Dokter Tompi Perlu Tahu, Nggak Perlu Jadi Chef untuk Tahu Makanan Keasinan, Nggak Perlu Fafifu Wasweswos untuk…

ilus Dokter Tompi Perlu Tahu, Nggak Perlu Jadi Chef untuk Tahu Makanan Keasinan, Nggak Perlu Fafifu Wasweswos untuk... mojok.co

ilus Dokter Tompi Perlu Tahu, Nggak Perlu Jadi Chef untuk Tahu Makanan Keasinan, Nggak Perlu Fafifu Wasweswos untuk... mojok.co

MOJOK.CODari lubuk hati terdalam, saya mengucapkan selamat datang, dokter Tompi, selamat menyambut bacot netizen yang keras soal film Selesai.

Saya kira perdebatan film Selesai yang digarap oleh dokter Tompi sudah selesai, ternyata belum. Sebab apa? Sebab muncul lagi pernyataan mindblowing yang kemudian menyeret netizen buat kembali ngebacot, kembali marah-marah, dan kembali memperdebatkan hal yang hampir sudah jelas bahwa film Selesai memang sulit dinikmati secara wajar.

Tapi, saya cuma penonton. Saya nggak punya PH dan pengalaman paling jauh cuma produksi film-film pendek. Saya takut kalau ikutan emosi dan bikin kritik habis-habisan bahwa film Selesai memang jelek karena a, b, c, saya bakal dikatain penyuka tempe yang memaksakan diri makan keju. Sama kayak analogi yang dikatakan dokter Tompi sebelumnya bahwa film ini memang nggak bisa dinikmati sembarang orang. Orang yang biasa makan tempe dikasih keju nggak bakal “paham” katanya. Dan, tentu saya nggak masalah dibilang penikmat tempe walau menurut saya keju itu “seharusnya” enak banget.

Hanya satu pegangan yang bikin saya merasa berhak bilang bahwa film Selesai itu kayak jamu kunir asem (iya grading-nya sekuning itu, dan plot twitsnya seasem itu), saya percaya untuk menilai sebuah makanan keasinan atau nggak, saya cuma perlu lidah, bukan sekolah tata boga. Lagi pula, kata dr. Tompi, kita boleh benci film Selesai, tapi jangan ngebajak. Oke! Saya nggak ngebajak, saya patungan beli tiket di Bioskop Online buat ditonton bareng-bareng. Harga Rp40 ribu buat nonton film Selesai itu terhitung mahal, Sob.

Sebenarnya sutradara bikin film nggak bagus itu wajar sih. Saya yakin Alfred Hitchcock juga pernah bikin film serem ra mashok. Apalagi buat ukuran dr Tompi yang memang lagi debut di dunia film yang cukup kejam ini, kritik tajam yang dilayangkan itu wajar. Saya setuju dengan apa yang dibilang sama Angga Sasongko ketika film Wiro Sableng Pendekar Maut Naga Geni 212 dapat banyak kritik. Menurut blio, ketika film itu sudah sampai layar bioskop, film itu sudah jadi milik penonton. Jadi, tim produksi memang sudah nggak bisa mengontrol apa yang dibilang orang setelahnya. Mau pembelaan bahwa film dibuat dengan berdarah-darah, aktornya sampai pingsan, biaya produksi super mahal, sampai pakai teori-teori film makna simbolis fafifu wasweswos trocos-trocos, jika film itu nyatanya nggak bisa dinikmati penonton, ya memang tetap akan begitu adanya.

Tidak semua kritikan harus dijawab karena itu bukan pertanyaan. Jika banyak yang bingung dengan film Selesai karena awalnya kayak komedi dengan plot bolong-bolong, kok ujungnya jadi tragedi yang bahkan switch-nya kasar, artinya memang ada sesuatu yang kurang. Mungkin ketimbang bilang film ini memang film “susah” mendingan dipikirkan jembatan apa yang hilang sampai banyak penonton yang bingung dan nggak punya pegangan. Pada akhirnya, film dibuat untuk ditonton, bukan cuma jadi portofolio tim produksi yang berisi kesombongan bahwa karya ini memang bagus banget menurut yang bikin. Bukan menurut yang nonton.

Kenapa tokoh Broto selingkuh padahal punya istri secantik Ariel Tatum itu sebenarnya cuma kelakar yang memang logis, tapi bisa dibantah kalau skenario sebab dan akibatnya lengkap. Misalnya karena Ariel Tatum kalau masak gudeg rasanya asem, atau karena Ariel Tatum kalau tidur suka sambil kayang malem-malem. Kalau begitu kan jadi wajar ya, ada sebabnya gitu. Apalagi Imam Darto sebagai penulis skenario mengaku nggak punya film rujukan saat bikin skrip. Saya nggak pengin ngomong pedes, tapi penulis mana yang sama sekali nggak punya referensi? Kan jadi ikutan pusing saya.

Yang lebih kocak, film Selesai memang ketahuan banget hanya dibuat dengan kacamata laki-laki. Banyak adegan seks yang ditampilkan seakan cuma buat “senang-senang”. Ketimbang dianggap sebagai film serius, Selesai bisa jatuh ke jurang film-film horor paha-dada KFC yang menggunakan daya tarik tubuh perempuan untuk menggaet lebih banyak penonton. Ariel Tatum dan Anya Geraldine memang punya citra sex bomb, mereka atraktif secara seksual dan apakah dipilihnya mereka berdua sebagai aktris itu berdasar penampilan, bukan karena masuk dalam karakter? Yuyur nih, menurut saya, Ariel Tatum memang masih kelihatan berusaha masuk ke dalam peran meski nggak terlalu berhasil. Sedangkan Anya Geraldine justru lebih baik diam aja di pojokan. Karakter mereka berdua yang dibuat satunya depresif dan satunya lagi manipulatif juga seolah-olah memberikan gambaran yang begitu seksis soal perempuan-perempuan yang bermasalah akibat cinta. Dunia perempuan di film ini sangat sempit, cinta, cinta, dan cinta. Yang-yangan terus, patah hati nangeees. Padahal perempuan yang tangguh ya buanyak.

Gini aja deh. Kalau dokter Tompi menjelaskan soal elemen-elemen fotografi, pembuatan film, menolak bahwa ini seksisme, dan menyangkal semua kritikan dengan teori ndakik-ndakik, jujur aja, Dok, saya nggak mudeng. Saya nggak mau dituduh nyolot dan goblok karena sok-sokan mengkritik film Selesai padahal nggak ngerti sama sekali soal produksi dan ilmu kedokteran (iya blio juga beneran bilang “goblok dan nyolot”). Yang saya tahu saya nonton film mahal, punya ekspektasi lebih, dan kecewa. Lagi pula kalau suatu saat chef restoran bintang lima masak dan menjelaskan masakannya keasinan karena teknik shallow fried melibatkan garam Laut China Selatan sekian persen dan kandungan merica Albania fafifu wasweswos… tetap aja makanannya keasinan dan saya bakal bilang, “Lho, Chef, lagi pengen nikah lagi ya?”

BACA JUGA Salut Buat yang Bisa Nonton Film Selesai sampai Selesai! atau artikel AJENG RIZKA lainnya.

Exit mobile version