MOJOK.CO – Jangan dikira seorang sayid (keturunan Nabi Muhammad) dengan mudah mendapat gelar “Habib” (kekasih) begitu saja. Ada prosesnya beroo…
Beberapa orang mungkin merasa iri dengan para sayid, atau sosok keturunan Nabi Muhammad. Ada celotehan yang muncul di mulut orang-orang ini. “Enak ya? Baru lahir langsung dimuliakan karena keturunan Nabi.”
Mungkin bagi orang-orang ini beberapa sayid termasuk golongan orang-orang yang beruntung. Tidak perlu bekerja keras untuk bisa dimuliakan seperti halnya kita yang dari golongan kelas menengah ngehek jaman now.
Beberapa sayid mungkin ada yang bangga, mungkin juga benar-benar bersyukur mendapatkan keuntungan ini, tapi saya pernah punya seorang sahabat, seorang sayid. Dengan nama fam yang cukup dikenal di seluruh negeri, tapi beliau selalu enggan jika diistimewakan cuma karena alasan sebagai sosok keturunan Nabi.
Nama sahabat saya ini Bagir, asli Tegal. Bagir merupakan teman sekamar saat kami berdua masih sama-sama menjadi santri. Orangnya tinggi besar, berkulit gelap, dengan hidung mancung. Saya lebih dulu di pesantren selama tiga tahun, lalu Bagir menyusul di tahun keempat. Tentu saja saya tidak akan menyebut nama fam-nya di sini untuk menjaga privasi keluarganya.
Saya ingat betul saat itu, minggu-minggu pertamanya di pesantren mungkin jadi minggu paling berat dalam hidup Bagir. Lha gimana? Di rumahnya sana, dia mungkin saja dihormati oleh orang-orang di sekitarnya, tapi di pesantren kami? Boro-boro dihormati, diajak ngobrol saja tidak pernah. Bahkan pernah pada suatu malam, Bagir sempat ingin makan bareng bersama teman sekamar, dan kami semua sepakat menolaknya.
Oleh karena itu, jangan dikira proses untuk dicintai sebagaimana gelar “Habib” yang biasa melekat ke para keturunan Nabi bisa serta merta begitu saja. Ada proses yang sangat panjang bagi Bagir untuk bisa membaur dan dihormati begitu besar oleh saya dan teman-teman yang merasa lebih “pribumi”. Sebuah sikap yang jika diingat lagi saat ini, cukup bikin menyesal.
Maka jika kalian kira diskriminasi hanya terjadi pada etnis Tionghoa, maka pengalaman saya dulu, diskriminasi justru terjadi ke etnis Arab. Bahkan bukan sembarang Arab, tapi cucu dari sosok yang bawa agama saya dan teman-teman saya. Bener-bener gendeng.
Tapi ya mau gimana lagi, begitu itu kehidupan di pesantren. Yah, paling enggak di pesantren saya.
Anda tidak akan dihormati atau dihargai kalau Anda tidak bisa menghormati atau menghargai orang lain. Tidak ada urusan Anda anak kiai terkenal atau bupati berpengaruh, di pesantren saya Anda sama saja dengan anak seorang supir bus atau supir becak. Derajat Anda sama. Kalau Anda bejat ya bakal dibabat, Anda santun, kami akan lebih santun.
Yap, dan itulah yang terjadi selama bertahun-tahun. Bagir, adalah teman saya yang paling terlambat membaur dengan saya dan teman-teman. Saya duga bertahun-tahun kemudian, hal ini bisa terjadi karena ada semacam stereotipe bahwa peranakan Arab itu arogan, sombong, dan tidak bisa diajak gojek kere.
Padahal saya tahu betul, Bagir selalu berusaha ingin berkawan dan bersahabat dengan kami bukan karena faktor keturunannya yang istimewa. Cuma kan ya, namanya anak-anak. Saya pikir, Bagir agak dijauhi karena statusnya yang terlalu tinggi untuk diajak mandi bareng, joinan sandal, joinan seragam sekolah, joinan sepatu sekolah, sampai joinan sempak. Lha piye? Keturunan Nabi je.
Dan harus diakui, sterotipe ini yang kemudian menghalangi kami untuk mau sekadar dekat dengan Bagir pada periode awal-awal dia mondok bersama kami.
Barangkali karena perlu beradaptasi dengan lingkungan, Bagir akhirnya mengikuti laku hidup penuh ke-kere-an bersama kami. Meski awalnya malu-malu, dia akhirnya mau juga joinan macam-macam. Meski untuk joinan sempak tetap tidak bisa dilakukan—lha maklum, sempaknya terlalu besar untuk ukuran mini orang-orang macam kami, mana ada yang mau pakai?
Di sanalah untuk pertama kalinya dalam hidup saya, melihat seorang cucu Nabi bertindak dan berkelakuan sama gilanya dengan kami.
Akan jadi pemandangan lumrah jika Bagir diminta mijitin, bayarin makan, sampai bayarin cabut beberapa ketua geng di pesantren. Sebab semua tahu, Bagir itu tajir, dan dia juga cukup lumayan juga untuk dijadikan pupuk bawang.
