Bersahabat dengan Keturunan Nabi Muhammad yang Ogah Disebut Habib - Mojok.co
  • Kirim Artikel
  • Terminal
Mojok
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
Home Pojokan

Bersahabat dengan Keturunan Nabi Muhammad yang Ogah Disebut Habib

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
21 Desember 2018
0
A A
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Jangan dikira seorang sayid (keturunan Nabi Muhammad) dengan mudah mendapat gelar “Habib” (kekasih) begitu saja. Ada prosesnya beroo…

Beberapa orang mungkin merasa iri dengan para sayid, atau sosok keturunan Nabi Muhammad. Ada celotehan yang muncul di mulut orang-orang ini. “Enak ya? Baru lahir langsung dimuliakan karena keturunan Nabi.”

Mungkin bagi orang-orang ini beberapa sayid termasuk golongan orang-orang yang beruntung. Tidak perlu bekerja keras untuk bisa dimuliakan seperti halnya kita yang dari golongan kelas menengah ngehek jaman now.

Beberapa sayid mungkin ada yang bangga, mungkin juga benar-benar bersyukur mendapatkan keuntungan ini, tapi saya pernah punya seorang sahabat, seorang sayid. Dengan nama fam yang cukup dikenal di seluruh negeri, tapi beliau selalu enggan jika diistimewakan cuma karena alasan sebagai sosok keturunan Nabi.

Nama sahabat saya ini Bagir, asli Tegal. Bagir merupakan teman sekamar saat kami berdua masih sama-sama menjadi santri. Orangnya tinggi besar, berkulit gelap, dengan hidung mancung. Saya lebih dulu di pesantren selama tiga tahun, lalu Bagir menyusul di tahun keempat. Tentu saja saya tidak akan menyebut nama fam-nya di sini untuk menjaga privasi keluarganya.

Baca Juga:

Puncak Keimanan Adalah Keindahan bukan Cuma soal Kebenaran

Klaim Masjid Sunnah dan Gerakan Tidak-tidak: Ndak Boleh Gini, Ndak Boleh Gitu

Bapak, Tuhan Itu Apa?

Saya ingat betul saat itu, minggu-minggu pertamanya di pesantren mungkin jadi minggu paling berat dalam hidup Bagir. Lha gimana? Di rumahnya sana, dia mungkin saja dihormati oleh orang-orang di sekitarnya, tapi di pesantren kami? Boro-boro dihormati, diajak ngobrol saja tidak pernah. Bahkan pernah pada suatu malam, Bagir sempat ingin makan bareng bersama teman sekamar, dan kami semua sepakat menolaknya.

Oleh karena itu, jangan dikira proses untuk dicintai sebagaimana gelar “Habib” yang biasa melekat ke para keturunan Nabi bisa serta merta begitu saja. Ada proses yang sangat panjang bagi Bagir untuk bisa membaur dan dihormati begitu besar oleh saya dan teman-teman yang merasa lebih “pribumi”. Sebuah sikap yang jika diingat lagi saat ini, cukup bikin menyesal.

Maka jika kalian kira diskriminasi hanya terjadi pada etnis Tionghoa, maka pengalaman saya dulu, diskriminasi justru terjadi ke etnis Arab. Bahkan bukan sembarang Arab, tapi cucu dari sosok yang bawa agama saya dan teman-teman saya. Bener-bener gendeng.

Tapi ya mau gimana lagi, begitu itu kehidupan di pesantren. Yah, paling enggak di pesantren saya.

Anda tidak akan dihormati atau dihargai kalau Anda tidak bisa menghormati atau menghargai orang lain. Tidak ada urusan Anda anak kiai terkenal atau bupati berpengaruh, di pesantren saya Anda sama saja dengan anak seorang supir bus atau supir becak. Derajat Anda sama. Kalau Anda bejat ya bakal dibabat, Anda santun, kami akan lebih santun.

Yap, dan itulah yang terjadi selama bertahun-tahun. Bagir, adalah teman saya yang paling terlambat membaur dengan saya dan teman-teman. Saya duga bertahun-tahun kemudian, hal ini bisa terjadi karena ada semacam stereotipe bahwa peranakan Arab itu arogan, sombong, dan tidak bisa diajak gojek kere.

Padahal saya tahu betul, Bagir selalu berusaha ingin berkawan dan bersahabat dengan kami bukan karena faktor keturunannya yang istimewa. Cuma kan ya, namanya anak-anak. Saya pikir, Bagir agak dijauhi karena statusnya yang terlalu tinggi untuk diajak mandi bareng, joinan sandal, joinan seragam sekolah, joinan sepatu sekolah, sampai joinan sempak. Lha piye? Keturunan Nabi je.

Dan harus diakui, sterotipe ini yang kemudian menghalangi kami untuk mau sekadar dekat dengan Bagir pada periode awal-awal dia mondok bersama kami.

