MOJOK.CO – Jaksa Agung Prasetyo mengusulkan razia besar-besaran terhadap buku-buku kiri yang berbau Kuminis. Pak Prasetyo ini tau nggak ya kalau buku itu dipelajari dan sering dibutuhkan untuk jadi referensi mahasiswa Jurusan Sosial Politik?
Kemarin, 23 Januari 2019, yang terhormat Bapak Prasetyo Jaksa Agung Republik Indonesia mengusulkan kegiatan razia besar-besaran terhadap buku-buku yang diduga berpaham komunisme. Lebih lanjut, Blio bilang bahwa perampasan buku tersebut perlu dilakukan di mana pun buku itu berada.
Usulan Jaksa Agung ini adalah kelanjutan dari aksi razia buku yang sebelumnya sukses menuai kontroversi dilakukan di Kediri dan Kota Padang.
Razia buku menurut blio penting dilakukan sebagai bentuk (((kewaspadaan))) akan bahaya ideologi Kuminis yang kalau kata Mayjen TNI Kivlan Zein sudah menunjukan (((tanda-tanda))) kebangkitannya.
Kalau saja kejadian razia-raziaan buku ini adalah sebuah kisah fiksi, kita sedang masuk dalam Bab-bab paling menegangkan di dalam buku. Di mana aksi heroik Pak Jaksa Agung ini berhasil membebaskan Indonesia dari serangan hantu Kuminis yang berusaha menggerogoti isi kepala dan menjadikan hati dan jantung kita sebagai isian arem-arem. Se66an~
Kalau saya boleh kasih saran judul bukunya, saya rasa judul “Aku takut kalau kamu baca buku kuminis nanti kamu nggak mencintai aku lagi” Pasti akan laku. Ya nggak keliatan ada adegan perang-perangan sama Kuminis sih. Tapi judul-judul baper lebih disukai anak muda dibanding yang sadis-sadis, FYI ajj~
Sayangnya karena ini bukan fiksi, adegan heroik yang berusaha dimunculkan Pak Jaksa jadi not enter alias ramashook blass.
Selain karena razia buku yang dilakukan tanpa melalui proses pengadilan itu melanggar undang-undang, penyitaan buku-buku kiri Kuminis akan sangat merepotkan banyak pihak, Pak! Khususnya kami mahasiswa Sosial Politik!
Bapak Jaksa ini tahu nggak kalau buku kiri Kuminis itu dipelajari dan dibutuhkan untuk jadi referensi mahasiswa Jurusan Sosial Politik macam HI, Ilmu Politik, Ilmu Pemerintahan dan Sosiologi?
Saya kasih gambaran nih Pak Jaksa.
Saya kan kuliah HI nih ya, di HI ada mata kuliah tersendiri yang khusus membahas mengenai ideologi. Nggak tanggung-tanggung, jumlahnya 6 SKS pak!
Coba bapak bayangkan, ketika bahas Bab Ideologi Kuminis, kami kesulitan cari referensi karena buku-bukunya sudah disita semua.
“K4n t1n94l c4r1 di 9u9el” (Kan tinggal cari di gugel).
Loh loh, mungkin Bapak belum pernah ngerasain gimana rasanya ngubek-ngubek gugel dan website jurnal gratisan tapi masih nggak nemu bukunya… Atau nemu sih, tapi bahasa Jerman, atau bahasa Inggris yang njelimetnya minta ampun.
Mon maap nih Pak, anak HI emang jago 123 Bahasa, tapi kalau disuruh baca Das Kapital–yang tebal bukunya saja sampai bisa dibikin bantal–dengan Bahasa Jerman atau Bahasa Inggris, ya kami mending DO aja, Pak…
Kalau Tuhan saja suka memudahkan Umat-Nya, kok Bapak mau mempersulit kami dengan melenyapkan buku Kuminis yang sudah ada terjemahan bahasa Indonesianya? Langka loh itu Pak Hemm???
“Y4 k4l4u 91tu 94 u54 b3l4j4r Kumun15 l4h” (Ya kalau gitu ga usa belajar kumunis lah).
