MOJOK.CO – Kritikan BEM UI untuk Jokowi dianggap konten sepele. Mahasiswa lawas minta mahasiswa muda turun ke jalan? Gendeng! Lagi covid ini!
Semalam, akun Twitter BEM UI mengunggah sebuah konten yang cukup menggigit. Mereka bilang kalau Jokowi itu The King of Lip Services.
“Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali juga tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya.” Begitu katanya.
Semua yang dibilang Jokowi cuma sebatas manis di bibir, lip services semata. BEM UI mengakhiri kontennya dengan sebuah kalimat: “Berhenti membual, rakyat sudah mual.” Rangkaian kata yang ciamik betul. Berima dan nendang.
JOKOWI: THE KING OF LIP SERVICE pic.twitter.com/EVkE1Fp7vz
— BEM UI (@BEMUI_Official) June 26, 2021
Lucu juga, sih konten seperti ini. Apalagi dulu sempat lahir anekdot soal Jokowi juga. Kira-kira bunyinya seperti ini: “Cara paling jitu mengetahui kebijakan dan kondisi negara, baca saja pernyataan Jokowi lalu lihat sebaliknya. Nah, itu kebenaran dari omongannya beliau.”
19 Maret 2020, Jokowi bilang stok pangan cukup, 28 April, ternyata beliau bilang kalau stok pangan Indonesia itu defisit. 26 Maret 2020, Jokowi bilang siap bunyikan genderang perang lawan covid di KTT G20, 7 Mei 2020 beliau minta kita semua hidup berdampingan dengan virus mematikan ini. Itu misalnya.
Oleh sebab itu, konten dari BEM UI itu jatuhnya lucu juga. Semacam pengingat kepada kita semua bahwa pemerintah itu nggak baik-baik aja. Ini baru sebatas janji-janji presiden yang nggak ditepati. Masih banyak kinerja pemerintah dan wakil rakyat yang lesu darah dan nggak berpihak kepada rakyat. Iya, rakyat, atasan mereka.
Semua orang waras tahu bahwa yang namanya akun Twitter sebuah lembaga atau organisasi memang ditujukan untuk ngonten. Kalau bikinnya giveaway itu akunnya Jess no Limit. Konten media sosial, tentunya disesuaikan dengan corak akun yang bersangkutan. Kalau BEM ya soal dunia kampus sampai pemikiran mahasiswa, salah satunya sifat kritis kepada Jokowi. Salahnya di mana?
Ya jelas nggak ada salahnya. Menjadi salah ketika banyak mahasiswa tua yang merasa konten BEM UI soal Jokowi itu “bukan konten”. Mahasiswa lawas super jagoan ini merasa kalau yang namanya protes itu ya turun ke jalan. Hmmm… kayaknya kok ada yang salah.
Kalau nggak salah nih ya, Indonesia itu masih dan kayaknya bakal semakin parah kena covid. Nggak kayak Selandia Baru yang pemerintah sama rakyatnya kompak banget. Bikin covid cepat diredam di sana. Di sini mah, ya mohon maaf, pejabatnya aja ada yang malah karaoke ketika pelantikan bahkan ada gubernur yang rayain ulang tahun bikin kerumunan tapi nggak kena hukuman heuheuheu.
Nah, gimana caranya, nih, kanda dan abangda mahasiswa tuwir paling jagoan biar bisa turun ke jalan dan nggak ketularan corona? Emangnya mahasiswa sekarang itu udah pada kebal? Tahu nggak sih, duhai mahasiswa lampau, kalau covid delta itu cuma butuh 15 detik buat nularin kamu?
Keanehan kedua adalah ketika mahasiswa purbakala ini merendahkan konten kritikan BEM UI untuk Jokowi. Katanya cuma sebatas viral tuh nggak ada gunanya. Halo, Bapak dan Ibu Mahasiswa Zaman Ken Arok, zaman sudah berubah. Konten di media sosial punya kekuatan besar ketika gaungnya terus dijaga.
Kampanye Black Live Matters dan demo Hongkong, misalnya. Keduanya menjadi sangat masih dan kuat karena gaung di media sosial. Kalah gaungnya nggak kuat, nggak mungkin berbagai platform media sosial di Hongkong itu diblokir.
Halo, Bapak dan Ibu Mahasiswa Angkatan Ronggolawe, jangan gumunan gitu lah kalau jadi artefak jaman. Di tengah pandemi, ketika penularan covid delta begitu cepat, konten-konten seperti garapan BEM UI ini yang paling oke. Lagian, konten itu memenuhi syarat “kekuatan sebuah konten”, kok.
Konten kritikan BEM UI kepada Jokowi itu punya subjek yang jelas, argumen yang bisa dibuktikkan, ditulis dengan bahasa yang enak dibaca, menggunakan perpaduan warna yang pas, tidak terlalu panjang tapi pesannya kena di hati, dan mudah dipahami siapa saja yang membacanya.
Saya jadi ingat kata-kata Ari Lasso ketika sepi job manggung karena covid. Mas Ari bilang covid ini pasti bakal membuka “banyak pintu”, menawarkan banyak kesempatan baru. Saya rasa, kata-kata Ari Lasso itu juga bisa dipakai untuk menciptakan sebuah konteks kritikan. Lantaran pandemi, tidak bisa turun ke jalan, kritikan untuk Jokowi tentu bisa disampaikan lewat platform media sosial. Pas, kan? Salahnya di mana to wahai abangda mahasiswa tuwir?
Iya, kritikan kepada Jokowi juga bisa berupa laporan atau petisi. Bisa banget. Namun, bukankah konten di media sosial dan bentuk laporan itu tujuannya sama? Sama-sama berisi kritik yang bisa diperdebatkan. Lagian tetap enak langsung ngonten di Twitter karena bisa langsung sampai ke audience. Gini aja kok ya ndak paham.
Oya, saya malah jadi curiga, kan. Mahasiswa Angkatan Wangsa Syailendra itu jangan-jangan cuma akun-akun ternak. Biasanya dipakai untuk menyerang siapa saja yang mengkritik Jokowi dan pemerintah. Bisa juga, mereka akun-akun pemuja buzzer yang makan duit haram itu. Duh, berkat kalian saya jadi berdosa.
Tapi ya nggak papa. Paling nggak saya nggak malu-maluin. Maju terus mahasiswa muda, yang suka nongki cantik, nonton drakor, dan ngonten di Twitter. Kalau ada yang gelisah sama konten kalian, artinya konten tersebut sudah sukses menembus menara gading mereka. Gas pol!
BACA JUGA Cara Terjitu Memprediksi Kondisi Negara: Dengarkan Apa yang Dikatakan Jokowi, Lalu Lihat Sebaliknya dan tulisan Yamadipati Seno lainnya.