Barangkali karena perlu beradaptasi dengan lingkungan, Bagir akhirnya mengikuti laku hidup penuh ke-kere-an bersama kami. Meski awalnya malu-malu, dia akhirnya mau juga joinan macam-macam. Meski untuk joinan sempak tetap tidak bisa dilakukan—lha maklum, sempaknya terlalu besar untuk ukuran mini orang-orang macam kami, mana ada yang mau pakai?

Di sanalah untuk pertama kalinya dalam hidup saya, melihat seorang cucu Nabi bertindak dan berkelakuan sama gilanya dengan kami.

Akan jadi pemandangan lumrah jika Bagir diminta mijitin, bayarin makan, sampai bayarin cabut beberapa ketua geng di pesantren. Sebab semua tahu, Bagir itu tajir, dan dia juga cukup lumayan juga untuk dijadikan pupuk bawang.

Yah, seperti jalan ke Alun-alun Kota yang jaraknya 10 kilometer, atau ke Boyolali dari Solo dengan jalan kaki (kalau dilakukan sekarang bisa-bisa patah kaki).

Setelah kami lulus dari pesantren, tidak banyak yang bisa saya ingat dari Bagir kecuali kenyataan bahwa dia tentu akan kembali ke habitatnya, sebagai orang yang dihormati dan disegani di kota kelahirannya.

Tapi apakah segala macam kemewahan yang menunggunya di kampung halaman itu mengubah dirinya? Oh, tidak sama sekali saudara-saudara.

Kebiasaan hidup kere di pesantren mungkin ada juga yang nyangkut ke habitatnya sebagai seorang sayid, kebiasaan gilanya bersama kawan-kawan mondoknya juga tidak luntur. Dia akan selalu salaman kecup tangan kepada setiap gurunya di pesantren (di mana pun bertemu), meski si guru akan selalu berusaha mengecup tangannya lebih dulu.

Lalu kami? Boro-boro mengecup tangan, halah… menendang pantatnya, jitak kepala, sampai menjambak rambutnya adalah hal lumrah bagi kami. Hal yang bakal dia balas dengan tenaga yang berlipat-lipat karena badannya memang tinggi besar. Pemandangan yang jika ditonton oleh umat kekinian, kami bakal dimaki-maki dan disiapkan perapian buat dibakar.

Kenangan bersama sahabat saya, Bagir ini, kemudian saya bawa saat saya kebetulan berkesempatan bertemu dengan Prof. Quraish Shihab di kediamannya pada 2017 silam. Sosok yang ketika saya ingin kecup punggung tangannya, akan menarik tangan cepat-cepat saat salaman.

Profesor Quraish bercerita pada sela-sela wawancara bahwa dia pernah mondok di sebuah pondok di Kediri bersama kakaknya. Meski singkat, cuma beberapa bulan kalau tidak salah, tapi pengalaman mondok itu adalah hal yang paling berpengaruh dalam hidupnya. Bahkan katanya jauh lebih berpengaruh daripada kuliahnya di Al-Azhar.

Alasannya sederhana. Di pondok, Profesor Quraish merasa mendapatkan pendidikan adab yang sebenar-benarnya.

Bagaimana hubungan guru-murid yang sakral di pondok menjadikan seorang yang berilmu tidak bisa main-main dengan keilmuannya. Membuat seseorang tidak bisa sembarangan memanfaatkan status sosialnya untuk mencerca atau menghujat orang lain. Bahkan sekalipun hujatan dan cercaan itu mengandung kebenaran.

Dari Profesor Quraish juga saya menyadari bahwa betapa beratnya seorang sayid menyanding gelar Habib. Ada tanggung jawab moral yang kelewat besar. Hal yang akhirnya bikin penyusun Tafsir Al-Misbah ini memilih enggan dipanggil Habib.

Sebuah kisah yang diceritakan Profesor Quraish inilah yang menjawab apa yang terjadi dengan kawan saya, Bagir, selama 3 tahunnya yang singkat di pondok pesantren. Bagir—di luar dugaan—ternyata mampu menyerap pelajaran untuk menjadi pribadi yang egaliter, tidak mengandalkan reputasi keluarga, dan diterima masyarakat karena kemampuannya sendiri dari pondok pesantren.

Sebuah pelajaran dan perjalanan yang berat, dan membuat namanya sama kerennya dengan nama bapaknya (memang merupakan tokoh terkemuka di Kota Tegal) dan—tentu saja—kakeknya; Baginda Rasul. Sebuah capaian yang saya pikir cukup manis guna menutup episode kehidupannya saat bertemu dengan kami, mentraktir kami makan, berhaha-hihi sekitar awal tahun 2012 lalu.

Tentu saja, saat itu kami tidak pernah menyangka bahwa makan-makan kami pada saat itu bakal jadi pertemuan terakhir kami dengan Bagir. Sebab beberapa bulan setelahnya Bagir cabut dari dunia ini untuk selama-lama-lama-lama-lama-lama-lama-lamanya.

Meninggalkan kami, kawan-kawannya yang brengsek dan amoral ini, tanpa sempat meminta maaf kalau saya ternyata sudah terlalu lama membumikan dirinya.