Tapi pak, kalau nggak belajar Kumunisme, saya nggak bisa belajar mata kuliah lain karena ideologi Kumunis ini baik dari ekonomi maupun sisi politik sangat penting dan berkaitan dengan ideologi lain macam konstruktivism, critical thinking, sampai feminisme. Tanpa belajar Ideologi Kuminis kami juga nggak bisa menjelaskan perang dingin.
Lagipula, kalau mau adil, seharusnya bukan cuman buku-buku kiri tentang kuminis yang dianggap berbahaya. Ideologi lain, semisal Liberalisme juga sebenarnya juga berbahaya.
Ideologi ini yang bikin kita kepikiran untuk punya utang luar negeri dan melakukan ekspor impor tidak seimbang sampai akhirnya Negara mengalami ketergantungan ekonomi dan masuk ke dalam jerat kapitalisme global atau singkatnya jadi Budak Aseng!1!
Coba kalau kita menganggap ideologi liberal berbahaya juga, mungkin dulu Pak Harto nggak akan kenalan sama IMF dan World Bank yang bikin Indonesia jadi negara yang utang luar negerinya nggak lunas-lunas. Hiiih.
Siapa yang tahu tanpa Ideologi liberal era Pak Harto, Indonesia bisa jadi negara Autarki yang dapat memenuhi kebutuhan dari hasil jerih payah Negara sendiri. Kita produksi barang sendiri, lalu dipakai sendiri.
Hal baik lain dari menjauhi Ideologi Liberal Tapir Kapitalis ini selain kita akan bebas dari dosa Riba karena hutang luar negeri (Astagfirulloh) kita juga akan bebas dari budaya konsumerisme dan hedonisme karena nggak foyah-foyah ngabisin duit buat beli barang mevvah dari negara kaya cuman untuk gaya-gayaan! Sisi positif lain adalah kita bisa semakin mencintai ploduk-ploduk dalam negeri.
Tapi yo mbuh ngewujudin cita-cita kayak gitu harus pakai sistem apa wqwq. Mungkin bisa niru zaman kejayaan Majapahit?
Ideologi lain selain Liberalisme yang menurut saya harus Bapak anggap berbahaya adalah Ultrakonservatisme, Pak. Dibanding Hantu Kuminis, ancaman Terorisme agama itu lebih nyata. Tapi kacaunya buku-buku dan ceramah yang mengajak dan mengajarkan kekerasan terorisme masih sangat mudah dicari.
Kalau nggak percaya, Bapak bisa cari tulisan-tulisannya Anwar Al-Awlaki, tulisan ajakan jihad pentolan Al-Qaeda ini bisa diakses di mana-mana. Saya bahkan pernah nggak sengaja nemu buku panduan jihadnya Jamaah Islamiyah.
Hayolohhh, saya minta tolong buku-buku itu ikut ditertibkan juga, Pak. Kalau perlu, jangan cuman libatin TNI, tapi juga Tukang Parkir Indomaret dan pedagang Sempol depan SDN Ketawanggede!
Terakhir, kalau misal memang bapak tetap keukeuh pengin razia dan menyita buku-buku kiri kuminis, ya silakan saja pak. Tapi kalau boleh request, mbok ya mata kuliah ideologi di jurusan sosial politik sekalian dihapuskan saja pak. Lagian susah belajar ideologi tuh, paling mentok cuman dapat B, kan bikin saya gagal dapat IP 4.00 wqwq.
Habis dihapus, perbanyak mata kuliah PPKN supaya mahasiswa sosial politik makin banyak yang cinta dan merasa harus bela negara seperti yang Bapak Jaksa lakukan. Mahasiswa pasti suka matkul PPKN, Pak. Kuliahnya gampang dan nilainya (biasanya) otomatis A.
Oh iya pak, ini beneran terakhir. Apa nggak sekalian jurusan saya dihapus juga ya, Pak? Skripsinya susah banget dah. Nggak jadi Sarjana HI nggak apa-apa deh, asal tetap cinta negara dan Pancasila. Betul begitu kan, Pak Jaksa?