Betapa Enaknya Jadi Pribumi - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Home Pojokan

Betapa Enaknya Jadi Pribumi

Arman Dhani oleh Arman Dhani
17 Oktober 2017
0
A A
pribumi-anies-mojok

pribumi-anies-mojok

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

Adakah yang lebih sering mengecewakan dibanding optimis dan berharap-harap kepada politisi?

Baru kemarin, di hari pelantikan Anies-Sandi, Mojok sebagai penonton pilkada Jakarta menurunkan konten yang menyemangati para lovers dan haters pasangan pemimpin baru Jakarta agar tidak berlarut-larut dengan sentimen saat pilkada. Kami kira, ini waktunya untuk mendukung keduanya menuntaskan janji kampanye, terutama karena belum lagi dilantik, sudah datang intimidasi kepada keduanya untuk meneruskan reklamasi teluk Jakarta, hal yang Anies-Sandi nyatakan tolak saat kampanye.

Pagi hari, konten Mojok turun, malamnya Anies Baswedan menyampaikan pidato yang mengecewakan. Menakutkan, bahkan.

Itu terutama ketika Anies mulai bicara soal kolonialisme. “Dulu, kita semua, pribumi, ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri.”

Saya harus pelan-pelan menyimak kalimat Anies video pidatonya itu secara utuh lantas, lantas membandingkannya dengan naskah asli. Dari sana saya menemukan bahwa Anies melakukan improvisasi pada pidatonya.

Baca Juga:

Ganjar Pranowo: Dihindari Partai, Disayang Publik dan Lembaga Survei

Anies Baswedan, Jangan Anggap Enteng Ambruknya Pagar Tribun Utara JIS

Kuskridho Ambardi: Gejolak Capres-Cawapres 2024 hingga Taruhan Alphard

Dalam teks pidatonya, yang mana kalimat Anies tadi aslinya dituliskan, “Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri,” saya menemukan konteks pernyataan Anies.

Anies sedang bicara Jakarta sebagai kota tempat “bendera pusaka dikibartinggikan, tekad menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat diproklamirkan ke seluruh dunia.” Tapi, dalam improvisasi pidatonya, bagian itu tidak disebutkan. Konteksnya menjadi hilang.

Mengapa Anies memilih kata pribumi alih-alih bangsa, rakyat, atau masyarakat Jakarta? Pribumi dan bangsa memiliki implikasi linguistik serta tafsir yang berbeda satu sama lain. Apalagi selama pemilu berlangsung, retorika “pribumi” melawan “asing dan aseng” demikian nyaring dikabarkan. Pelan-pelan saya dibuat sadar: agaknya cita-cita untuk bisa memiliki Jakarta yang ramah terhadap keberagaman harus menunggu waktu lama.


***

Dulu saya berharap, dengan terpilihnya gubernur baru Jakarta akan ramah terhadap siapa pun, terutama warga miskin kota. Tapi, dengan retorika Anies tadi, saya malah berkeinginan menjadi seorang pribumi, bukan keturunan aseng dan asing. Tetapi, sebagai pribumi yang tulen, yang sama sekali bebas dari cacat-cacat asing. Alangkah gembiranya saya apabila nanti saat Anies berkuasa, saya bisa menikmati janji kemakmuran yang ia berikan.

Bila saya pribumi, kegembiraan hati saya pasti meluap-luap melihat bahwa akhirnya Jakarta tak lagi dipimpin orang kafir penista agama. Suara saya akan parau karena ikut berteriak takbir, melanjutkan beragam aksi angka cantik. Saya akan meminta, memohon dengan tangan menengadah ke langit supaya pemimpin kita kekal kekuasaannya, juga para aseng dan asing sial tadi kita usir dari Jakarta, supaya kita bisa mempertahankan kebesaran kita dengan kekuasaan yang besar ini di belakang kita.

Kemudian sebagai pribumi, saya berharap agar pesta ini hanya dan hanya dinikmati oleh orang asli saja. Mereka yang keturunan asing atau aseng tidak mau mereka ikut serta. Saya akan melarang mereka ikut riang gembira pada pesta-pesta yang digelar bersamaan dengan pelantikan gubernur baru. Malahan, saya ingin sekali memagari tempat-tempat keramaian itu supaya tak seorang asing dan aseng dapat melihat kegembiraan kita yang meluap-luap pada hari terpilihnya pemimpin pribumi kita.

