MOJOK.CO – Bedebah, urusan mengidolakan ternyata bisa segetir ini.
“Kalau kau mengidolakan seseorang,” kata Seno Gumira suatu kali, “Kau harus menjaga jarak dengannya.”
Nasihat yang agak aneh dari sastrawan kondang kaloka itu. Yang namanya mengidolakan seseorang ya pasti kita akan berusaha sedekat mungkin dengan yang kita idolakan, ya tho? Bukannya malah menjaga jarak. Namun kelak, nasihat yang bagi saya aneh itu ternyata masuk akal dan justru saya amini betul.
Merasa dekat dengan seseorang yang kita idolakan ternyata tidak semenyenangkan yang saya pikir. Ada semacam perasaan aneh yang justru membuat kadar “pengidolaan” tersebut berkurang perlahan.
Suatu ketika, saya pernah mengidolakan Puthut EA, penulis yang sekarang malah jadi kawan sekaligus bos saya itu. Dulu saat masih mengenalnya sekadar sebagai seorang cerpenis, saya begitu kagum dengan sosoknya. Betapa cerpen-cerpennya realis, mencengangkan, dan kerap punya kegetiran yang indah.
Kelak, saya kemudian diajak olehnya untuk ikut menulis di media yang ia dirikan, media yang sangat tidak mencerdaskan bangsa, media yang sekarang sedang Anda baca ini: Mojok.
Saya kemudian mulai kenal baik dengan Puthut EA dan mulai kehilangan jiwa-jiwa “pengidolaan” saya terhadapnya. Sebabnya simpel, semakin saya mengenalnya, maka semakin sering saya bertemu dengannya, semakin sering saya bercengkerama dengannya, dan kemudian, ia tak ubahnya seperti teman sendiri, yang saya tahu borok-boroknya, saya tahu kebiasaan-kebiasaan buruknya.
Sekarang, tiap kali ia menulis, sebagus apa pun tulisannya, saya selalu merasa gengsi untuk memuji tulisannya. Sebab di mata saya, ia bukan lagi idola saya, sekadar bos dan kawan yang kebetulan bisa menulis dengan baik.
Pada kesempatan yang lain, saya pernah mengidolakan sosok Prie GS. Ia penulis yang saya begitu takjub dan kagum dengan tulisan-tulisannya.
Kelak, keadaan membuat saya dan Prie GS saling follow di Twitter. Kami kerap bertukar sapa, sesekali saling mengguyoni dan menggoda.
Batas antara seorang fans dengan idolanya semakin kabur. Sekarang, kalau saya menonton Prie GS menjadi pengisi sebuah acara, saya merasa tidak perlu untuk meminta foto bareng beliau. Sebabnya ya itu tadi, saya sudah merasa ia bukan lagi idola saya karena saya sudah sering berinteraksi dengannya di Twitter.
Pengalaman yang paling jelas soal “kadar pengidolaan” saya tentu saja adalah soal Sheila on 7, band yang, saya sebagai seorang remaja ’90-an, pastilah mengidolainya.
Saya selalu merasa Sheila on 7 sebagai band yang nostaljik dan memorabel. Ia menghiasi masa-masa kecil dan remaja saya dengan lagu-lagunya. Keinginan untuk bertemu personel Sheila on 7 kemudian membuncah. Ingin sekali saya bertemu dan berfoto dengan mereka.
Namun kelak, saat saya kerja di Jogja, keadaan memaksa saya untuk bertemu sangat sering dengan mereka.
Saya bekerja di sebuah warnet yang mana lokasinya berada di sebelah persis kios es kelapa muda di depan GOR UNY. Welhadalah, kios tersebut ternyata sering disambangi oleh Adam, bassist-nya Sheila itu. Maka mau tak mau saya jadi sering bertemu dengan Adam, dan kemudian merasa tak ada lagi yang spesial dari dirinya sebagai seorang personel Sheila on 7.
Saya juga kerap bertemu dengan Duta sang vokalis karena memang rumahnya tak terlalu jauh dengan tempat kontrakan saya.
Yang paling menggelikan tentu saja adalah tentang Eross.
Warung makan Padang langganan saya ternyata juga menjadi langganan Eross. Hal tersebut membuat saya harus siap dengan kondisi yang sangat aneh. Makan sebelahan sama Eross. Bayangkan, Anda makan di meja yang mana sebelah Anda adalah Eross, gitaris yang kondang kaloka itu, dengan meja di seberangnya adalah istri Eross yang sedang mengetet-etet telur dadar untuk anaknya.
“Pengalamanku lebih aneh lagi,” kata kawan yang juga sangat ngefans sama Sheila on 7.
“Apa?”
“Aku harus menerima kenyataan bahwa aku sering futsal sama Duta, dan kerap menjadi musuhnya,” ujarnya. “Bayangkan, kamu bermain dan mengalahkan tim yg mana ada Duta di dalamnya. Mengalahkan orang yang lagu-lagunya sering kamu putar di playlist Spotify-mu.”
Kami berdua terdiam. Bedebah, urusan mengidolakan ternyata bisa segetir ini.
BACA JUGA Pilpres Mengingatkan Saya pada Kenangan Sunat Masa Kecil atau artikel Agus Mulyadi lainnya.