MOJOK.CO – Jengkelnya Taufik Hidayat adalah peringatan kepada segenap stakeholder olahraga, terutama sepak bola bukan buat bulu tangkis saja.
“(…) Ada apa dengan LADI (Lembaga Anti-Doping Indonesia) dan pemerintah kita? Khususnya Menpora, KONI, dan KOI? Kerjamu selama ini ngapain aja? Bikin malu negara Indonesia aja. Jangan ngarep jadi tuan rumah Olympic or Piala Dunia… urusan kecil aja nggak bisa beres. Kacau dunia olahraga ini,” omel Taufik Hidayat di Instagram pribadinya.
Asyik, ya, melihat Taufik Hidayat jengkel, ngamuk, marah. Bodo amat sama isitilahnya. Makin asyik ketika nggak ada yang berani menyerang balik legenda bulu tangkis Indonesia itu. Mau tanya kontribusi Taufik Hidayat? Wah, bakal makin runyam. Nggak ada yang bisa membantah bahwa di zamannya, Taufik seperti memikul beban bulu tangkis Indonesia di pundaknya.
Yah, kamu udah tahu latar belakang jengkelnya legenda bulu tangkis Indonesia itu, kan?
Badan Anti-doping Dunia (WADA) memberi sanksi ke Indonesia karena Kemenpora tidak memenuhi jumlah sampel doping yang sesuai regulasi. Kemenpora sudah dikirimi teguran sejak 15 September 2021, lalu diberi waktu masa sanggah selama 21 hari, yang artinya sampai tanggal 6 Oktober 2021. Hukuman pun dijatuhkan pada 7 Oktober 2021 lewat surat resmi.
Uniknya, Kemenpora baru koordinasi dengan Lembaga Anti-doping Indonesia (LADI) pada tanggal 8 Oktober 2021. Telat sehari. Telat sehari artinya sudah tidak ada lagi masa sanggah. Menpora dan Kemenpora baru bereaksi setelah hukuman dijatuhkan.
Konsekuensinya, Indonesia tidak boleh mengirimkan wakil atlet atas nama negara di kompetisi internasional setelah sanksi dijatuhkan. Efek yang langsung terasa saat Hendra Setiawan dkk. mengangkat Piala Thomas.
Mereka boleh berlaga, boleh tetap memenangkan kompetisi, tapi mereka ke sana secara resmi di atas surat administasi bukan mewakili Indonesia, tapi mewakili PBSI.
Apa yang terjadi jika tim bulu tangkis Indonesia di Piala Thomas tidak lolos sampai semifinal (syarat minimal naik podium). Kemungkinannya dua. Pertama, buruknya manajemen Menpora nggak akan ramai dibahas. Kedua, Menpora makin berdoa. Makin dirujak netizen.
Konyolnya, bukannya mengevaluasi diri atau minta maaf ke seluruh rakyat bulu tangkis Indonesia, Menpora malah menyalahkan BWF yang langsung menerapkan rekomendasi sanksi dari WADA. Gimana, sih, namanya aturan memang harus ditegakkan. Di Indonesia ini, terlalu menggampangkan penerapan aturan.
Nah, tahukah kamu, jengkelnya Taufik Hidayat itu sebetulnya nggak cuma untuk federasi bulu tangkis Indonesia saja. Kalau kita perluas konteksnya, amukan Taufik juga bisa dipakai untuk memaki olahraga Indonesia. Tentu nggak semua. Ada angkat besi yang berprestasi tapi jarang dapat sorotan. Saya bicara soal sepak bola.
Salah satu aturan yang “dengan enteng” diterobos adalah lisensi klub. Kita seharusnya ingat ketika pada 2019, lahir sebuah klub bernama Perseru Badak Lampung FC. Klub ini adalah salah satu klub yang lahir dari gelombang tren “klub instan”.
Konyolnya, klub instan seperti ini tidak perlu merangkak dari divisi terendah. Orang-orang berduit tinggal beli lisensi klub di kasta tertinggi yang lagi sulit cuan lalu memindahkan homebase. Wah pindah homebase? Sleman fans tentu lagi jengkel banget kayak Taufik Hidayat kalau dengar istilah itu.
Ya memang begitu tabiat orang kaya, yang merasa bisa mempermaikan aturan. Lagian, tidak ada tindakan tegas dari mereka yang punya kuasa, kok. Seakan-akan, duit itu punya rasa, yaitu gurih, apalagi kalau nilainya sampai miliaran.
Sebelum Badak Lampung FC, kalau tidak salah hitung, ada empat klub instan lainnya. Mereka adalah Bhayangkara FC, Tira Persikabo, Bali United, dan Madura United.
Bhayangkara FC berawal dari dualisme Persebaya yang beralih ke Liga Primer Indonesia (LPI). Mereka mengubah nama menjadi Persebaya 1927.
Tidak lama, lahir Persikubar Kutai Barat yang diboyong ke Surabaya. Namanya berubah menjadi Persebaya untuk main di ISL (kasta teratas).
Persebaya ISL akhirnya mengalami masalah legalitas dan harus mengubah nama. Akhirnya, mereka menjadi Bhayangkara FC usai merger dengan PS Polri.
Bali United? Klub ini muncul usai pengusaha Yabes Tanuri mengakuisisi dan membeli lisensi Persisam Putra Samarinda yang lagi sekarat butuh siraman duit. Persisam dibawa ke Bali lalu namanya diubah jadi Bali United. Iya, klub yang perkembangannya sangat pesat itu.
Kayaknya masih ada lagi yang lain, tapi saya lupa. Intinya, jalan tol” selalu diberikan oleh mereka yang punya kuasa. Menyalahi aturan? Apa itu aturan kalau ada duit yang gurih banget.
Mengutip indosport.com, lisensi klub bisa saja dijual jika klub mengalami kebangkrutan atau dalam masa pembubaran. Ini isi dari statuta dan regulasi FIFA artikel 4.4 halaman 20 soal lisensi klub.
Nah, di Indonesia, pengakuisisian klub oleh investor dipandang kayak mendirikan klub baru. AFC dan PSSI nggak berkutik. Selama klub memenuhi lima aspek, yakni legalitas, infrastruktur, finansial, pembinaan olahraga, dan manajemen klub.
Padahal, klub baru harusnya mulai dari kasta terendah, dong. Gimana dengan masalah “rasa” dengan klub lama yang sudah berjuang dari bawah? Mereka ini cuma populer saja di media, kaya raya, tapi nggak punya basis suporter yang besar dan setia.
Yah, itu baru soal lisensi saja. Masih banyak situasi di mana omelan Taufik Hidayat bisa dipakai. “Kacau dunia olahraga ini,” tegas legenda bulu tangkis Indonesia itu.
Ya kan, jengkelnya Taufik Hidayat adalah peringatan kepada segenap stakeholder olahraga. Sekarang lagi panas soal kisruh PSS Sleman dan manajemen. Saya malah berharap masalah ini tetap membara, meledak, lalu membuka lebih banyak borok di dunia sepak bola.
Kalau udah terbuka semua, suporter bola seluruh Indonesia bisa bergerak bersama untuk menendang pantat pemilik dan investor brengsek yang di dalam hatinya cuma ada cuan. ASUOGG!
BACA JUGA Kritik untuk Menpora dan Alasan Tak Becusnya Negara Mengurus Olahraga dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.