MOJOK.CO – Ramai polemik sejumlah foto pengurus perempuan organisasi kampus diblur dan dibikin kartun. Katanya ini semua adalah kemauan yang bersangkutan. Wah, kemauan untuk didominasi ini bisa termasuk kesadaran palsu akibat ideologi yang dikonstruk secara terus-menerus lho, FYI.
Kemarin, media sosial ramai dengan perdebatan soal pengurus perempuan BEM FT UNJ yang fotonya diblur sementara pengurus perempuan BEM FMIPA diganti kartun. Kritik deras mengalir seolah dialirkan pakai pipa R*cika. Ternyata nggak hanya BEM di UNJ, di kampus lain kasus serupa juga muncul meski nggak seterkenal apa yang dilakukan UNJ.
Masalahnya berarti, kasus ini bukan endemik UNJ. Pemusnahan citra perempuan di ruang publik jadi makin serius.
Gw sebagai sejarawan shock banget sama kualitas pendidikan perguruan tinggi negeri yang BEMnya ngeblur foto perempuan pengurus macam BEM Teknik dan MIPA UNJ atau diganti foto perempuannya dengan anime.
GILAK ITU NAMANYA PENGHAPUSAN PERAN/EKSISTENSI PEREMPUAN DARI SEJARAH! pic.twitter.com/bPA30daUaA
— Nadyazura (@Nadyazura) February 9, 2020
Lebih parah lagi katanya pengurus cewek di UNJ dikartunkan dan diblur berdasarkan permintaan mereka sendiri. Dilansir dari Kumparan, ketua BEM UNJ bilang begini, “Kalau sepemahaman saya, itu permintaan ceweknya. Ada bagian cewek itu ada yang kayak anak-anak Musala gitu. Saya juga kayak biasa aja. Biasanya bahkan nggak ada postingan kabinet, tapi ini kan kebutuhan organisasi.”
Memangnya kalau itu semuanya kemauan yang bersangkutan masalah ini jadi selesai? Justru makin gawat kalau ada sebagian orang yang punya kemauan untuk didominasi. Berarti permasalahannya sudah menyentuh ranah ideologis yang sebenarnya tertanam berdasar kesadaran palsu.
Bagaimana para cewek ini dengan sukarela fotonya tidak ditampilkan padahal cowok-cowoknya mejeng dengan asyik adalah sebuah kemauan untuk didominasi. Cowoknya terkenal, punya nama, sementara ceweknya tersembunyi di balik layar padahal mereka semua sama-sama kerja dan ngurusin organisasi. Kalau boleh disimpulkan, ini patriarkis banget. Cewek-cewek memandang dirinya sendiri lewat kacamata kelelakian.
Saya jadi ingin nyanyi soundtrack film Birds of Prey. This is the men’s world~
Begini, kesadaran palsu adalah sebuah istilah sosiologis yang awalnya dicetuskan oleh Friedrich Engels. Ketika seseorang tidak peduli terhadap motivasi kekuasaan yang mendorong pikiran dan tindakannya, dia sedang berada pada kungkungan kesadaran yang sebenarnya tidak dia sadari, termasuk kemauan untuk didominasi.
Jadi kesadaran palsu sebenarnya ciri khas lemahnya pengetahuan nyata atas perkara yang sedang memengaruhinya. Cewek-cewek ini nggak tahu bahwa dia berkali-kali mengonsumsi ideologi patriarkal yang kemudian ditautkan dengan kepercayaan. Bahwa foto diri yang diunggah dalam akun organisasi dapat menimbulkan fitnah yang nyata, sebenarnya mencakup keyakinan palsu nan ilusif.
Konsep kesadaran palsu memang sering diterapkan oleh penguasa pada kelas pekerja. Misal kesadaran palsu untuk kerja lembur sampai tipes padahal nggak ada kontraprestasinya. Budak korporat yang berevolusi sempurna. Kalau bicara soal dominasi, represi, marjinalisasi, ini juga menyangkut bagaimana posisi perempuan di ruang publik, ceunah.
Gini aja deh daripada pusing. Kalian pasti sering lihat iklan skincare di televisi yang ditampilkan dengan bintang cewek berkulit putih, langsing, rambut panjang, hidung mancung dst. dst.. Iklan ini ditampilkan terus-menerus oleh banyak produsen skincare. Bertahun-tahun kalian dicekokin cewek dengan penampilan serupa.
Akhirnya kalian menganggap definisi cantik itu ya kayak bintang iklan. Yang kulitnya putih, rambutnya panjang, hidung mancung, langsing, kayak Raisa pokoknya. Ini adalah proses konstruksi yang ditanamkan. Ideologi soal cantik dihasilkan dari kesadaran palsu yang kalian percayai dari apa yang kalian konsumsi (dalam hal ini iklan TV).
Padahal, di belahan bumi lain, cewek berkulit hitam, keriting, gendut, bahkan pesek ada yang dianggap cantik. Lha iya, mereka nggak pernah nonton iklan-iklan skincare Asia Tenggara kok. Mau dijelaskan bagaimanapun, mereka bakal nganggap Raisa biasa aja.
Nah, kalau kasus cewek-cewek pengurus organisasi ini, mereka terkonstruk kemauan untuk didominasi. Mau sampai jelek dicekoki teori-teori dari feminis liberalis sampai radikalis pun percuma. Level ideologinya sudah beda. Perlunya memang dikasih pemahaman berdasarkan logika. Intinya kalau nggak mau tampil di ruang publik maka mengurung dirilah di pojokan kamar dengan media sosial anonim pakai avatar kocheng.
BACA JUGA Nia Ramadhani dan Citra Perempuan Nggak Bisa Ngapa-ngapain dalam Media atau artikel lainnya di POJOKAN.