Belajar dari Bhutan Kalau Kekayaan Tidak Menjamin Kebahagiaan

bhutan

MOJOK.CODari Bhutan kita belajar bahwa mereka jadi negara paling Bahagia di dunia mungkin karena mereka memprioritaskan budaya dan lingkungan di atas pertumbuhan ekonomi mereka.

Beberapa hari yang lalu akun twitter World Bank South Asia membagikan artikel berjudul “Investing in Bhutan’s forest for a sustainable future” dengan caption potongan artikel tersebut yang kalau diterjemahkan seperti ini:

71% wilayah Bhutan diselimuti oleh hutan. Tapi, melihat kontribusinya terhadap nilai GDP hanya 2% saja, sektor kehutanan ini masih kurang dimanfaatkan. Bagaimana caranya Bhutan bisa melakukan investasi yang berkelanjutan di sektor kehutanan itu?

Kalau cuma baca captionnya saja, rasanya saya pengin langsung mencak-mencak sama World Bank. Ngapain sih segala sesuatu harus dilihat dari sudut pandang ekonomi gitu?

Sebentar, sebentar, mungkin ini captionnya saja yang wagu. Siapa tahu isi artikelnya tidak seperti itu. Setelah saya baca artikelnya secara keseluruhan, ternyata saya masih tetap ingin mencak-mencak karena isi artikelnya memang diwakilkan sama potongan artikel yang jadi caption tadi. Wagu!

Artikel itu membahas tentang peluang melakukan modernisasi sektor kehutanan di Bhutan. Dengan modernisasi ini, World Bank pengin kalau hutan di Bhutan bisa ngasih kontribusi ekonomi yang lebih tinggi soalnya di tengah kayanya Bhutan dengan hutan, mereka sendiri jadi importir produk berbasis hutan. Harapannya, kalau sektor perhutanan Bhutan bisa dimodernisasi, Bhutan bisa dapat untung karena hutannya lebih produktif. Jadi World Bank bilang investasi terhadap sektor kehutanan di Bhutan ini sangat menjanjikan. Investasi di sektor ini bisa membawa kekayaan untuk global sekaligus Bhutan jadi contoh pengelolaan sumberdaya kehutanan yang berkelanjutan.

Hadehh, World Bank nih kenapa sih segala sesuatu harus dilihat dari kacamata kapitalisme yang dikit-dikit nyari untung. Mereka nih nggak tahu apa kalau banyak hal di dunia ini yang layak untuk tetap ada tanpa harus memberi keuntungan ekonomi!!1!!

Emang perlu banget yah modernisasi itu? Penting banget gitu ngikutin pembangunan global yang seringnya malah merusak dibandingkan jadi solusi?

Gini ya, Bhutan selama ini adalah negara yang baik-baik saja. Meskipun mereka hanya negara kecil, (disebut) tidak berkembang, tapi mereka bisa bertahan. Mereka bahkan dikenal sebagai negara paling bahagia di dunia.

Betul, meskipun jadi negara dengan ekonomi terkecil di seluruh dunia, mereka bisa tetap bahagia. Kenapa bisa gitu? Soalnyaaa, mereka nggak ngitung pembangungan mereka pakai GDP yang selama ini jadi standar pembangunan ekonomi global!

Mereka punya standar sendiri yang dinamakan Gross National Happiness (GNH) yang isinya fokus pada perhitungan peningkatan kebahagian dan kesejahteraan warga negara yang mempertimbangkan nilai-nilai budaya dan lingkungan.

Bagi Bhutan, pertumbuhan ekonomi itu nggak penting-penting amat, apalagi kalau harus merusak budaya dan kelestarian hutan dan lingkungan mereka.

Coba kalau Bhutan ikut pakai standar pembangunan ekonominya World Bank, Bhutan pasti akan berakhir seperti India dan China. Ya ekonominya mungkin maju dan berkembang sih, tapi mereka jadi negara yang punya indeks kebahagiaan rendah, dan dikenal sebagai negara dengan kerusakan lingkungan dan jadi penyumbang emisi terbesar di dunia.

Meskipun pakai embel-embel pembangunan berkelanjutan, pendekatan ekonomi dalam pembangunan yang di-endorse World Bank sudah kadung dikenal punya karakter yang ekspansif. Di era neoliberalisme yang menjunjung tinggi produktifitas, semua hal harus diolah dan harus menghasilkan keuntungan, tidak pernah ada kata cukup. Makanya pembangunan versi World Bank adalah pembangunan yang merusak.

Padahal kalau kita memikirkan kembali apa sih tujuan pembangunan itu, satu-satunya jawaban yang bisa kita dapatkan adalah kemampuan untuk bertahan hidup. Bisa makan, bisa punya tempat tinggal, ditambah bisa rekreasi sesekali. Serius deh, uang yang kita dapat dari hasil kerja kerja kerja itu, cuma untuk biar kita bisa terus menyambung hidup saja.

Kalau dipikir baik-baik, untuk mencapai tujuan pembangunan (bertahan hidup dan rekreasi sesekali tadi) tanpa harus ngikutin standar barat yang harus kerja kerja kerja dan ngehasilin uang untuk dapat itu semua, negara-negara dunia ketiga kayak Bhutan tadi (dan Indonesia juga) sudah bisa mencapai itu semua.

Sadar nggak sih kalau kita itu punya sistem sosial dan budaya yang melindungi kita untuk tetap bertahan hidup meskipun tidak bekerja ala World Bank. Di desa-desa misalnya, ada sistem yang membuat warga desa tidak ada yang kelaparan dengan budaya berbagi makanan. Termasuk budaya tolong menolong dan bergotong royong jika ada di antara mereka yang ingin membangun rumah.

Artinya, orang-orang di negara dunia ketiga sebenarnya sudah mencapai tujuan pembangunan itu. Tapiii, karena negara barat nggak punya sistem yang menjaga mereka seperti kita, hal-hal seperti ini tidak pernah dimasukan ke dalam perhitungan pembangunan mereka.

Coba kalau itu masuk hitungan, nggak akan ada tuh negara-negara berkembang yang dilabeli “berkembang” karena negara-negara dunia ketiga mempercayai bahwa semua kebutuhan kita sebenarnya sudah disediakan oleh alam. Sayangnya, karena manusia banyaknya serakah, itu semua selalu tidak cukup. “Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not every man’s greed”.

Dan dari Bhutan inilah kita belajar “enough is enough”. Dari mereka kita juga belajar bahwa pertumbuhan ekonomi tidak menjami kebahagiaan.

Dari Bhutan juga kita harus belajar bahwa mereka jadi negara paling bahagia di dunia mungkin karena mereka memprioritaskan budaya dan lingkungan mereka, kalau lihat ini, saya jadi penasaran berapa lama lagi sampai World Bank sadar bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan tidak diukur dari GDP.

BACA JUGA Risiko Lahir di Negara Berkembang atau artikel lainnya di POJOKAN.

Exit mobile version