MOJOK.CO – Rencana pengesahan RUU KUHP menuai pergunjiangan banyak pihak. Terutama di pasal penghinaan presiden dan pasal kritik hakim.
Gonjang-ganjing DPR RI bakal mengesahkan revisi Undang-Undang KUHP (RUU KUHP) sudah menjadi buih ghibah di lautan linimasa media sosial dan media massa belakangan ini. Kekhawatiran-kekhawatiran sudah menyulut banyak perdebatan sebelum RUU KUHP betul-betul akan disahkan pada 24 September 2019 nanti.
Harus diakui, DPR RI seolah diburu waktu dengan banyaknya “utang” RUU yang menumpuk karena tidak diselesaikan selama kurun waktu 5 tahun ke belakang. Akibatnya, seperti mahasiswa yang dikejar masa studi, DPR seperti melakukan sistem kebut semalam.
Usai mengesahkan RUU KPK yang selesai hanya dalam 15 hari, kali ini DPR juga kejar tayang untuk mengesahkan RUU KUHP yang sudah jadi wacana lebih dari 50 tahun. Beberapa poin yang menarik jadi bahan ghibah dua di antaranya adalah pasal penghinaan presiden dan pasal kritik terhadap hakim.
Untuk pasal penghinaan presiden, sebenarnya pada tahun 2006 Mahkamah Konstitusi sudah menilai pasal ini berlawanan dengan UUD 1945. Ketika seharusnya pasal ini dihapus, DPR periode sekarang malah semangat betul melahirkannya kembali.
Hal ini wajar saja sebenarnya. Sebab kursi yang berkoalisi dengan Presiden Jokowi di DPR RI mencapai 60,69 persen. Ini belum dengan perhitungan rekonsiliasi antara kubu Jokowi dan Prabowo, yang patut diduga kalau seluruh parlemen pada akhirnya mendukung pemerintah 100 persen.
Paling tidak hal itu sudah dibuktikan ketika RUU KPK meluncur mulus ketika disahkan tanpa ada perdebatan sama sekali di DPR RI maupun di meja Presiden Jokowi. Maka ketika semua parlemen seiya sekata dengan pemerintah, maka wajar kalau DPR meloloskan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden.
Satu kubu kok, ngapain beda pendapat ya kan?
Di sisi lain, pasal mengkritik hakim juga muncul DPR RI di RUU KUHP ini. Meski Panitia Kerja (Panja) RUU KUHP sempat mencoret beberapa bagian dalam pasal mengkritik hakim. Ya walaupun substansi pasal ini tidak terlalu berbeda.
Sebelumnya, isi pasal ini cukup ekstem ketika mendefinisikan “Penyesatan Proses Preadilan” karena berisi (pada poin “c”): Segala sesuatu yang dapat memengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. Jadi kalau ente nggak sependapat dengan hakim, ente bisa dijerat pidana kalau menyebarluaskan ketidaksepakatan itu di muka umum.
Untung, Panja mencoret bagian tersebut, meski tetap menyisakan Pasal 281, poin “b” disebutkan: bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan.
Pasal ini ditengarai bisa multitafsir karena membuat publik tidak lagi bisa sembarangan kalau mengkritik kinerja hakim. Padahal faktanya, kalau merujuk pada laporan Komisi Yudisial (KY), tercatat ada 1.718 laporan pelanggaran Kode Etik dari para hakim di Indonesia hanya dalam kurun waktu tahun 2018 saja. Hasilnya? Terbukti ada 63 hakim bermasalah.
Ya kamu pikir sendiri saja kalau pasal ini disahkan dan ada warga negara yang protes dengan putusan hakim, dan kebetulan hakim tersebut adalah hakim bermasalah versi Komisi Yudisial, apa ya nggak kriminalisasi namanya? Yang bermasalah siapa kok yang dipidana malah yang memberi kritik.
Dua pasal ini, memang hanya secuil dari banyak pasal bermasalah dalam RUU KUHP yang sedang diperam oleh DPR RI. Kekhawatiran tafsir yang bisa sangat luas dalam keduanya berisiko bikin banyak warga negara kena kriminalisasi.
Bayangin saja sekarang, ketika definisi “menghina” dalam pasal penghinaan Presiden tidak dijelaskan secara komprehensif, juga definisi “bersikap tidak hormat” dalam pasal hakim juga memiliki ruang makna yang besar, lalu pasal ini sudah dipakai untuk menjerat warga negara. Apa nggak ngeeewriii itu namanya?
Meski begitu, sebagai media yang selalu berpikir positif dan khusnudzon, Mojok malah melihat RUU KUHP ini bisa jauh lebih buruk ketimbang yang sekarang. Lho, lho, kok begitu?
Begini. Ketika banyak pihak menyayangkan soal isi draf RUU KUHP, sebenarnya Mojok sangat bersyukur karena di sana tidak ada usulan pasal penghinaan terhadap anggota DPR RI. Serius, tidak munculnya wacana pasal itu membuat banyak media massa sebenarnya juga harus bernapas lebih lega.
Lha gimana? Ketimbang Presiden dan hakim, persoalan yang selalu ngeri-ngeri-sedap adalah ketika mengomentari kinerja DPR RI. Ya iya dong. Hampir segala aspek di birokrasi selama belasan tahun ini selalu nyangkut urusan DPR RI. Kalaupun bukan secara institusi, paling tidak secara perorangan anggota DPR-nya.
Dari Fadli Zon, Setya Novanto, Fahri Hamzah, Ferdinand Hutahean. Semua merupakan “lahan basah” yang menjanjikan beragama konten menarik—entah itu di media sosial atau di media massa.
Sepanjang Mojok berdiri saja, untuk mengomentari satu anggota dewan bernama Fahri Hamzah, Mojok sudah bikin ratusan konten tulisan. Itu baru satu orang doang lho padahal. Coba sekarang ngana bayangin, ada berapa ribu tulisan di Mojok yang bisa “dipermasalahkan” kalau pasal penghinaan DPR ada.
Haayaaaa pasti Mojok remoook, Bosque. Kukut gasik.
Kalau beberapa dari kalian menilai, lho tapi kan tulisan itu “kritik” bukan “menghina”, eit jangan salah, kategori menghina ini sepanjang pihak yang di-ghibah ini merasa kehormatannya dilucuti, ya orang itu berhak melaporkan ke polisi.
Soal apakah itu nanti bisa dibuktikan di persidangan atau tidak sih itu lain lagi. Tapi kan ya capek aja menghadiri gugatan kalau jumlah gugatannya mencapai ratusan gitu, meski akhirnya diputus tak bersalah.
Jadi ketika banyak media massa dan pihak merasa gerah dengan beberapa poin dalam RUU KUHP, Mojok masih bersyukur karena masih diperkenankan untuk mengomentari celotehan Bang Fadli Zon, Bang Fahri Hamzah, atau Bang Ferdinand Hutahean yang kadang-kadang memang sudah lucu dan otentik dari sononya.
Muakasih DPR RI. Kalian pancen oye.
BACA JUGA Dari Moeldoko sampai Menteri Desa: Tips Redakan Isu Karhutla ala Pejabat Indonesia atau artikel Ahmad Khadafi lainnya.