Yah, seperti jalan ke Alun-alun Kota yang jaraknya 10 kilometer, atau ke Boyolali dari Solo dengan jalan kaki (kalau dilakukan sekarang bisa-bisa patah kaki).
Setelah kami lulus dari pesantren, tidak banyak yang bisa saya ingat dari Bagir kecuali kenyataan bahwa dia tentu akan kembali ke habitatnya, sebagai orang yang dihormati dan disegani di kota kelahirannya.
Tapi apakah segala macam kemewahan yang menunggunya di kampung halaman itu mengubah dirinya? Oh, tidak sama sekali saudara-saudara.
Kebiasaan hidup kere di pesantren mungkin ada juga yang nyangkut ke habitatnya sebagai seorang sayid, kebiasaan gilanya bersama kawan-kawan mondoknya juga tidak luntur. Dia akan selalu salaman kecup tangan kepada setiap gurunya di pesantren (di mana pun bertemu), meski si guru akan selalu berusaha mengecup tangannya lebih dulu.
Lalu kami? Boro-boro mengecup tangan, halah… menendang pantatnya, jitak kepala, sampai menjambak rambutnya adalah hal lumrah bagi kami. Hal yang bakal dia balas dengan tenaga yang berlipat-lipat karena badannya memang tinggi besar. Pemandangan yang jika ditonton oleh umat kekinian, kami bakal dimaki-maki dan disiapkan perapian buat dibakar.
Kenangan bersama sahabat saya, Bagir ini, kemudian saya bawa saat saya kebetulan berkesempatan bertemu dengan Prof. Quraish Shihab di kediamannya pada 2017 silam. Sosok yang ketika saya ingin kecup punggung tangannya, akan menarik tangan cepat-cepat saat salaman.
Profesor Quraish bercerita pada sela-sela wawancara bahwa dia pernah mondok di sebuah pondok di Kediri bersama kakaknya. Meski singkat, cuma beberapa bulan kalau tidak salah, tapi pengalaman mondok itu adalah hal yang paling berpengaruh dalam hidupnya. Bahkan katanya jauh lebih berpengaruh daripada kuliahnya di Al-Azhar.
Alasannya sederhana. Di pondok, Profesor Quraish merasa mendapatkan pendidikan adab yang sebenar-benarnya.
Bagaimana hubungan guru-murid yang sakral di pondok menjadikan seorang yang berilmu tidak bisa main-main dengan keilmuannya. Membuat seseorang tidak bisa sembarangan memanfaatkan status sosialnya untuk mencerca atau menghujat orang lain. Bahkan sekalipun hujatan dan cercaan itu mengandung kebenaran.
Dari Profesor Quraish juga saya menyadari bahwa betapa beratnya seorang sayid menyanding gelar Habib. Ada tanggung jawab moral yang kelewat besar. Hal yang akhirnya bikin penyusun Tafsir Al-Misbah ini memilih enggan dipanggil Habib.
Sebuah kisah yang diceritakan Profesor Quraish inilah yang menjawab apa yang terjadi dengan kawan saya, Bagir, selama 3 tahunnya yang singkat di pondok pesantren. Bagir—di luar dugaan—ternyata mampu menyerap pelajaran untuk menjadi pribadi yang egaliter, tidak mengandalkan reputasi keluarga, dan diterima masyarakat karena kemampuannya sendiri dari pondok pesantren.
Sebuah pelajaran dan perjalanan yang berat, dan membuat namanya sama kerennya dengan nama bapaknya (memang merupakan tokoh terkemuka di Kota Tegal) dan—tentu saja—kakeknya; Baginda Rasul. Sebuah capaian yang saya pikir cukup manis guna menutup episode kehidupannya saat bertemu dengan kami, mentraktir kami makan, berhaha-hihi sekitar awal tahun 2012 lalu.
Tentu saja, saat itu kami tidak pernah menyangka bahwa makan-makan kami pada saat itu bakal jadi pertemuan terakhir kami dengan Bagir. Sebab beberapa bulan setelahnya Bagir cabut dari dunia ini untuk selama-lama-lama-lama-lama-lama-lama-lamanya.
Meninggalkan kami, kawan-kawannya yang brengsek dan amoral ini, tanpa sempat meminta maaf kalau saya ternyata sudah terlalu lama membumikan dirinya.
Yak betul, sahabat saya, Bagir ini meninggal dunia karena sakit saat saya dan teman-teman masih sayang-sayangnya dengan beliau. Saat kami demen sekali memanggilnya dengan, “Bib, Habib.” Meski di sela-sela itu, Bagir selalu ogah dipanggil dengan sebutan itu karena merasa tidak pantas.
Dan saat saya mengantarkan kepergiannya untuk terakhir kali. Kami sepakat bahwa gelar Habib layak disematkan pada sahabat kami, Muhammad Bagir.
Gelar yang saya tahu betul, sudah dicapai karena kerja kerasnya sendiri. Hal yang bikin kami begitu cinta kepadanya, bukan semata-mata kecintaan karena dia keturunan Nabi, melainkan kecintaan kepadanya sebagai manusia biasa dan sahabat lama.
Salam dan kecup jauh dari Bumi, ya Habib Bagir.