Di beranda Facebook saya, ada satu video yang banyak dishare oleh kawan-kawan saya. Video tersebut berisi semacam wawancara untuk mengulik harga outfit anak-anak muda hype ibukota yang sungguh membikin siapa pun yang melihatnya jadi merasa miskin.
Video tersebut dibikin oleh seseorang bernama Yoshi Setyawan. Yoshi menyebut dirinya sebagai seorang hypebeast (entah apa maksud hypebeast itu, mungkin kependekan dari “hypebeast gelap terbytlah terank”, atau “hypebeast maneast sepah dybuang”).
Jadi, si Yoshi ini mewawancarai anak-anak muda yang mengunjungi acara Urban Sneaker Society 2.0 di Grand Indonesia beberapa waktu yang lalu. Dalam wawancara tersebut, ia menunjukkan betapa harga pakaian anak-anak muda hype ibukota yang begitu mencengangkan.
Anak-anak muda yang diwawancarai oleh Yoshi ini memakai aneka pakaian, topi, kacamata, sampai sepatu bermerk terkenal seperti BAPE, Supreme, sampai Gucci yang tentu saja harganya fantastis.
Ada yang pakai topi seharga 700 ribu, ada yang pakai hoodie seharga 7 juta, ada yang pakai sepatu 10 juta, ada yang pakai tas slempang 4 juta, bahkan ada yang pakai jam tangan harga 200 juta (Masya Allah, jam tangan 200 juta, padahal detik sama menitnya sama saja dibanding jam tangan duapuluh ribuan, 1 menit isinya ya tetep 60 detik)
Video tersebut sungguh membuat saya merenung, betapa ketimpangan dan ketidakadilan adalah tontonan yang begitu akrab dan tersebar di mana-mana.
Ada banyak orang yang bingung menghabiskan uang untuk apa, sementara lebih banyak orang yang bingung mau cari uang dari mana? Semua punya kebingungannya masing-masing.
Saya jadi ingat dengan tulisan lama Cak Nun yang berjudul “Ranjang 65 juta”, dalam tulisan tersebut, Cak Nun menulis begini:
“Kita bisa dan boleh membeli ranjang dan kasur tidur seharga 65 juta rupiah. Tapi kita pilih yang harganya satu juta rupiah saja. Atau yang harganya seratus ribu rupiah saja. Bahkan ada teman kita yang memilih jauh lebih murah dari itu.
Kenapa? Salah satu jawabannya adalah: karena ia dewasa.
Ranjang 65 juta rupiah itu bisa dipakai untuk menggaji 2000 guru sekolah dasar, atau untuk makan minum sebulan 1000 keluarga rakyat kecil, atau bisa juga dipakai untuk memodali 130 organisasi koperasi wong cilik.”
Memang susah untuk memahami bagaimana pola konsumtif manusia. Ada yang membeli sesuatu karena gengsi, ada yang membeli sesuatu karena fungsi.
Untuk urusan yang satu ini, tak ada yang lebih jernih dan filosofis ketimbang Paijo, kawan saya di Geng Koplo.
“Tuku cawet ki rasah sing larang, wong yo ra iso dipamerke, kecuali nek kowe kerep nglonte…” tutur Paijo pada saya suatu ketika.
Saya terdiam. Tentu sambil mengamininya.