Tapi, itu semua mimpi. Karena saya bukan pribumi. Saya keturunan Tionghoa dan Arab. Kakek buyut jauh saya orang Arab yang menikahi orang Osing. Salah seorang keturunannya kemudian menikahi perempuan Tionghoa. Di darah saya mengalir dua bangsa asing yang bukan asli Indonesia. Saya tak punya hak untuk merayakan pesta pemimpin pribumi di Jakarta.

Saya sangat ingin jadi pribumi. Karena dengan jadi pribumi, saya tidak akan diteriaki “Cina!” di jalan. Saya tak perlu takut berjalan sendiri di malam hari hanya karena saya terlahir terlalu putih atau terlalu sipit. Saya tidak perlu takut dituduh cukong yang mengambil untung banyak dan membayar pekerja terlalu murah. Kalau saya pribumi, saya tak perlu takut diperkosa dan dijarah rumahnya apabila kerusuhan rasial ‘98 terulang lagi.

Betapa enaknya jadi pribumi karena kamu tak perlu merasakan hinaan dan ejekan hanya karena kulitmu putih atau  matamu sipit. Masa kecil saya diisi oleh pertanyaan-pertanyaan dan kebencian terhadap diri sendiri. Kenapa mata saya sipit? Kenapa orang-orang memanggil saya “cino”? Mengapa mereka mengejek saya “babi”? Sampai-sampai harus berharap tidak dilahirkan saja karena tak kuat merasakan hinaan.

Betapa enaknya jadi pribumi karena merayakan festival budaya sendiri tak perlu takut dilarang negara. Setelah akhirnya Gus Dur menghapus Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina lantas menggantinya dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000, kami yang keturunan Tionghoa ini bisa merayakan Imlek secara terbuka, merayakan keyakinan dengan bebas, tanpa harus takut dipersekusi.

Tapi, saya bukan pribumi. Saya hanya bisa membayangkan saja, betapa enaknya jadi pribumi, karena tak perlu merasakan betapa dulu susahnya mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Betapa enaknya jadi pribumi karena, meski kamu lahir di Jerman, kamu akan tetap jadi warga negara Indonesia. Sementara orang-orang Tionghoa yang ratusan tahun telah tinggal di Indonesia harus sabar menerima cacian “Balik ke Cina sana, lu, babi!” dari orang pribumi.

Betapa enaknya jadi pribumi karena seberapa pun banyaknya kekayaan yang kamu miliki, akan dianggap kerja keras. Sementara jika aku yang kaya, maka dicurigai sebagai pengusaha gelap, bandar narkoba, bos judi, atau anggota Sembilan Naga. Betapa enaknya jadi orang asli, karena jika kamu tertangkap karena melakukan korupsi atau suap oleh KPK, yang diingat adalah kejahatanmu, bukan rasmu. Tidak seperti penjahat BLBI yang kebanyakan Cina.

Betapa enaknya jadi pribumi, karena kamu tak perlu merasakan repotnya menikah dengan sesama keturunan Tionghoa. Orang sekelas Susi Susanti dan Alan Budikusuma saja harus pontang-panting mengurus surat-surat pernikahan karena diragukan kewarganegaraannya (tapi tidak diragukan ketika mereka menang olimpiade dan memberi dua medali emas olimpiade pertama dalam sejarah bagi Indonesia). Mereka harus repot sampai kemudian menjadi isu di media massa dulu untuk mendapatkan segala yang butuhkan. Itu untuk menikah, urusan waris? Bisa lebih runyam lagi.

Anies mungkin tahu rasanya jadi asing. Sebagai keturunan Arab, Anies mungkin pernah merasakan betapa label pribumi atau bukan itu menyesakkan dada. Kita dipaksa jadi beda, seolah-olah sikap cinta tanah air, patriotisme, itu diukur dari suku apa kita terlahir. Apakah saya yang keturunan Tionghoa ini tak boleh mencintai Indonesia? Apakah saya yang seperempat keturunan Arab harus jadi 100% pribumi dulu untuk bisa hidup aman tanpa takut diganyang dan digantung hanya karena mata saya sipit?


Nggak usah dijawab. Pertanyaan itu sengaja dibikin retoris. Seretoris nanya, kapan agama pribumi jadi tuan di tanah sendiri?

