MOJOK.CO – Inilah musim di mana muncul manusia-manusia absurd karena baru ngerasain jadi caleg gagal. Punya ciri yang endemik dan tiada duanya. Benar-benar ciri khas.
Meski coblosan Pemilu dan Pilpres 2019 udah berakhir, cerita-cerita kocak tak pernah berhenti muncul. Dari calon pemimpin yang sudah merasa menang sampai sujud syukur, mengaku punya lembaga perhitungan “real count” sendiri tapi nggak mau dibuka datanya, sampai kelakuan-kelakuan caleg gagal.
Nah, kisah caleg gagal harus diakui hampir selalu muncul usai Pemilu selesai diadakan. Fenomena ini seperti jadi siklus berulang. Kayak dalam dunia fauna ada siklus musim kawin, di dunia flora ada yang namanya musim rambutan atau mangga, nah di dunia manusia ada yang namanya musim caleg gagal.
Inilah musim di mana bermunculan manusia-manusia absurd karena baru saja menjadi caleg gagal. Tentu saja dengan cerita yang aneh-aneh. Dari yang mengusir warga sampai ada yang nekat bakar kotak suara.
Mereka ini emang benar-benar spesies yang patut dilindungi negara. Sebab di tangan mereka lah bangsa Indonesia tidak kehilangan ciri khasnya: punya calon pemimpin yang cuma mau menang.
Ealah. Kalau nggak mau kalah ya nggak usah ikutan Pak, Pak. Ngerepotin aja deh. Nah beberapa kelakuan caleg gagal itu di antaranya.
Gagal menang? Ya usir warga aja dong
Seorang Caleg di Raja Ampat, Papua Barat, nggak menyangka bahwa suara yang didapatnya jauh di bawah target. Padahal si caleg sudah merasa yakin bakal melenggang ke Senayan untuk menjadi salah satu dari anggota DPR RI.
Mungkin dalam bayangannya, wah bakal enak nih bisa duduk-duduk di Gedung DPR RI bareng sama Fadli Zon, Adian Napitupulu, atau Budiman Sudjatmiko. Lalu tiap ke mana-mana dikerubuti wartawan dimintai pendapat ini-itu.
Begitu menerima kabar bahwa dirinya bakal gagal, si caleg ini langsung meluapkan kemarahannya dengan langkah absurd. Jika biasanya caleg gagal bakal jadi gila atau ngamuk, maka buat caleg gagal satu ini mah nggak level kayak gitu, ia melakukan hal yang lebih sangar lagi, yakni: mengusir warga. Bijigile.
Merasa tak terima dengan kekalahannya, caleg gagal ini segera bikin papan pengumuman di Pantai Kimindores untuk mengusir 20 keluarga yang tinggal di daerah tersebut. Para warga di sana diberi waktu satu bulan untuk mempersiapkan kepindahan itu.
Sebenarnya, caleg gagal ini berhak-berhak saja sih mengusir warga, sebab tanah berhektar-hektar di sekitaran Pantai Kimindores itu memang milik si caleg ini. Para keluarga yang tinggal di situ memang dipersilakan karena kemurahan hati si caleg ini.
Sayangnya, ketika gagal melenggang ke Senayan ini caleg langsung berbalik 180 derajat. Hadeh.
Iya deh, suka-suka situ. Nggak sekalian itu, anak istrinya ikut diusir, Tong?
Ungkit-ungkit bantuan sampai jadi pemicu tawuran antar-desa
Pindah ke daerah agak ke Barat, di Maluku Utara, seorang caleg gagal bernama Ahmad Hattari, merasa kecewa karena dirinya gagal menjadi anggota DPR RI. Usai memastikan dirinya kalah, Hattari kebetulan mendapat kesempatan bicara di hadapan warga Kelurahan Tomalou, di Maluku Utara.
Ya, maklum beliau kan masih jadi Anggota DPR RI Komisi XI, jadi ya masih pejabat gitu. Wajar kalau diundang dan diberi waktu untuk kasih sepatah dua kata kasih sambutan beberapa waktu usai coblosan.
Tak diduga, saat sambutan Hattari malah mengungkit bantuan-bantuannya selama ini ke Kelurahan Tomalou. Warga yang mendengar itu pun jadi tersinggung, lalu marah bukan kepalang.
Apalagi bantuan yang dimaksud itu berupa karpet masjid dan jam dinding untuk masjid. Hampir saja caleg gagal ini diamuk massa, sebelum akhirnya berhasil diamankan Polisi dan berhasil diamankan sampai kediamannya.
Usai diamankan ke kediamannya, warga yang tersinggung lalu beramai-ramai membawa karpet masjid dan jam dinding besar itu ke kediaman Hattari yang berada di Kelurahan Gurabati untuk dikembalikan. Tentu saja sambil marah-marah.
Merasa daerahnya dimasuki warga dari desa sebalah, warga desa tempat tinggal Hattari malah merespons kedatangan warga Kampung Tomalou dengan emosi pula. Aksi bentrok pun tak terelakkan dan malah jadi tawuran massal antar-desa.
Duh, duh, baru jadi caleg gagal aja udah berhasil ngadu domba antar warga desa, gimana kalau jadi anggota legislatif coba?
Udah kalah, malah mainan api
Caleg dengan kelakuan yang absurd berikutnya berasal dari Maluku Tenggara. Tidak terima suaranya kalah, si caleg gagal berinisial LPR membakar 15 kotak suara di TPS yang berlokasi satu desa dengan tempat tinggalnya.
Tidak cuma di Maluku Tenggara, di Jambi dan Papua juga ditemukan kasus caleg yang membakar kotak suara karena nggak terima dirinya kalah. Mungkin bakar membakar kotak suara ini memang sedang tren belakangan ini.
Buktinya tren membakar kotak suara ini baru booming pada Pemilu 2019 saja, pada Pemilu 2014 sila, aksi absurd yang dilakukan mereka yang gagal ke Seyanan cuma di kisaran ngamuk-ngamuk nggak jelas, jadi gila, sampai mencuri kotak suara.
Alhamdulillah, sekarang para caleg ini sudah menemukan cara yang lebih absurd lagi untuk menunjukkan kegilaannya. Sehingga rakyat udah punya daftar, siapa caleg yang udah pasti dicoret dari daftar pilihannya kalau-kalau si caleg mau ikutan lagi 5 tahun depan.
Idih, masa kelakuan udah super-duper-absurd gitu si caleg masih mau nekat nyalon lagi? Apa ya nggak malu mereka sama track record mereka sendiri? Lah, sejak kapan emangnya mereka punya rasa malu malu?
Mereka itu justru menunjukkan ciri khas asli calon-calon pemimpin Bangsa Indonesia, yakni: tak pernah mau kalah meski tak punya peluang untuk menang. Sebuah sikap endemik yang begitu khas dan mendarah daging.
Harusnya para caleg ini mencontoh beliau yang sujud syukur meski akhirnya kalah di Pilpres 2014 silam. Sebuah sikap yang menunjukkan, bahwa mau kalah atau menang itu harus sama-sama kita syukuri.
Ya nggak Pak Prabs?