Sejak mendengar kabar tunjangan rumah DPR yang mencapai 50 juta, saat itulah saya merasa superior ketimbang mereka-mereka ini. Sebab, meski penghasilan saya nggak bisa dibilang besar, saya bisa mengusahakan rumah saya sendiri, tanpa “dibantu” negara.
Bagi saya, nggak masuk akal sama sekali untuk sekelas anggota DPR itu dikasih tunjangan rumah. Kenapa, karena mereka sendiri pastinya punya duit lebih untuk sekedar beli/ngontrak rumah. Negara nggak perlu pusing-pusing bantu. Kayak menggarami lautan, beneran.
Apalagi jika karena alasannya hanya karena mereka tak lagi dikasih rumah dinas, wes, tambah ra mashok.
Tapi argumen saya pasti akan di-counter dengan bacotan macam “lho masak anggota DPR nggak dapet fasilitas, mereka pantas untuk itu”. Kalau saya sih jawabnya gampang. Pertama, nggak ada yang minta situ jadi anggota. Kedua, kalau nggak terima nggak dapat fasilitas tunjangan rumah, ya nggak usah jadi anggota. Ngono kok angel.
Wani kemaki
Saya serius perkara merasa superior, sekalipun perasaan tersebut hanya ada di angan dan hati saja. Ya gimana, untuk pria berpenghasilan biasa saja, saya bisa beli rumah meski mencicil, dan cicilannya nggak pernah telat. Saya nggak pernah minta bantuan orang tua saya sekali pun untuk cicilan. Semua saya tanggung sendiri, usahakan sendiri.
Jelas saya merasa jumawa melihat fakta bahwa anggota DPR diberi tunjangan rumah. Orang-orang kaya itu dibantu negara untuk masalah rumah? Ha kok sepele ketimbang aku, wong kalahan iki?
Kalian mungkin merasa saya goblok, mereka bisa dapat puluhan juta untuk rumah, kok saya yang menderita ini bangga. Lho, justru itu poinnya. Saya sebagai manusia membuktikan bahwa saya bisa berdiri di kaki sendiri. Saya tak perlu dibantu tunjangan-tunjangan apalah itu untuk bisa memberi keluarga saya rumah yang layak.
Perkara saya menderita saat nyicil, ya nggak apa-apa. Justru itu yang bikin saya bangga: saya berdarah-darah meraih rezeki yang saya dapat, secara halal.
Jadi anggota bisa, masak masih minta tunjangan rumah?
Kalau saya sih berpikirnya amat sederhana: jadi anggota DPR itu nggak murah. Sama sekali nggak murah, jelas lebih mahal ketimbang harga satu rumah. Nah, kalau bisa mengusahakan diri sampai jadi, harusnya nggak perlu lagi namanya tunjangan rumah DPR. Tuku dewe mesti iso, orang nyalon aja bisa kok.
Apalagi tunjangan rumah DPR itu sampai angka 50 juta, dan ada yang bilang bahwa itu make sense lagi. Lho, make sense dari mana coba. Orang pada bisa bayar sendiri, kenapa negara repot-repot ngasih duit coba? Kayak nggak ada pos lain yang butuh dana berlebih. Pie iki Sri Mulyani, kok bagian ngene iki koe meneng?
Kecuali, nih, kecuali, tunjangan rumah DPR itu memang seakan-akan diadain biar gajinya jauh lebih gede. Nah, mending gitu ngomongnya ketimbang pake bilang tunjangan ini make sense, alesan ini-itu, ra mashok.
Rakyat itu nggak goblok-goblok amat kok. Ya memang masih ada yang kurang pemahaman, tapi sudah banyak yang kritis. Kalau melihat kalian banyak atraksi gini, ya maaf saja, kami sudah paham arahnya ke mana.
Tapi kalau saya boleh bilang sih, rakyat sekarang sudah ada di titik kemarahan tertinggi. Kok rasanya takut ya kalau tunjangan rumah DPR ini bisa memicu gerakan semacam Revolusi Pati. Sebab, mayoritas rakyat Indonesia kini beneran hidup susah. Saya yang nulis ini pun, bisa jadi terjerembab ke lubang kejatuhan kapan saja.
Saran saya sih, nggak usah pake tunjangan rumah saja. Beneran. kok bisa kalah sama saya, yang pemasukannya sepersekian dari anggota DPR, tapi berani berdikari perkara beli rumah sendiri. Minimal isin.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Nggak Usah Ngiri dengan Tunjangan dan Kekayaan Anggota DPR, Lama-lama Bikin Gila dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN
