MOJOK.CO – Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) masih cukup percaya diri namanya masuk daftar nominasi calon wakil presiden untuk Jokowi. Meski begitu, sebaiknya Jokowi memang tidak pilih Cak Imin saja. Ini alasannya.
Daftar nama calon wakil presiden (cawapres) untuk Presiden Jokowi memang sudah mengerucut dari 10 orang jadi tinggal 5 nama. Beberapa nama besar diduga masuk, dari nama-nama tersebut Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yakin nama Muhaimin Iskandar (Cak Imin) masuk dalam daftar.
Keyakinan ini muncul dari dari Ketua Umum PKB sendiri, alias Cak Imin. “Pastilah, pasti, nominasi, nominasi,” katanya percaya diri.
Seperti yang sudah diketahui, beberapa nama cawapres untuk mendampingi Presiden Jokowi berasal dari berbagai kalangan. Ada yang dari partai, nonpartai, golongan profesional, bahkan termasuk juga TNI-Polri.
Sikap Cak Imin ini memang bisa dianggap sebagai sikap yang percaya diri—atau sudah masuk kategori over? Ya maklum, hanya Cak Imin kiranya yang sudah melejit menjadi cawapres. Perhatikan saja, hampir di tiap lampu merah di kota-kota besar di Indonesia, baliho Cak Imin nongol di mana-mana. Jargonnya pun tidak main-main; “Cawapres Zaman Now”.
Meski sudah mengeluarkan dana yang tak bisa dibilang sedikit untuk mendongkrak namanya, dari berbagai sumber PDIP, nama Cak Imin justru tidak masuk dari pengerucutan nama cawapres Jokowi. Seperti misalnya informasi dari Junimart Girsang, Kepala Badan Bantuan Hukum PDIP. “Setahu saya (nama Cak Imin) nggak masuk,” katanya.
Informasi ini tentu sedikit mengkhawatirkan, sebab seolah tidak ingin mendengar beberapa spekulasi ini, Cak Imin tetep kukuh yakin dirinya yang akan dipilih. “Pokoknya sampai hari ini kiai dan kita semua tetap ada JOIN, Jokowi-Cak Imin. Proses dan prospeknya kita tunggu saja. Optimis,” kata Cak Imin.
Sebagai seorang politisi ulung, barangkali Cak Imin memang sudah memupuk rasa optimisme sejak dulu, hanya saja rasa kepercayaan diri yang berlebihan ini justru membuat masyarakat sedikit khawatir. Apa yang akan dilakukan Cak Imin jika seandainya Jokowi dan koalisi PDIP tidak meliriknya sama sekali?
Hal ini bisa saja terjadi, sebab secara popularitas nama Cak Imin belum punya pengaruh besar. Secara popularitas, oke deh, banyak masyarakat sekarang tahu siapa Muhaimin Iskandar, tapi yakin masyarakat akan memilih hanya dari ajakan di baliho-baliho jalanan? Sebab yang ditangkap dari munculnya baliho di mana-mana adalah nafsu jadi pemimpin yang kelewat besar tanpa mengajukan tawaran yang lebih masuk akal. Ini tentu bukan persepsi yang diharapkan oleh PKB tentunya.
Hal ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan—misalnya—Mahfud MD yang belakang sering muncul pada program-program acara televisi tanah air. Meski secara langsung sudah tidak lagi punya pengaruh dalam dinamika politik di tanah air, semakin seringnya program televisi yang menjadikan komentar-komentar Mahfud MD sebagai acuan, maka masyarakat akan menilai bahwa Mahfud MD populer karena memang kapasitasnya yang memang dimediasi oleh pihak ketiga (program televisi). Ini jelas berbeda dengan “Cawapres Zaman Now” yang jadi populer karena dikatrol oleh kubunya sendiri.
Selain itu, sasaran Cak Imin yang akan menjamin suara santri untuk Jokowi sepertinya patut dipertanyakan ulang. Memang betul golongan santri banyak yang percaya dengan keponakan Gus Dur ini, tapi jangan lupa di kubu santri juga ada PPP dengan Muhammad Romahurmuziy-nya yang belakang juga menyusul Cak Imin dengan muncul di baliho jalanan meski dengan jargon yang masih malu-malu kucing.
Memilih di antara keduanya malah bisa jadi buah simalakama. Sebab, dengan memilih antara Cak Imin atau Gus Rommy berpotensi menghilangkan simpati dari salah satu calon pemilih nantinya. Langkah yang aman justru tidak memilih keduanya sekalian, biar tidak ada rasa cemburu di antara kedua kubu.
Lagipula secara hitung-hitungan sederhana, sebenarnya pihak Jokowi tidak perlu mempersoalkan dukungan golongan santri. Seperti yang kita tahu, sudah sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Jokowi sudah menyasar santri dengan janji-janji politiknya. Salah satunya dengan mendeklarasikan “Hari Santri” setiap 22 Oktober. Sudah barang tentu memilih cawapres dari golongan santri bukan pilihan yang menjanjikan, karena sebagian golongan santri sudah bisa dibilang merapat ke Jokowi. Untuk apa mencari pendongkrak suara jika sebagian suaranya sudah bisa diupayakan sendiri tho?
Justru akan jadi pilihan masuk akal jika pihak Jokowi memilih sosok-sosok yang punya kecenderungan massa pemilih sedikit berseberangan. Tuan Guru Bajang Zainul Majdi misalnya, bisa jadi malah lebih mengutungkan. Sebab dengan menggandeng TGB, suara dari kubu lawan bisa diseret untuk jadi tambahan yang cukup signifikan. Meski secara elektabilitas dan popularitas nama TGB masih perlu waktu untuk dikatrol lagi pada skala nasional.
Selain TGB, golongan militer juga rupa-rupanya perlu dipikirkan juga oleh Jokowi. Sebab yang namanya pemerintahan dengan militer itu ibarat orang pelihara singa. Kalau terlalu jauh hubungannya bisa berbahaya, tapi juga jangan sok-kenal-sok-dekat nanti bisa kena cakar.
Lagipula beberapa kasus di tahun-tahun sebelumnya, cukup lama nama Jokowi dibenturkan dengan militer. Keduanya seolah dicitrakan tidak begitu akrab. Dengan menggandeng cawapres dari militer, hal ini bisa jadi merupakan langkah paling strategis secara keamanan dan stabilitas politik Jokowi untuk lima tahun ke depan.
Mengingat lawannya nanti juga dari kalangan militer, maka pilihan ini bisa punya dua keuntungan sekaligus. Pertama, meredakan citra “tak akrab” antara Presiden dengan Militer. Kedua, bikin bingung kubu pemilih lawan dari golongan militer, karena bakal ada dua purnawirawan yang berlaga pada Pilpres 2019. (K/A)