MOJOK.CO – Pak Jokowi ini memang gagal paham. Malah pakai marah-marah ketika kampanye. Marah-marah itu sudah jatahnya Pak Prabowo dan pihak oposisi yang manis itu.
Akhir pekan itu harusnya diisi dengan piknik. Ya paling nggak bermalas-malasan di sofa sambil nonton Netflix. Heran, ini Jokowi malah marah-marah. Sampai-sampai, si petahana itu disebut menyerupai oposisi. Detik bahkan bikin tulisan dengan judul “Jokowi Rasa Oposisi”. Ini Kakungnya Jan Ethes apa nggak paham ya? Marah-marah kan jatahnya Prabowo.
Bermain peran di sebuah drama itu kan sudah dibagi-bagi. Siapa yang jadi protagonis, siapa yang jadi antagonis, siapa yang jadi pemain pembantu seperti Fadli Zon dan Hasto Kristianto. Kalau masing-masing pemeran menyerobot peran temannya, gimana jadinya pementasan itu? Rusak. Kacau. Makanya, Pak Jokowi, Anda itu nggak boleh ngambil peran Prabowo.
Ketika berkampanye di Surabaya dan Semarang, pas dapat gelar Presiden Jancuk, ahh maaf, maksud saya Cak Jancuk, Pak Jokowi menyerang kubu Prabowo. Nggak secara langsung, sih. Tapi ya situ semua paham di Pilpres 2019 ini kalau A pasti menyerang B, vice versa, ketika melontarkan kritik, atau dalam kasus ini: marah-marah. Ancene jancoegh tenan!
Lha ini Pak Jokowi sudah gagal paham. Ketika bersilaturahmi dengan Paguyuban Pangusaha Jawa Tengah di MG Setos, Semarang, Jokowi nyindir soal narasi “Indonesia Bubar dan Punah”. Katanya, kalau serem-serem begitu jangan ajak rakyat Indonesia. Tidak berhenti sampai di situ, beliau menyinggung soal selang darah di RSCM yang dipakai 40 kali.
“Jangan ada ngomong lagi nanti selang darah dipakai 40 kali. Jangan sampai ada ngomong lagi tempe setipis ATM,” nyinyir petahana. Pak Jokowi menutup dengan beat Ratna Sarumpaet dan sindiran konsultan asing yang dipakai Prabowo.
“Yang dipakai konsultan asing. Nggak mikir ini memecah belah rakyat atau tidak, nggak mikir mengganggu ketenangan rakyat atau tidak, ini membuat rakyat khawatir atau tidak, membuat rakyat takut, nggak peduli. Konsultannya konsultan asing. Terus yang antek asing siapa?” kata Jokowi di De Tjolomadoe, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Minggu (3/2).
Pada titik tertentu, Pakdhe ini lebih lucu ketimbang Komika yang udah bikin pentas tunggal keliling Indonesia. Pedes lagi marah-marahnya.
Tapi ini Jokowi gagal paham, sih. Sebagai petahana, yang nyalon bersama seorang kiai lagi, seharusnya bersikap santun. Cerita saja soal pencapaian kerja ketika kampanye. Bisa juga cerita program yang akan dilakukan ketika nanti menang Pilpres 2019. Kalau kubu oposisi kan nggak bisa yang begituan, cerita pencapaian. Makanya, produksi marah-marah itu yang dipakai. Masak Pak Jokowi nggak paham, sih?
Gun Gun Heryanto, pakar komunikasi politik berpandangan bahwa perubahan gaya petahana tidak sekadar bentuk kepanikan atau kekhawatiran. Bagi Gun Gun, ini sebuah bentuk rasa percaya diri.
“Saya lihat keduanya ada, kenapa? Pertama sebagai incumbent Jokowi ini punya self-confident, mungkin memiliki kekuatan riil politik, sekarang sebagai incumbent tak salah juga kalau punya kepercayaan diri.”
Kalau bicara ahli beladiri, yang ditunjukkan Jokowi saat ini adalah seperti seseorang yang menguasai Tai-Chi. Kamu ingat film Tai-Chi Master (1993) yang dibintangi Jet Li?
Jet Li digambarkan sebagai biksu yang cabut dari biara. Setelah dihajar habis-habisan oleh kawannya, Jet Li belajar Tai-Chi, sebuah ilmu beladiri yang mementingkan keseimbangan energi chi. Beladiri yang juga dikenal sebagai “pukulan halus” ini terlihat lambat dalam gerakan. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai senam.
Latihan Tai-Chi dikondisikan untuk tenang karena beladiri ini mengalir bersama gerak lawan. Tai-Chi menggunakan kekuatan lawan untuk memukul diri mereka sendiri. Jet Li mempelajari “pukulan halus” untuk mengalahkan kawannya, yang jago ilmu beladiri kasar. Pada akhirnya, memanfaatkan serangan lawan, Jet Li menang. Protagonis biasa begitu. Lakon menang keri.
Nah, yang dilakukan Jokowi itu sebenarnya seperti Tai-Chi Master. Ia memanfaatkan serangan-serangan kasar Prabowo lewat “pukulan halus”. Lha wong hanya mengembalikan serangan-serangan kok. Bukan menyerang secara frontal pakai bahan baru.
Tapi ya memang, konsep wagu seperti sudah kadung disepakati bahwa opisisi selalu oppose atau ‘menentang’ atau ‘melawan’. Sementara itu petahana nggak boleh. Petahana harus halus, apalagi Pak Jokowi orang Solo yang dikenal halus.
Nah, maka dari itu, Pak. Jangan terlalu banyak marah-marah, nanti kesirep sama taktik opsisi. Biarlah kubu Pak Prabowo yang marah-marah. Kalau nggak marah-marah mereka cuma bisa mengartikan tanda-tanda alam. Kasihan, nanti jadi ahli nujum, bukan oposisi di Pilpres 2019.