MOJOK.CO – Jokowi akhirnya meminta DPR menunda pengesahan RUU KUHP. Duh, gimana sih, Pak? DPR udah ngebut ngerjain malah ditunda. Nggak berperasaan banget sih.
Geger soal RUU KUHP agak reda ketika Presiden Joko Widodo meminta agar DPR RI menunda dulu pengesahannya. Jokowi menilai ada beberapa pasal yang lumayan bermasalah di sana.
“Dan setelah mencermati masukan-masukan dari berbagai kalangan yang keberatan dengan sejumlah substansi-substansi RUU KUHP, saya berkesimpulan masih ada materi-materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut,” kata Jokowi siang tadi dari Istana Bogor.
Tentu saja kabar ini membuat banyak orang merasa lega, meski bagi saya ini bukan bikin lega sama sekali. Soalnya beberapa poin dari DPR itu sangat luar biasa menarik dan revolusioner.
Okelah, beberapa pasal di dalam RUU KUHP memang bikin geli, tapi apa yang sudah DPR lakukan dalam menyusun RUU KUHP ini benar-benar terobosan dalam dunia parlemen. Bukan tidak mungkin hal ini jadi inspirasi bagi negara-negara lain (dan bisa menghancurkan mereka dari dalam, HUAHAHAHA).
Setidaknya ada dua fakta terbaru mengenai RUU KUHP ini. Salah satunya adalah menggunakan “perasaan” sebagai tolak ukur untuk menentukan beberapa bobot hukuman dalam penyusunan RUU KUHP. Serius ini, fakta ini muncul dari anggota Panja RUU KUHP DPR sendiri, Nasir Djamil.
“Memang harus diakui, dalam dialog di Panja itu, rasionalisasi pemidanaan memang belum sempurna,” kata Nasir.
Beberapa bobot hukuman menjadi pelik karena ada kemungkinan—misalnya—terpidana kasus korupsi cuma dipidana minimal 2 tahun, sedangkan pelaku aborsi bisa dihukum dengan maksimal selama 4 tahun. Artinya, bisa saja muncul anggapan kalau pelaku korupsi dianggap lebih ringan kejahatannya ketimbang pelaku aborsi.
Menanggapi kemungkinan ini, DPR sebenarnya sudah mendapat kritik dari Institute for Criminal and Justice System (ICJR) mengenai penilaian bobot hukuman. Uniknya, jawaban dari kritik itu malah memunculkan ide yang sangat brilian dan baru dalam penyusunan undang-undang pidana.
“Kadang-kadang mohon maaf juga, ya kadang-kadang suka-suka saja begitu, contohnya nih segini, cocoknya segini, pakai rasa (perasaan) dia, tetapi kenapa segitu ya tidak ada penjelasan. Itu bukan umum ya, itu pendapat saya,” kata Nasir.
Belum ada sejarahnya dalam bagian dunia mana pun menetapkan undang-undang pidana, apalagi yang sekelas KUHP, memakai patokan yang tanpa bisa dijelaskan karena hanya bisa dirasakan. Jelas cara penyusunan ini merupakan hal yang patut diapresiasi karena menjadi metode terbaru.
Ketika negara-negara lain mampu melakukan penemuan terbaru seperti bikin mobil listrik sampai kereta api cepat, negara kita ternyata mampu menemukan cara baru dalam menyusun undang-undang, yakni dengan menggunakan perasaan.
Lho, lho, lho, jangan tertawa. Ini serius. Sebab ketika ukuran terlalu jelas, hal ini malah membatasi kreativitas pengadilan dalam memutus perkara. Dengan menggunakan perasaan, maka ukurannya jadi abstrak sehingga RUU KUHP ini kayaknya layak juga kalau dinobatkan sebagai karya seni.
Lha piye? Beberapa poinnya ada yang pakai perasaan jeh. Dalem banget nih. Saya aja sampai terharu pingin nangis ketika mendengarnya.
Di sisi lain, nada protes yang ditanggapi dengan ajaib juga sempat muncul dari publik saat mengomentari mengenai penerapan pidana denda sebesar Rp1 juta bagi gelandangan. Dalam pasal 432 RUU KUHP Buku II disebutkan, Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
Menurut Nasir, pidana ini sebenarnya merupakan bentuk perlindungan dari pemerintah ke warga negaranya.
“Maksudnya ini undang-undang mengharuskan yang namanya pemerintah melindungi supaya bagaimana gelandangan itu diberi insentif oleh negara, dilindungi oleh negara,” katanya dalam kesempatan yang berbeda.
“Kalau kita ngomong seperti ini seolah tidak nyambung, tapi sebenarnya ini hukum tidak bisa berdiri sendiri. Tidak boleh berdiri sendiri. Makanya, negara sebagai negara hukum agar hukum dipatuhi dengan seorang gelandangan, maka orang gelandangan juga harus jadi subyek (hukum),” kata Nasir lagi.
Sebagai undang-undang yang beberapa poinnya menggunakan perasaan, sebenarnya hal ini tak perlu jadi polemik berkepanjangan kalau publik mau bersikap khusnudzon sedikit saja sama DPR. Misalnya seperti tudingan, bagaimana mungkin gelandangan bisa bayar denda maksimal 10 juta itu? Buat ngekos aja mereka nggak mampu?
Lho, lho, ini justru merupakan bentuk optimisme dari DPR kita, bahwa ke depannya, orang yang menggelandang di jalanan itu bakal bisa bayar denda karena ekonomi kita bakal meroket. Masa mau bikin pasal sebagai wujud optimisme gitu nggak boleh sih? Hadeh, dasar golongan pesimistis.
Selain itu, kalaupun akhirnya ekonomi nggak jadi bagus, dan gelandangan masih banyak serta nggak bisa bayar denda. Ya udah deh, tinggal masuk penjara aja kan beres?
Lagian daripada menggelandang nggak jelas begitu kan lebih baik di penjara. Terbebas dari udara dingin malam, bisa berteduh kalau hujan deras, bahkan dapat ruang tidur gratis, dan dapat jatah makan tiap hari lagi. Coba, kurang baik apa negara ini kepada warga negaranya?
Apalagi RUU KUHP yang disusun oleh DPR tentang gelandangan ini sebenarnya merupakan amanat UUD 45 pasal 34 ayat 1. “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.” Artinya negara menjamin dan memelihara gelandangan juga. Dipelihara di dalam penjara tapi ya. Ya nggak apa-apa dong, yang penting kan dipelihara dulu. Itu.
Nah, hal itulah yang kemudian dimaksud dari hukum tidak bisa berdiri sendiri. Sebab selalu ada keterkaitan satu sama lain. Dan kalau kita mau melihat ini pakai prasangka baik, kita akan melihat betapa baiknya DPR RI terhadap rakyatnya.
Masalahnya memang Presiden Jokowi malah meminta pengesahan RUU KUHP ini ditunda dulu. Waduh, Pak Jokowi ini gimana sih? RUU KUHP udah disusun pakai perasaan begini kok malah main ditunda-tunda aja. Hadeh, dasar Presiden nggak peka.
BACA JUGA Fyuh, Untung di RUU KUHP Cuma Ada Pasal Penghinaan Presiden dan Pasal Kritik Hakim atau artikel Ahmad Khadafi lainnya.