Curhat di Medsos Muluk, Nggak Punya Teman, Ya?

MOJOK.COKadang-kadang saya kasihan sama orang-orang yang curhat di medsos. Saya tahu pasti masalahnya berat sekali, tapi nggak punya support system yang mumpuni.

Dalam bidang curhat di dunia permedsosan, kita tentu mengenal Awkarin dan hafal betul detail drama percintaannya. Bagaimana tidak? Lha wong, dia saja sampai bikin video khusus untuk menceritakan detail kronologis kisah cintanya. Atau beberapa waktu lalu, pasangan Rakri dan Indy sempat viral dengan video Alasan Kita Selesai. Sebuah video klarifikasi yang sepertinya memang dibutuhkan banget sama seluruh fans mereka.

Nggak sedikit orang yang akhirnya hanya tahu cerita mereka. Tanpa tahu, siapa mereka sebenernya. Sebetulnya, nggak hanya mereka. Tapi ada begitu banyak orang, yang senang menceritakan kegelisahannya di media sosial. Kenapa?

Jelas, karena medsos memang dianggap sebagai sarana berkatarsis dan jadi wadah mudah untuk mengeluarkan uneg-uneg kita dengan bebas. Nggak salah memang. Dari fitur-fitur yang disediakan, memang memfasilitasi orang-orang untuk bercurhat-curhatan. Tapi, apa betul, masalah-masalah pribadi, rahasia orang terdekat—bahkan masalah rumah tangga—harus dibeberkan seperti itu di “tempat umum”?

Dulu kita punya yang namanya buku diary sebagai sarana untuk menumpahkan segala keluh kisah. Di mana, setiap perasaan terdalam betul-betul menjadi rahasia kita sendiri. Ini dibuktikan dengan kehadiran buku diary berkunci: hanya kita yang membawa kuncinya, atau hanya kita yang tahu kode sandinya. Kemangkelan kita pada sebuah kejadian, rasa-rasanya cukup kita, buku diary, dan Tuhan saja yang tahu. Rasanya betul-betul rahasia, tak perlu ada orang lain yang tahu—apalagi ibu sendiri yang tingkat keponya naudzubillah itu.

Tapi nyatanya, sekarang seolah kita sedang berlomba-lomba. Untuk saling menceritakan kisahnya yang paling dramatis dan bombastis. Akan lebih baik lagi, cerita itu bisa jadi viral, kita terkenal, follower jadi naik gila-gilaan, dan kesempatan endorse sudah dalam genggaman.

Namun tidak selalu sejauh itu. Biarlah pikiran seperti itu dimiliki oleh para artis-artis yang rajin nongol di Lambe Turah. Kalau mereka sih, kayaknya memang sengaja settingan. Bikin-bikin masalah cuma buat naikin pamor keartisannya. Nggak tahu mereka artis apaan, pokoknya sok ngartis aja dulu. Udah, ngaku aja kamu, Wahai Lucinta Luna dan Nikita Mirzani~

Kita memilih curhat di medsos, karena sebetulnya kita tidak memiliki support system yang kuat. Kita tidak punya teman untuk bercerita. Atau sebenarnya ada, tapi kitanya aja yang nggak mau ganggu mereka. Dan merasa bahwa mereka nggak bakal betul-betul bisa plus mau mendengarkan cerita kita—apalagi kalau ceritanya masih seputaran itu-itu saja.

Oleh karena keadaan tersebut, akhirnya kita lari ke sebuah wadah yang seakan-akan lebih mudah. Tidak perlu berbasa-basi dan merasa sungkan karena merepotkan. Bahkan, kita malah berkesempatan untuk mendapatkan perhatian dari banyak orang—yang bahkan kita nggak kenal-kenal amat—dengan cepat. Mendapatkan pengakuan, apresiasi, dan pokoknya sisi afektif kita rasanya jadi penuh kembali.

Tapi sayangnya, tidak selalu semudah itu. Saya pernah bertemu dengan seseorang yang memilih untuk tidak menggunakan medsos. Medsos yang dia gunakan, mentok di Whatsapp. Alasannya, dia ingin diajak berbicara, diajak ngobrol. Ya, medsos sudah bikin kita terlalu mudah mengonbrol. Tapi bukanlah obrolan dari hati ke hati, malah cenderung basa-basi. Perhatian memang mudah didapatkan, tapi ya, nggak jauh-jauh amat dari basa-basi.

Coba kita cek, berapa sering kita menyatakan sikap empati pada seseorang yang mengalami musibah? Seberapa sering kita betul-betul ikut sedih dengan keadaannya? Dan seberapa sering, kita mengungkapkannya tanpa emosi apa-apa? Ya, datar-datar. Kalimat penguatan untuk orang lain itu, hanyalah kalimat template di otak kita yang bisa dikeluarkan dengan begitu mudah. Jelas, hal ini tidak membutuhkan energi dan waktu sebesar jika kita melakukannya secara tatap muka. Memang perhatian ini bisa diberikan dengan mudah. Tapi semua semu, Malihhhh!

Bakal semakin bikin geram, kalau ternyata respon orang lain tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Misalnya, kita berharapnya sih, habis curhat di medsos panjang-panjang, orang-orang bakal memahami apa yang kita rasakan. Lalu memilih untuk men-support dan ikut-ikutan mengutuk kejadian yang bikin kita sebal. Tapi, nggak jarang terjadi, bukannya mendapatkan simpati, eh malah di-bully. Pasalnya, justru kita yang dianggap melakukan kesalahan, sehingga harusnya bertobat dan sadar diri.

Kalau kayak gini, konfliknya malah lebih besar, kan? Kalau kita nggak kuat ngadepin omongan netizen yang tanpa filter itu, mungkin kita memilih untuk menutup kolom komentar, memprivat akun. Atau kalau masih nggak kuat juga, menutup akun adalah jalan pamungkasnya. Tapi, apa dengan hal itu beres? Oh tentu tidak, butuh setidaknya 1 sampai 7 hari—tergantung masalahnya—kita harus menerima jadi bulan-bulanan rancauan mereka.

Gimana? Niatnya pengin dapet simpati, lha kok malah nambah masalah?

Waktu itu, ada seorang PNS yang mengeluhkan soal pekerjaannya yang membosankan dan itu-itu saja. Sebetulnya, dia nggak curhat di medsos dengan buka-bukaan kayak bikin thread yang datangnya udah mirip-mirip wahyu dari Tuhan itu. Dia cuma komen doang di postingan orang. Sebagian setuju dan simpati dengannya. Tapi, sebagian yang lain—yang jumlahnya jauh-jauh-jauh lebih banyak, malah muring-muring karena menganggapnya nggak ada bersyukur-bersyukurnya menjadi manusia. Di saat banyak orang di luar sana menginginkan bisa berada di posisinya, dia malah mengeluh. Dia nggak cuma nutup akun, tapi juga digertak untuk cabut aja jadi PNS-nya, karena keluhan tersebut.

Jadi, siapa bilang curhat di medsos itu mudah? Udahlah, itu keluarga, temen, atau pacar dimanfaatkan aja dengan sebaik-baiknya. Kalau emang cuma masalah pribadi, bukan masalah publik, nggak perlulah cari perhatian sana-sini. Ya, bukannya apa, takutnya malah situ kena bully.

Exit mobile version