MOJOK.CO – Selamat ulang tahun ke-57, wahai Pak Jokowi yang dulu pernah dibodoh-bodohin Gubernur Jawa Tengah dan pernah dibilang nggak punya potongan wali kota oleh Bu Megawati!
“Iya, saya itu memang masih bodoh. Masih harus banyak belajar ke banyak orang. Dibilang begitu ya nggak apa-apa,” kata Jokowi kepada wartawan di Balai Kota Surakarta, 27 Juni 2011.
Tanggapan itu keluar setelah Jokowi dikatai “Wali Kota Solo itu bodoh!” oleh Gubernur Jawa Tengah saat itu, Bibit Waluyo. Pernyataan kasar itu keluar gara-gara Jokowi menolak keinginan Bibit untuk mengizinkan pendirian mal di lokasi bekas pabrik es Sari Petodjo di Solo. Alasan Jokowi, selain karena bangunan lama Sari Petodjo adalah cagar budaya, sebuah pasar berada tak jauh dari sana.
Makian bodoh itu menjadi fenomenal. Mungkin saking emosinya, Bibit lupa bahwa meski lelaki kurus itu cuma wali kota, Jokowi adalah media darling. Semua bermula setelah keberhasilannya memindahkan ratusan PKL tanpa paksaan menjadi sensasi nasional.
Kekhilafan Bibit juga jadi blunder besar kalau ia ingat bahwa, setahun sebelum kata bodoh itu terlontar, Jokowi baru saja memenangi Pemilihan Wali Kota Surakarta 2010 dengan persentase dukungan sampai 90%.
Setahun setelah makian itu, pada 2012 Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Lalu setahun kemudian, di Pemilihan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo kalah dari Ganjar Pranowo.
Kembali lagi ke 2011, kepada Fortune Indonesia Jokowi mengomentari makian Bibit itu. “Darah rasanya naik ke kepala semua. Tapi, saya mencoba tenang. Maka itu saya hanya berkomentar, ya sudah, saya memang bodoh, masih harus banyak belajar.”
***
Lahir di Solo pada 21 Juni 1961, anak lelaki pertama pasangan Wijiatno Notomiarjo dan Sujiatmi ini mulanya diberi nama Mulyono. Namun, seperti yang dialami Presiden Sukarno, karena kerap sakit, nama Mulyono diganti dengan Joko Widodo. Artinya, lelaki yang sehat dan sejahtera.
Joko menyelesaikan pendidikan tingginya di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Selesai kuliah di usia 24 tahun, ia kemudian bekerja di PT Kertas Kraft Aceh, tapi kemudian keluar karena tidak betah. Joko lalu pulang ke Solo dan bekerja di bengkel kayu usaha turun-temurun keluarganya. Setelah menikah, ia mendirikan bengkel kayunya sendiri yang diberi nama Rakabu, diambil dari nama anak pertamanya, Gibran Rakabuming Raka.
Semasa menjadi pengusaha, Joko Widodo adalah pengusaha yang kerap bepergian keluar negeri. Syahdan, karena seorang rekanan bisnis dari Prancis bernama Bernard yang sulit membedakan Joko Widodo dari Joko-Joko lainnya, ia membuat panggilan baru untuknya, “Jokowi”. Nama yang populer hingga kini.
Dari tukang kayu menjadi eksportir mebel, Jokowi bergabung dengan Asmindo (Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Tangan Indonesia) Komisariat Daerah Solo dan menjadi ketuanya.
Jika mengamati tuturan Jokowi tentang bagaimana ia masuk ke politik, ia selalu bahwa semua itu tidak direncanakan. Termasuk ketika maju di Pilwakot Surakarta 2005. Menurut Jokowi, dorongan rekan-rekannya di Asmindo yang membuatnya ikut mencalonkan diri.
Setelah menjabat satu periode, bersama pasangan yang sama Jokowi kembali maju di Pilwakot Surakarta 2010 dan menang kembali. Tidak direncanakan, tahu-tahu jadi wali kota dua kali. Tidak direncanakan, tahu-tahu jadi gubernur. Tidak direncanakan, tahu-tahu jadi terancam jadi presiden dua periode. Mungkin begitu maksud Jokowi, mencoba rendah hati khas Jawa.