Yak betul, sahabat saya, Bagir ini meninggal dunia karena sakit saat saya dan teman-teman masih sayang-sayangnya dengan beliau. Saat kami demen sekali memanggilnya dengan, “Bib, Habib.” Meski di sela-sela itu, Bagir selalu ogah dipanggil dengan sebutan itu karena merasa tidak pantas.

Dan saat saya mengantarkan kepergiannya untuk terakhir kali. Kami sepakat bahwa gelar Habib layak disematkan pada sahabat kami, Muhammad Bagir.

Gelar yang saya tahu betul, sudah dicapai karena kerja kerasnya sendiri. Hal yang bikin kami begitu cinta kepadanya, bukan semata-mata kecintaan karena dia keturunan Nabi, melainkan kecintaan kepadanya sebagai manusia biasa dan sahabat lama.

Salam dan kecup jauh dari Bumi, ya Habib Bagir.

Terakhir diperbarui pada 21 Desember 2018 oleh

Tags: habibketurunan Nabinabi muhammadnasabPesantrenQuraish Shihabsantrisayid
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

Puncak Keimanan Adalah Keindahan bukan Cuma soal Kebenaran

Puncak Keimanan Adalah Keindahan bukan Cuma soal Kebenaran

21 Januari 2022
Kampanye Masjid Sunnah dan Gerakan Tidak-tidak

Klaim Masjid Sunnah dan Gerakan Tidak-tidak: Ndak Boleh Gini, Ndak Boleh Gitu

17 Januari 2022
Tuhan Itu Apa

Bapak, Tuhan Itu Apa?

14 Januari 2022
Buang Sesajen Warga di Lumajang sambil Teriak Takbir Itu Maksudnya Apa?

Buang Sesajen Warga Lumajang sambil Teriak Takbir Itu Maksudnya Apa?

9 Januari 2022
Teror Pocong Masa PKL yang Kalah oleh Loudspeaker

Foto Pocong dan Kisah Renovasi Kamar Mandi Pesantren

19 Desember 2021
Pesan untuk Jenderal Dudung Abdurachman yang Ingin Rekrut Santri Jadi Tentara Mojok.co

Pesan untuk Jenderal Dudung Abdurachman yang Ingin Rekrut Santri Jadi Tentara

13 Desember 2021
Pos Selanjutnya
Saran Ciamik Prabowo Tentang Serangan Fajar: Terima Uangnya, Pilih Sesuai Hati Nurani

Pesan Penting Film Home Alone yang Diputar Setiap Tahun

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Kenapa Kami Takut Menikah? Tanyakan Saja Pada Patah Hati dan Politik Genderuwo!

Bersahabat dengan Keturunan Nabi Muhammad yang Ogah Disebut Habib

21 Desember 2018
Lokasi 18 SPBU di Jogja untuk uji coba MyPertamina

Lokasi 18 SPBU di Jogja yang Jadi Tempat Uji Coba MyPertamina untuk Roda Empat

30 Juni 2022
kecurangan SBMPTN

Polisi Amankan 15 Pelaku Kecurangan SBMPTN di UPN Veteran Yogyakarta

28 Juni 2022
Garuda Pancasila, Sudharnoto

9 Fakta Pencipta Lagu Garuda Pancasila yang Tersingkir dari Sejarah

26 Juni 2022
Pertamina dan aplikasi MyPertamina yang bikin ribet rakyat kecil! MOJOK.CO

MyPertamina dan Logika Aneh Pertamina: Nggak Peka Kehidupan Rakyat Kecil!

29 Juni 2022
PPDB SMA/SMK DIY dan sekolah pinggiran kekurangan murid

PPDB SMA/SMK Ditutup, Sekolah Pinggiran di DIY Kekurangan Murid

30 Juni 2022
Teror Spirit di Puncak Bogor Hingga Makassar MOJOK.CO

Teror Spirit di Puncak Bogor Hingga Makassar: Antara Keriaan dan Kemarahan yang Tak terjawab

30 Juni 2022

Terbaru

ACT Bikin Geger! Petingginya Tilap Miliaran Dana Kemanusiaan MOJOK.CO

ACT Bikin Geger! Petingginya Tilap Miliaran Dana Kemanusiaan, Kepercayaan Publik Berpotensi Koyak

5 Juli 2022
Deputi II Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Imdadun Rahmat. (Dok. Baznas.go.id)

Deputi Baznas Sebut Global Zakat Milik ACT Tak Punya Izin

4 Juli 2022
Sepeda motor dibakar dalam bentrok di Babarsari, Senin (04/07/2022)

Bentrok Antarkelompok di Babarsari, Sri Sultan Minta Polisi Tindak Keras Pelaku 

4 Juli 2022
sri sultan hb x mojok.co

Masa Jabatan Sri Sultan HB X Habis, DPRD DIY Geber Pembentukan Pansus

4 Juli 2022
Dwi Pertiwi: Legalkan Ganja untuk Medis Segera!

Dwi Pertiwi: Legalkan Ganja untuk Medis Segera!

4 Juli 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In