Tags: ahokAnies BaswedanAnies-SandiGubernur JakartapelantikanpidatoPribumi
Arman Dhani

Arman Dhani

Arman Dhani masih berusaha jadi penulis. Saat ini bisa ditemui di IG @armndhani dan Twitter @arman_dhani. Sesekali, racauan, juga kegelisahannya, bisa ditemukan di https://medium.com/@arman-dhani

Artikel Terkait

Ganjar Pranowo Dihindari Partai, Disayang Publik dan Lembaga Survei MOJOK.CO

Ganjar Pranowo: Dihindari Partai, Disayang Publik dan Lembaga Survei

17 Agustus 2022
Anies Baswedan, Jangan Anggap Enteng Ambruknya Pagar Tribun Utara JIS MOJOK.CO

Anies Baswedan, Jangan Anggap Enteng Ambruknya Pagar Tribun Utara JIS

27 Juli 2022
Kuskridho Ambardi: Gejolak Capres-Cawapres 2024 hingga Taruhan Alphard

Kuskridho Ambardi: Gejolak Capres-Cawapres 2024 hingga Taruhan Alphard

27 Juni 2022
JIS mojok.co

JJ Rizal Serahkan Petisi MH Thamrin Jadi Nama Pengganti JIS ke Anies

22 Juni 2022
Langkah Politik Jokowi 2.0 di Balik UU IKN MOJOK.CO

Langkah Politik Jokowi 2.0 di Balik UU IKN

19 Januari 2022
Anies Baswedan dengerin Cek Sound Nidji versi Non-Giring Itu Beneran Kocak Sih

Anies Baswedan Dengerin Cek Sound Nidji versi Non-Giring Itu Beneran Kocak Sih

17 Januari 2022
Pos Selanjutnya
mop-gajah-mojok

Mengapa Gajah Tidak Bisa Terbang?

Komentar post

Terpopuler Sepekan

pribumi-anies-mojok

Betapa Enaknya Jadi Pribumi

17 Oktober 2017
Kisah Bagaimana Gus Dur “Membela” Karya Salman Rushdie MOJOK.CO

Kisah Bagaimana Gus Dur “Membela” Karya Salman Rushdie

14 Agustus 2022
Kereta Cepat Jakarta Bandung: Ketika Jokowi dan Indonesia (Hampir) Tak Punya Daya Tawar MOJOK.CO

Kereta Cepat Jakarta Bandung: Ketika Jokowi dan Indonesia (Hampir) Tak Punya Daya Tawar

15 Agustus 2022
Es Putr Pak Sumijan Lasem

Warung Es Puter Pak Sumijan Lasem: Kemewahan di Balik Uang Rp5 Ribu

15 Agustus 2022
kadisdikpora diy mojok.co

Rekomendasi Satgas Selesai, Kepsek dan Tiga Guru SMAN 1 Banguntapan Disanksi Ringan 

18 Agustus 2022
ujian praktik SIM C

Cerita dari Peserta Ujian Praktik SIM yang Gagal, tapi Terus Mencoba

13 Agustus 2022
Trauma yang Tersimpan di Kota Tangerang MOJOK.CO

Trauma yang Tersimpan di Kota Tangerang (Bagian 1)

18 Agustus 2022

Terbaru

pelajar dan mahasiswa mojok.co

Terancam Tak Ikut Pemilu 2024, KPU RI Minta Pemda DIY Identifikasi Pelajar dan Mahasiswa

19 Agustus 2022
Asmoe Tjiptodarsono: Sumbangsih BTI dan PKI dalam Membangun Dunia Tani

Asmoe Tjiptodarsono: Sumbangsih BTI dan PKI dalam Membangun Dunia Tani

19 Agustus 2022
Kominfo masih dalami kebocoran data 17 pelanggan PLN.

Lebih dari 17 Juta Data PLN Diduga Bocor, Kominfo Masih Mendalami 

19 Agustus 2022
kebocoran data

21.000 Perusahaan di Indonesia Diduga Mengalami Kebocoran Data, Dijual 50 Ribu Dollar AS

19 Agustus 2022
Investasi jangka pendek, pakar sarankan hal ini.

Anak Muda Suka Investasi Jangka Pendek, Pakar Sarankan Konsistensi

19 Agustus 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In