Kota Malang sedang sangar-sangarnya. Skandal korupsi berjamaah yang melanda DPRD Kota Malang benar-benar menjadi codet busuk yang menganga.
Tak main-main, KPK secara resmi telah menetapkan 41 dari 45 anggota DPRD kota Malang sebagai tersangka kasus korupsi. Sekali lagi lagi, 41 dari 45.
Penetapan tersangka terhadap satu rombongan anggota DPRD ini terkait dengan kasus dugaan suap dan gratifikasi dalam persetujuan penetapan Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Kota Malang tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2015 yang juga melibatkan Wali Kota nonaktif Malang Moch. Anton.
Para anggota DPRD ini diduga menerima uang suap dari Anton senilai Rp12,5 juta sampai Rp50 juta.
“Hingga saat ini dari total 45 anggota DPRD Kota Malang, sudah ada 41 anggota yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.
Setelah 41 anggota DPRD tersebut ditetapkan sebagai tersangka, praktis hanya tersisa 4 orang anggota DPRD yang bertugas.
Ini menarik. Sebab, untuk ukuran korupsi berjemaah, ini terlalu nanggung. Ada 4 yang lolos dan tidak (atau belum) terlibat dalam praktik korupsi ini.
Kenapa 41? kenapa bukan semuanya sekalian? kenapa harus sisa 4? Bagaimana mungkin ada 4 domba di dalam gerombolan serigala?
Nah, atas pernyataan yang cukup mengusik tersebut, Mojok Institute mencoba membuat hipotesis tentang kemungkinan sebab empat orang tersisa ini tidak ikut terlibat dalam praktik korupsi yang menyeret kawan-kawannya.
Jujur dan punya komitmen
Ini kemungkinan pertama yang bisa diambil. Empat orang anggota DPRD yang tidak terlibat ini memang wakil rakyat yang benar-benar jujur, baik, punya komitmen, manut sama orang tua, menjalankan ajaran agama dengan baik, tidak kasar, tidak pernah berjudi, tidak ngebir apalagi mabuk, tidak suka selingkuh, menjaga pandangan, juga hati-hati terhadap halal-haram.
Saya yakin, banyak yang meragukan dengan kemungkinan yang satu ini. Tapi, namanya kemungkinan, ia tetaplah kemungkinan. Bisa mungkin, bisa tidak. Tapi kelihatannya memang tidak sih. Hahaha.
Introvert
Ini kemungkinan yang jauh lebih masuk akal ketimbang kemungkinan pertama. Empat anggota dewan yang tidak ikut menikmati uang bancakan ini kemungkinan adalah sosok-sosok yang introvert. Sosok-sosok yang pendiam, tidak terlalu banyak bicara dengan sesama anggota dewan, sehingga anggota dewan yang lain rikuh dan enggan mengajak mereka untuk ikut menikmati “jatah preman” yang mereka dapatkan.
Jahil dan suka iseng
Ini kemungkinan yang, walaupun aneh, namun tetap punya kans yang cukup besar. Empat anggota dewan yang tidak ikut menikmati uang bancaan adalah sosok yang jahil, usil, dan suka iseng. Mereka suka menganggau anggota dewan lain. Misal, ketika anggota dewan yang lain sedang enak-enak tidur, empat anggota dewan ini malah terus menerus bernanyi lagu “Lagi Syantik”-nya Sibad dengan suara yang buruk lagi nyaring. Mungkin mereka menganggap, karena dulu sata pemilu mereka sibuk cari suara, maka ketika terpilih, saatnya bagi mereka buang-buang suara.
Atau bisa juga iseng standar saat anggota dewan lain sedang menggunakan toilet, lampu toiletnya dimatikan. Atau keisengan level jadul seperti menaruh permen karet di atas kursi.
Mereka bukan saja jahil sama rakyat, tapi juga jahil sama kawan sendiri.
Alhasil, para anggota dewan yang lain kesel dan tidak mengajak mereka untuk sama-sama menikmati bancakan.
Jarang Cek grup Wasap
Ini kemungkinan yang sangat besar. Sebagai sebuah lembaga yang membutuhkan banyak koordinasi, DPRD Malang tentu saja punya grup wasap sendiri yang isinya seputar diskusi tentang pemerintahan. Salah satunya soal bagi-bagi duit itu tadi.
Nah, empat anggota dewan ini ndilalah nggak pernah aktif mengecek grup wasap. Sekalinya ngecek sudah ada 9999+ percakapan. Mereka membuka percakapan tersebut sekadar biar notifnya hilang.
Hasilnya, mereka ketinggalan obrolan soal uang jajan dari Pak Anton dan terpaksa nggak kebagian.
Generasi barter
Empat anggota dewan tidak suka menggunakan duit. Mereka terbiasa bertransaksi barter. Mereka suka membayar sesuatu dengan aneka hasil bumi.