Cara Merespons Hoax Sekjen PBB yang Beri Ucapan Selamat ke Prabowo

MOJOK.CO – Hoax ucapan selamat Sekjen PBB ke Prabowo Subianto atas keberhasilannya memenangkan Pilpres 2019 tersebar. Suangar, kok aja yang percaya ya?

“Halah, hoax kayak gini mah mana ada orang yang percaya.”

Itu komentar yang sering saya dengar saat ada orang membaca postingan sebuah berita mengenai ucapan selamat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kepada Prabowo Subianto karena telah memenangi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Berita yang berjudul “Sekjen PBB Ucapkan Selamat pada Prabowo Atas Terpilihnya Menjadi Presiden RI”, ini tersebar ke mana-mana dengan mencatut nama media massa ternama, Antara. Kominfo memang sudah mengonfirmasi bahwa berita ini hoax semata.

Meski sebenarnya, tanpa Kominfo dan Kantor Berita Antara melakukan penegasan itu pun, mereka yang waras jelas akan meragukan berita ini—tanpa perlu menimbang preferensi politiknya.

Ya jelas dong, mana mungkin Sekjen PBB segoblok itu memberi ucapan selamat ke calon presiden yang belum pasti menang? Lha wong real count resmi dari KPU aja belum keluar. Ini bijimana? PBB kasih selamat ke Jokowi sekalipun ya jelas bakal blunder, lha wong petahan juga belum pasti yang menang kok.

Bahkan kalaupun hasil real count keluar, memberi ucapan kepada seorang capres akan menjadi preseden buruk bagi PBB. Ini kayak Fadli Zon dan Setya Novanto yang kasih dukungan ke Capres Amerika Donald Trump, belum jadi presiden kok udah kayak hubungan diplomatik antar negara aja.

Lagian, kalau diperhatikan lagi, ini yang bikin hoax juga nggak niat-niat amat kok. Nggak ada riset kecil-kecilan. Yah, minimal kalau mau bikin berita palsu, jabatan Sekjen PBB ya jangan salah juga dong. Lha ini yang bikin berita hoax nyebut kalau Sekjen PBB namanya, Pedro Coelho. Dia ini siapa, Bijik? Tukang jual obat abate di Brazil?

Lha wong jelas-jelas Sekjen PBB sekarang itu Antonio Guterres. Hadeh, mbok ya minimal itu nama yang familiar gitu kek buat masyarakat Indonesia yang gampang kemakan hoax. Nama-nama kayak Kofi Annan, Shah Rukh Khan, atau David Beckham sekalian misalnya. Ya goblok mah jangan tanggung-tanggung gitu lho.

Akan tetapi, melihat sebaran konten hoax ini masif, saya jadi bisa memahami, ternyata masyarakat kita emang cari informasi itu bukan dari apa yang valid, tapi emang apa yang sesuai selera. Ya udah kayak milih menu makanan aja. Yang cocok aja yang dibaca, yang nggak cocok ya ogah.

Masalahnya ada yang lebih berbahaya ketimbang hoax, yakni sikap meremehkan konsekuensi atas hoax dengan narasi gobloknya. Menganggap sebuah konten kayak PBB kasih ucapan selamat ke Prabowo, udah pasti banyak masyarakat kita yang nggak percaya, membuat kita jadi terlalu meremehkan dahsyatnya kekuatan hoax.

Paling tidak saya pernah punya pengalaman yang sama. Saat Pilpres 2014 silam, salah satu saudara saya bahkan sampai mewanti-wanti dengan penuh ketakutan agar memilih salah satu paslon capres saat itu. Sebab—katanya—capres yang satunya itu berbahaya.

“Jangan pilih capres A, ya? Dia kalau jadi presiden, Menteri Agama Indonesia bakal dipilih dari orang yang bukan Islam agamanya.”

Ebuset.

Terlepas pada agamanya Menteri Agama, sangat mudah kalau kita akan berpikir kayak gini, “Ya mana mungkin ada orang percaya narasi kayak gitu? Capres yang deklarasi kayak gitu namanya juga bunuh diri. Pemilih di Indonesia itu mayoritas muslim, kalau kampanye yang digaungkan model kayak gitu ya jelas nggak bakal jadi presiden itu capres.”

Namun, saudara saya ini benar-benar serius dengan ucapannya. Sampai kemudian saya bertanya, darimana dia dapat informasi tersebut. Setelah dilacak, jebul rumahnya adalah target persebaran sebuah koran yang doyan menyebarkan hoax.

Ada satu bandel koran di bawah kolong meja ruang tamunya. Nggak main-main, satu bandel. Dan dikirimi hampir tiap pekan. Yang lebih mengerikan, satu desa di daerah saudara ini percaya dengan narasi-narasi bodoh di koran tersebut.

Naras-narasi yang juga pernah menyebut bahwa salah satu capres sebenarnya orang Cina, lengkap dengan nama Cina dan marganya. Hal yang kemudian saya tahu, koran itu akhirnya digugat secara pidana dan membuat Pemrednya masuk penjara. Yah, saya pikir kalian juga tahu lah nama koran yang dimaksud.

Dari hal itu lah saya percaya, bahwa tak semua masyarakat kita memang betul-betul melek informasi. Pada kenyataannya, hoax ucapan selamat Sekjen PBB memberi ucapan selamat ke Prabowo karena udah jadi Presiden Indonesia ada aja yang percaya, bahkan sampai udah nyasar ke grup-grup wasap. Disebarkan secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Paling tidak, pagi ini berita hoax ini sudah mulai muncul di grup wasap teman-teman saya. Dengan wording: “Alhamdulillah, PBB udah mengakui Prabowo jadi Presiden Indonesia.”

Lalu karena saya tahu kabar itu hoax, saya balas saja;

“Respons PBB yang kapan nih? Yang 2014 atau 2019? Soalnya 2014 itu mereka emang mendukung Prabowo, tapi kalau yang 2019 sih denger-denger mereka dukung Jokowi.”

Teman saya balas; “Eh, masa sih PBB udah dukung Prabowo sejak 2014?” tanya teman saya antusias.

“Iya, bahkan Prabowo pernah diundang khusus ke kantor PBB untuk kasih sambutan,” kata saya.

“Serius? PBB ngundang beliau sampai segitunya? Wah keren,” kata teman saya.

“Iya, PBB yang Partai Bulan Bintang itu emang keren.”

Exit mobile version