MOJOK.CO – Jokowi mungkin khawatir soal resesi ekonomi yang terjadi makanya berharap investor dapat menyelamatkan ekonomi melalui omnibus law ini. Tapi pak masalahnya tidak sesederhana itu!
Tahun 2020 ada 50 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk ke dalam prolegnas prioritas. Tapi Jokowi secara khusus (((mengamanatkan))) agar Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) lebih dahulu dibahas. Jokowi bahkan memberikan tenggat waktu 100 hari untuk mengesahkan RUU itu.
Sebentar, sebentar kok buru-buru amat sih, pak?
Omnibus Law Cilaka ini draftnya saja masih belum ketahuan sama publik isinya gimana lho, Pak. Mbok ya nyuruh DPR tuh mendahulukan RUU yang udah jelas isinya tapi mandeg bahasan kayak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) aja pak. RUU PKS ini mendesak juga lho pak, bayangkan dari 2014 sampai 2018 saja ada lebih dari 20.000 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik itu kekerasan seksual di ranah KDRT atau pun kekerasan seksual dari relasi personal.
Omnibus Law Cilaka mah nanti-nanti aja. Disahkannya kalau sudah ada deal-dealan yang jelas antara buruh dan pengusaha. Suara buruh juga penting pak, mereka yang nantinya paling terdampak soal aturan ini. Ini kok pengin buru-buru tapi satgasnya cuma pengusaha aja.
Lagipula, kalau diburu-buru gini, kami kan jadi curiga. Kami takut RUU ini ujungnya kayak UU KPK yang… Anu, rasa-rasanya kok menguntungkan para koruptor saja.
Kan horor pak kalau RUU Cilaka benar-benar mengabulkan ketakutan kami kalau RUU ini hanya menguntungkan para investor saja sementara buruhnya malah jadi korban cilaka.
Saya tahu bapak mungkin khawatir terkait ancaman resesi dan perlambatan ekonomi yang sudah mulai terjadi. Lalu berharap suntikan investasi bisa langsung menyelamatkan ekonomi negara.
Apalagi kalau melihat demografi pekerja kita yang kata BPS di tahun 2018 menunjukan kalau lebih banyak pekerja sektor informal (73,98 juta orang) dibandingkan pekerja di sektor formal (53 juta orang) yang artinya pekerja kita lebih banyak yang kesejahteraannya kecil, dan produktivitasnya juga rendah. Makanya bapak pengin Omnibus law segera disahkan biar mereka bisa segera terserap jadi tenaga kerja di sektor formal meskipun sekadar tenaga kerja kontrak. Yang penting, mereka bisa lebih produktif dan menghasilkan banyak uang.
Sampai di sini, saya tentu mengerti kenapa bapak menganggap Omnibus Law khususnya aturan mengenai pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel ini dianggap sebagai solusi utama untuk menarik investor dan membuka lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran.
Tapi di sinilah pak letak masalanya. Ini semua terdengar terlalu sempurna. Kalau kata dosen saya, tidak ada itu dunia sempurna yang seperti taman bunga. Kalau yang terlihat hanya yang indah-indah dan positif-positifnya saja, artinya kita sedang menyederhanakan masalahnya.
Kenyataan tidak akan seindah itu, Pak!
Selain kebijakan ini merugikan kaum buruh karena menurunkan kepastian kerja, memperburuk kondisi kerja dan kesejahteraan, sampai meningkatnya potensi ekspolitasi. Ada beberapa flaw yang sepertinya bapak lupakan.
Misalnya, karena lebih banyak pekerja di sektor informal tadi, mayoritas pekerja berada dalam posisi yang lemah. Karena mereka tidak terampil, peluang untuk naik level atau mendapatkan maksimalisasi pendapatan tidak akan terjadi karena pengusaha akan tetap membayar mereka secara murah. Ngapain bayar lebih mahal kalau stok pekerja informal yang bisa ditarik untuk bekerja banyak?
Kedua, kalau Omnibus Law ini betul-betul disahkan tanpa mencapai kesepakatan dengan para buruh sebelumnya, apa nggak bakal timbul demo besar-besaran yang nantinya malah mematikan ekonomi? Berapa kerugian yang akan dihadapi negara kalau itu betul-betul terjadi? Lah mending kalau buruh demonya cuman sehari dua hari. Kalau sampai seminggu? Dua minggu? Waduh bisa chaos pak. Bahaya!
Saran saya, daripada dikerjakan secara buru-buru lalu lebih banyak mudharatnya, seperti yang terjadi dengan UU KPK, mending dibikin santai dulu. Dibahas sambil ngopi-ngopi, jangan lupakan melibatkan semua stakeholder terkait termasuk serikat buruh.
Kalau bapak butuh uang cepat-cepat, daripada nungguin investor, mending usut aja tuh kasus korupsi di Jiwasraya dan Asabri yang merugikan negara 23 triliun lebih. Lebih nyata!
BACA JUGA Apa itu Prekariat dan Hubungannya dengan Omnibus Law yang Ramai Dibicarakan atau artikel lain soal PEKERJA.