Tapi, bisa juga “tidak direncanakan” itu memang ekspresi jujur Jokowi. Menurut Andina Dwifatma dalam laporannya untuk Fortune Indonesia tersebut, ia mendapat cerita dari Ade Rizal, wartawan Tribun Jogja tentang tanggapan Megawati Soekarnoputri saat tahu calon wali kota Solo dari PDIP di pemilihan 2005 adalah Jokowi.
“Konon cerita ini sudah menjadi semacam rahasia umum di kota. Megawati menyipitkan mata dan berkata dengan nada sangsi, ‘Ini calon walikotanya? Nggak ada yang lain? Ini sih nggak ada potongan!’,” tulis Andina.
Diremehkan karena perawakan dan latar belakang yang biasa-biasa saja bukan sekali dua kali terjadi pada Jokowi. Jokowi yang ceking melawan Prabowo yang gagah adalah salah satu narasi yang diputar di Pilpres 2014. Bahkan, Jokowi punya satu kisah jenaka soal ini.
Dikutip dari Kompas.com, Jokowi pernah berkisah bahwa saat di Solo, gara-gara kalah gagah, ia kerap disangka ajudan dan ajudannya yang dikira wali kota.
“Dikira yang wali kota itu ajudan saya, dia yang disalami. Awal-awal saya tahan, tapi tiga bulan, saya langsung minta ganti ajudan saja,” kata Jokowi.
Ajudan penggantinya adalah Pradista Machdala Putra, sosok terpilih dari tujuh calon ajudan lainnya. Jokowi memilihnya dengan alasan bahwa ia yang paling pintar. Tampangnya? Jelas jauh dari standar ganteng yang umum. Kalau kata orang Jawa Tengah, Jokowi dan ajudannya ini padha-padha ora mbejaji.
Pada diri Jokowi memang melekat gambaran seorang medioker—orang yang biasa-biasa saja; seorang kawula. Ceking, tidak kelihatan pintar-pintar amat, cara bicaranya jelas bukan performa terbaik seorang pejabat negara, bukan keturunan pembesar, bahasa Inggrisnya hancur, tidak miskin walau juga tidak sangat kaya.
Namun, kemediokerannya itu justru membuat sebagian pemilihnya mengidentifikasi diri mereka pada sosok Jokowi. Jokowi adalah saya. Jokowi adalah kita. Jokowi adalah tokoh yang sangat Laskar Pelangi. Dengan segala kemediokerannya itu, ia membangun legacy-nya dari nol. Sosok from zero to hero. Kisah sukses favorit Indonesia, menyerupai american dream di Amerika Serikat sana.
Tambah lagi, Jokowi menampilkan dirinya sebagai orang yang menyenangkan. Sangat natural saat berhadapan dengan anak-anak, benci birokrasi berbelit, plus humoris. Siapa orang Indonesia yang tidak suka humor? Humor garing berupa kuis menyebut lima nama ikan sekalipun.
***
Die hard Jokowi percaya, apa yang dilakukan Jokowi saat ini adalah usaha terbaik yang bisa ia lakukan. Mereka masih percaya pemimpin ini berniat baik walau tak selamanya semua bisa berjalan mulus.
Namun, masa kepresidenannya punya banyak sekali catatan buruk. Nilai tukar rupiah yang terbanting, perlambatan ekonomi, liberalisasi ekonomi yang dibuka lebar-lebar, penggusuran, diskriminasi, konflik SARA, gizi buruk, penuntasan kejahatan HAM, hingga kebiasaan pemerintahannya membongkar pasang peraturan.
Hari ini Jokowi tepat berusia 57 tahun. Tidak muda, tapi belum sepuh. Cucunya juga baru satu. Di usia ini, ia harus menyiapkan tenaga untuk laga yang kemungkinan besar akan menjadi kelanjutan palagan 2014: Pemilihan Presiden 2019.
Saat ia digadang-gadang untuk maju ke Pilgub Jakarta 2012, kepada Fortune Indonesia Jokowi pernah bilang bahwa ia masih menimbang-nimbang. Entah jujur atau tidak, ia menyiratkan bahwa menjadi pejabat bukan keinginan terdalamnya. “Saya pribadi mau kembali ke habitat tukang kayu. Kalaupun menjabat, paling tinggi nanti daftar jadi Ketua RT saja.”
Ia berkata begitu, lalu tertawa.