita. Lha gimana ndak minder, biduan dangdut koplo yang satu ini–bersama grup orkesnya, Sagita–mampu menciptakan lagu sekuel berjudul “Ngamen”, mulai dari lagu Ngamen 1, Ngamen 2, Ngamen 3, dan seterusnya hingga berlanjut sampai pada Ngamen 17. Kemungkinan sekuel lagu tersebut masih akan terus berlanjut, meski sudah ada lagu “Leren Ngamen” maupun “Ngamen Terakhir”.
Mampu masuk ke semua isu
Genre musik tertentu biasanya hanya menyasar beberapa isu tertentu pada lagunya. Tapi tidak dengan dangdut koplo. Ia bisa menyasar berbagai isu. Dari mulai pernikahan, agama, rumah tangga, bencana alam, politik, sampai kondisi sosial.
Mangkanya, tak berkebihan jika ada yang bilang kalau Sodiq jauh lebih bertalenta ketimbang Fadli Zon.
Lha gimana, Fadli Zon cuma bisa bikin puisi mengkritik pemerintah, sedangkan bisa Sodiq membuat lagu mengkritik kehidupan.
Mampu beradaptasi dengan sangat baik
Ada banyak genre musik, namun hampir tak ada yang seadaptif dangdut koplo. Ia menjadi musik yang mampu menembus sekat-sekat ketidakmungkinan. Koplo selalu bisa dihadirkan dalam berbagai medan pertempuran.
Rasanya hampir tak ada lagu yang tak bisa dikoplokan. Dari lagu elektrik latin seperti Bara-bere, lagu Kpop ala-ala Blackpink, sampai lagu pembuka serial kartun anak Tayo.
“Hay Tayooo, Hay Tayooo, dia bis kecil ramah… Bukak sithik josss…”
Penuh penghayatan
Saya tak perlu menjelaskan panjang lebar, cukup simak video berikut.