Aku Tahu Aku Cantik dan Pintar, tapi Please Jangan Puji Aku

MOJOK.CO Kebingungan menanggapi pujian adalah nyata dan sungguh-sungguh terjadi. Jadi, tolong, sudahlah—jangan puji aku!

Saya menuliskan judul tulisan ini dengan geli. Perlu waktu tiga menitan untuk berhenti tertawa sebelum akhirnya mulai benar-benar menulis.

Pujian, adalah bumbu penyedap dalam kehidupan bersosial—seperti kecap yang dituangkan ke tumpukan nasi ayam geprek (serius, deh, kenapa ada orang yang pesan ayam geprek cabai 5, tapi makannya pakai kecap???) atau gula batu yang dicemplungin ke teh hangat. Ia adalah pelengkap. Penyeimbang. Cahaya terang.

Saya rasa, kita semua bisa sepakat bahwa dipuji adalah sesuatu yang terasa menyenangkan, baik itu dipuji karena penampilan yang menarik (tolong bedakan ini dengan catcalling, ya!), pekerjaan yang bagus, keberhasilan meraih penghargaan, sikap dermawan, sampai dipuji karena berhasil punya pacar setelah jomblo sekian lama. Pokoknya, dipuji itu enak walau kita suka berteriak dalam hati, “Jangan puji aku!”.

Coba, deh, amati dulu aktivitas pemberian pujian yang sering kita temui di sekeliling kita. Banyak, kan, adegan pujian karena wajah yang rupawan dan pencapaian besar, seperti lulus S-2 atau keberhasilan menghasilkan karya? Banyak, kaaaan???

Tapi faktanya, di lapangan—atau lebih sering ditemui di kolom komentar media sosial—puji-pujian ini tidak mendapat apresiasi sebagaimana seharusnya. Banyak sekali orang yang justru merasa canggung dan aneh saat dipuji. Ya, benar, dipuji itu memang enak, tapi…

…kita tu sebenarnya harus bersikap bagaimana untuk menghadapinya, sih???

Dalam suatu kondisi tertentu, seorang perempuan memuji kawan perempuan lainnya, misalnya dengan ucapan, “Wah, kamu kelihatan tambah cantik, deh, sekarang! Lihat, deh, mata kamu; udah kayak gerbang surgawi! Terus, baju kamu juga keren, kayak bajunya Jennie BLACKPINK!”

Coba tebak, apa yang kira-kira dirasakan si perempuan penerima pujian? Ya, betul: YA JELAS SENENG, LAH, ARMANDOOOO.

Tapi, ingat: reaksi diri menerima pujian tak melulu lantas positif dan mengiyakan kata-kata yang terdengar. Sebaliknya, kepala-kepala kita—sebagai penerima pujian—justru kadang berpikir lebih cepat: duh, jangan puji aku! Kenapa juga, sih, dia tiba-tiba muji aku? Dia tulus muji beneran atau cuma nyindir, ya? Kalau muji beneran, aku harus jawab apa, nih, biar nggak kelihatan sombong?

Pada dasarnya, ada tiga cara umum menerima pujian: mengamini pujian, mengelak, dan menolak. Dengan pertimbangan tidak ingin terlihat sombong, kebanyakan orang memutuskan untuk menolak dan mengelak dari pujian tadi, misalnya dengan kalimat semacam:

“Ah, kamu lebih pintar, kok.”

“Ah, bisa aja. Ini aku cuma pakai baju bekas kakakku, kok.”

“Ah, cantik dari Hong Kong! Jelek kayak gini, kok—aku aja tambah gendut dan naik 3 kilo!”

Ke-mbuh-an kita saat menerima pujian ternyata bukan hal yang aneh-aneh amat. Nyatanya, menurut penelitian, pujian memang cenderung membuat orang bingung dalam hal menanggapi. Maksud saya, kalau kita dipuji, “Eh, kamu cantik banget, sih!”, terus kita jawab, “Iya, nih, aku cantik. Makasih, ya!”, apa kita nggak bakal dilempar jumroh dianggap sombong dan punya level narsis tingkat dewa???

Kebiasaan bersopan santun yang diajari oleh bapak dan ibu kita ternyata memegang peran besar pada cara kita menanggapi pujian. Demi sopan santun dan menghindari sikap angkuh, kita jadi geleng-geleng kepala, deh, waktu dipuji—meskipun, yah, dalam hati, sih, kita kesenengan setengah mati, apalagi kalau yang muji gebetan sendiri. Apalagi (lagi), kalau gebetan ini berubah status jadi pacar kita.

Tapi tetap saja, kebingungan menanggapi pujian adalah nyata dan sungguh-sungguh terjadi. Jadi, wajar saja kalau kita benar-benar berdoa, “Jangan puji aku!” di dalam hati. Apalagi, kadang-kadang, pujian itu…

…menambah beban pikiran!!!

Jadi gini, loh, Saudara-saudara yang budiman. Situ pernah nggak dipuji semacam, “Ah, kalau kamu mah pasti nilai kuis Farmasetikanya nanti dapat nilai tinggi, soalnya setiap praktikum, kan, hasilmu selalu bagus”?

Tahukah Anda-Anda sekalian bahwa pujian semacam itu justru membebani pikiran si penerima pujian? Gimana kalau nanti nilai kuis Farmasetikanya nggak sebagus yang diharapkan??? Apa dia nggak jadi down dan merasa gagal???

Ini omong-omong kenapa juga saya pakai contoh mata kuliah Farmasetika, ya???

Perkara “jangan-puji-aku” ini memang cukup pelik. Seperti yang sudah disebutkan di atas, kita tentu suka dipuji, tapi kita juga tidak suka menerima pujian itu dengan cepat karena takut terkesan sombong dan angkuh. Lantas, sebenarnya, harus seperti apakah kita menerima pujian, kalau memang kita nggak dianjurkan-dianjurkan amat untuk mengelak?

Menurut penelitian, orang-orang yang sulit menerima pujian ternyata adalah mereka-mereka yang memandang rendah diri sendiri. Alih-alih ikut mengapresiasi diri, orang-orang ini—mungkin termasuk kita semua—justru bertanya-tanya apakah si pemuji tadi berkata jujur dan apakah pujian itu pantas diberikan. Pokoknya, bukannya senyum dan bilang “Makasih”, orang-orang ini justru harus bergulat dengan insecurities. Nggak seru!

Padahal, kalau dipikir-pikir, menerima pujian bukanlah hal yang membuatmu berdosa. Daripada mengutuki diri sendiri dan malah menolak mentah-mentah pujian tadi, kenapa kamu nggak coba bilang “Makasih”, tanpa harus ditambah embel-embel “tapi kamu lebih cantik, aku mah nggak ada apa-apanya” atau “tapi jangan puji aku, lah”?

Maksud saya, kalau dulu pernah ada orang yang dengan kurang ajarnya menginjak-injak rasa percaya dirimu, bukankah itu tidak berarti orang-orang yang ada di sekelilingmu sekarang bakal melakukan hal yang sama?

Exit mobile version