Greta dan Malala, Dua Remaja Perempuan Keras Kepala yang Berusaha Mengubah Dunia

Greta dan Malala, Dua Remaja Keras Kepala yang Berusaha Menggugah Dunia MOJOK.CO

MOJOK.COBerhadapan dengan orang keras kepala kadang menyebalkan. Mungkin ini yang dirasakan oleh orang-orang yang berseberangan dengan Greta dan Malala.

Malala Yousafzai, pada Oktober 2012 kepalanya ditembak oleh anggota pasukan Taliban. Pasalnya, ia terus mengampanyekan akses pendidikan khususnya bagi perempuan. Bagi Taliban, perempuan yang berpendidikan jauh lebih menakutkan dibandingkan bom ataupun serangan rudal. Sejak peristiwa itu, Malala dikenal dunia. Apalagi setelah di panggung PBB, ia menyampaikan pidato menggugah, “Mereka (Taliban) merasa peluru mampu membungkam kita. Tapi mereka gagal.”

Akan tetapi, meskipun dunia memujanya, tidak seperti itu yang terjadi di tanah kelahirannya sendiri, Pakistan. Banyak yang mempertanyakan kontribusinya bagi Pakistan. Ada pula cerita-cerita konspirasi yang tersebar dan menuduhnya dengan anggapan bermacam-macam, sehingga ia tidak pantas dikagumi. Di Pakistan yang konservatif, Malala selalu dituduh sebagai sosok yang antek barat. Sosok yang tidak layak untuk diberi simpati oleh masyarakat Pakistan.

Meski begitu, Malala tidak takut. Ia tetap meyakini jalannya, meskipun seolah dibenci oleh negaranya sendiri. Bahkan melalui The Malala Fund, ia mengupayakan pendidikan yang setara bagi perempuan. Dilansir dari Tirto, ia menyelenggarakan program kampanye pendidikan lokal di seluruh dunia, termasuk Pakistan. Selain itu, The Malala Fund ini juga mengawasi beberapa program pendidikan di Pakistan seperti membangun sekolah bagi anak-anak di daerah konflik, memperbaiki ruang kelas, hingga menyediakan perlengkapan sekolah bagi anak perempuan.

Ya, dengan keras kepalanya, Malala tetap menyuarakan hal-hal yang sempat dibungkam oleh peluru Taliban atau berbagai konspirasi yang memperburuk citranya.

Tidak hanya ada Malala. Dunia juga mengenal Greta Thunberg sebagai remaja yang sangat keras kepala. Remaja 16 tahun ini, terus menjaga semangatnya untuk berjuang menghentikan perubahan iklim: Suatu hal yang ia tidak pahami bagaimana bisa terjadi karena perilaku manusia.

Sejak Agustus 2018 lalu, ia mulai melakukan demontrasi di depan gedung parlemen Swedia. Setiap hari Jumat dari pagi sampai sore dengan membawa papan tuntutan bertuliskan, “skolstrejk för klimatet” (bolos sekolah demi perubahan iklim). Ia bertekad melakukan aksi tersebut sampai anggota parlemen Swedia menetapkan aturan baru terkait perubahan iklim.

Meskipun tidak ada tanggapan, Greta tetap bodo amat. Tetap kaffah dalam aksinya. Konsistensi itulah yang memotivasi remaja di negara lain untuk melakukan hal serupa. Dilansir dari BBCpertengahan Maret lalu, 1,6 juta siswa dari 125 negara melakukan hal serupa. Mereka melakukan demonstrasi menuntut tindakan nyata terkait perubahan iklim. Dikutip dari Okezone, Reuters menyebutkan, ada 4 juta anak yang turut berpartisipasi di seluruh dunia. Greta tidak lagi sendirian.

Walaupun banyak yang mendukungnya, bukan berarti tidak ada yang menolaknya. Dalam tabloid milik Rupert Murdoch misalnya, pembunuhan karakter pada Greta diungkapkan dengan tajam. Mereka secara berulang menyerang Greta sebagai sebagai bocah yang mengalami gangguan mental, “sangat kacau”, dan aneh.

Selain itu, keputusannya untuk pergi ke Amerika untuk menghadiri KTT tentang perubahan iklim di PBB dengan menggunakan kapal pesiar berkecepatan tinggi pun, juga banyak diremehkan. Akan tetapi, Greta tidak peduli, ia tetap pada keyakinannya.

Bahkan dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Pemuda PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pertama terkait perubahan iklim, pada Senin (23/09) kemarin, Greta dengan penuh keberanian dan tampak emosional, meluapkan kekecewaannya kepada para pemimpin dunia. Dalam waktu sekitar 3 menit, Greta menyampaikan pidatonya.

Di awal pidatonya ia mengungkapkan seharusnya ia berada di sekolah bukan berbicara di dalam pertemuan tersebut. Ia marah, karena para pemimpin sudah mencuri mimpi dan masa kanak-kanaknya dengan omong kosong. Ia marah, karena dengan ekosistem yang hampir runtuh, yang “mereka” bicarakan hanyalah soal uang dan cerita dongeng soal pertumbuhan ekonomi abadi.

“This is all wrong. I shouldn’t be up here. I should be back in school on the other side of the ocean. Yet, you all come to us young people for hope. How dare you! You have stolen my dreams and my childhood with your empty words. And yet, I’m one of the lucky ones. People are suffering. People are dying. Entire ecosystems are collapsing. We are in the beginning of a mass extinction, and all you can talk about is money and fairy tales of eternal economic growth. How dare you!”

Semua ini salah. Aku seharusnya tak berada di sini. Aku seharusnya sedang di sekolah, di sisi lain lautan (merujuk lokasi Swedia yang berada di seberang laut dari Amerika Serikat). Sekarang, kalian semua berharap kepada anak-anak muda. Berani-beraninya kalian! Dengan kata-kata palsu kalian, kalian telah mencuri mimpi dan masa kecilku. Tapi aku salah satu yang beruntung. Orang lain menderita. Orang-orang sekarat. Seluruh ekosistem kita hancur. Kita sedang di permulaan kehancuran massal, dan yang kalian katakan hanyalah soal uang dan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi abadi. Berani-beraninya kalian!

KTT Perubahan Iklim yang diselenggarakan PBB di New York tersebut dihadiri oleh para pemimpin dunia yang menyuarakan berbagai janji terkait upaya-upaya pencegahan perubahan iklim. Dalam kesempatan tersebut, Greta mendesak para pemimpin dunia yang hadir untuk segera mengambil tindakan dalam mengatasi perubahan iklim.

“The world is waking up and change is coming, wether you like it or not.” Dunia sedang bangkit dan kalian suka atau tidak, perubahan sedang terjadi. Demikian ia menutup dengan nada mengingatkan yang cukup mengancam.

BACA JUGA Greta Thunberg, Remaja Paling Penting untuk Diteladani Saat Ini atau artikel Audian Laili lainnya.

Exit mobile version