MOJOK.CO – Dear mahasiswa baru, silakan belajar dari kami, mahasiswa 2015 sampai 2012 yang boro-boro lulus—denger kata “skripsi” dan nggak muntah aja alhamdulillah.
Adik sepupu saya masuk kuliah tahun 2015. Kala itu, saya dan calon kakak ipar kamilah yang rela siang-siang keliling Jogja hanya demi mencarikannya kos-kosan putri. Selepas hari itu, saya ingat rasa bangga saya menyadari si adik sudah cukup dewasa untuk jadi mahasiswa.
Yang tidak saya sangka, bibi saya—ibu dari adik sepupu tadi—suatu hari menelepon. Katanya, “Tolong, kalau kamu libur, adiknya ditemenin, ya. Stres dia, lagi skripsi. Temennya udah pada lulus, dia belum.”
Kala itu, saya buru-buru menghitung masa studi adik saya. Baru 3,5 tahun—belum 4. Jelas, temen-temennya aja yang iseng pengin lulus lebih cepat, dan sialnya hal itu justru meningkatkan level stres adik saya. Ih, rese!
Tapi kesebalan saya tidak berhenti sampai di situ. Maksud saya, kenapa sih mahasiswa 2015 ini, dan kita semua—mahasiswa-mahasiswa lainnya—harus segitu terintimidasinya dengan skripsi???
Kenapa Skripsi Segitunya Terkesan Horor?
Dear mahasiswa 2016, 2017, dan 2018, pernah nggak sih sampeyan bertanya-tanya, memang seberapa horornya skripsi yang selama ini disebut sebagai momok mahasiswa tingkat akhir? Kenapa, sih, waktu kita ngeklik tagar #mahasiswa2015 di Twitter, yang keluar kebanyakan cuma soal bahasan skripsi? Memangnya penghambat kalian belum daftar wisuda itu cuma skripsi doang, ya? Hmm???
Pertama-tama, dear mahasiswa 2016, 2017, dan 2018—silakan belajar dari kami, mahasiswa 2015, 2014, 2013, dan 2012 yang boro-boro lulus—denger kata “skripsi” dan nggak muntah aja alhamdulillah.
Skripsi, nyatanya, bukan hanya perkara buntelan kertas yang tebalnya mulai dari 100-an halaman sampai 1.000. Proses sampai kamu bisa bilang, “Alhamdulillah,” waktu akhirnya tukang fotokopian dekat kampus sudah selesai menjilid skripsimu ini cukup panjang: cari tema, judul, bikin proposal skripsi, dan ikut bimbingan dosen.
Percaya, deh, dosen bimbingan bisa jadi aspek yang memudahkanmu skripsian, tapi bisa juga sebaliknya.
Waktu saya mau sidang skripsi bertahun-tahun lalu, tahu nggak apa yang terjadi?
Dosen bimbingan skripsi saya pergi ke Belanda. Tiba-tiba. Mak jegagig.
Saya akhirnya tetap maju sidang setelah dosen bimbingan mengizinkan via WhatsApp, dan berakhir dengan “pembantaian” tiga dosen penguji pada skripsi yang sudah saya rancang dengan pantauan ketat si dosen pembimbing.
Nangis? Iya, dikit. Tapi untung waktu itu ada pacar saya. Hehe.
Setelah sidang pun, masalah belum selesai. Setumpuk revisi harus saya lakukan dalam tenggat waktu tertentu kalau mau ikut yudisium dan wisuda terdekat. Kadang, syarat pengumpulan berkas untuk yudisium pun nggak simpel: segala ijazah SMA dan akta lahir di beberapa kampus!
Hadeeeh, ini semua pasti gara-gara skripsi! Kalau nggak skripsi, mana mungkin ada yudisium, ya kan??
Helllaaaw, Skripsi Bukan Punya Mahasiswa 2015 Saja!
Saya kuliah angkatan 2011 dan tidak lulus 4 tahun tepat. Teman-teman sekelas saya 89%-nya lulus setelah kuliah 7 tahun, sedangkan beberapa orang dekat saya sekarang juga bercerita bahwa mereka pun dulu selesai kuliah selama 7 tahun.
Apa kesamaan antara saya, teman-teman sekelas saya, dan orang-orang terdekat saya saat ini?
Ya, jawabannya: kami sempat “alergi” dengan skripsi.
Sungguh, rasanya menyenangkan melihat ratusan mahasiswa 2015 yang punya Twitter saling memberi semangat dan memfoto perkembangan skripsi di laptopnya masing-masing. Meskipun saya udah bangkotan bukan mahasiswa lagi, setidaknya saya jadi punya konten untuk nyemangatin adik saya yang saya cintai, seperti yang saya tulis di bagian awal.
Tapi, saya—dan mungkin kamu—sepertinya lupa sesuatu.
Saya jadi bertanya-tanya: ini anak-anak mahasiswa 2015 memang keren, sih, karena saling memberi semangat lintas provinsi, tapi—helllaaaawww—apa mereka nggak mikirin perasaan mahasiswa-mahasiswa yang lebih bangkotan di atasnya, ya, alias mahasiswa 2014, 2013, bahkan 2012 yang konon kalau nggak lulus tahun ini bisa-bisa di-D.O EXO???
Untuk diketahui ya, adik-adik mahasiswa 2015, skripsi itu “musuh” bersama, bukan “musuh” Anda-Anda saja sekalian. Kalau kamu mengeluh skripsimu belum selesai, lalu merasa jadi orang paling sial sedunia, lah terus kating-katingmu itu apa namanya??? (Sekilas info: “kating” adalah abreviasi dari “kakak tingkat”, siapa tahu kamu nggak tahu).
Kalau kamu dengan sedihnya bilang bahwa angkatanmu adalah angkatan pemalas karena skripsi belum kelar, terus katingmu itu apa dong??? Seblak yang dimasak kelamaan sampai jadi lonyot???