ADVERTISEMENT
Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Pojokan

Adu Argumen sama Orang yang Nggak Bisa Bedain Penggunaan Kata di, Cuma Bikin Capek

Ajeng Rizka oleh Ajeng Rizka
14 Juli 2021
0
A A
ilustrasi Adu Argumen sama Orang yang Nggak Bisa Bedain Penggunaan Kata di, Cuma Bikin Capek mojok.co

ilustrasi Adu Argumen sama Orang yang Nggak Bisa Bedain Penggunaan Kata di, Cuma Bikin Capek mojok.co

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Penggunaan kata di sebagai prefiks atau preposisi sudah diajarkan dari SD. Konon, orang yang masih nggak bisa bedain cara penulisannya nggak layak diajak berdebat.

Ada sebuah mitos yang hampir mirip kepercayaan dan banyak dipegang teguh oleh netizen Indonesia. Konon, kalau ada orang yang nggak bisa membedakan penggunaan kata di sebagai prefiks atau preposisi, lalu mengunggah pendapat yang nggak jelas di media sosial, argumennya nggak usah didebat. Soalnya, kebanyakan argumen orang-orang ini nggak masuk akal, bodoh saja belum, dan cuma bikin capek.

Sebenarnya penggunaan kata di yang dipisah dan digabung itu mudah sekali dibedakan. Kata “di” yang berfungsi sebagai prefiks atau imbuhan itu biasanya melekat pada kalimat pasif. Jadi, kata itu bisa juga diubah jadi kalimat aktif. Misalnya kata “disuruh” bisa diubah jadi “menyuruh”. Selain yang befungsi sebagai prefiks, penggunaan kata “di” berarti sebagai preposisi, misalnya “di bawah”, “di antaranya”. Buat lebih jelasnya kalian bisa lah belajar dari sini.

Jujur saja, mitos dan kepercayaan seputar “penggunaan kata di” di media sosial itu ada benarnya. Tapi, sebagai entitas yang tidak sempurna ini, saya juga kadang kasian. Ini lebih mengarah ke stereotip ngasal yang tidak berdasar dan nggak ada bukti ilmiahnya. Sayangnya, stereotip macam ini pernah saya uji coba dan secara subjektif memang mengandung kebenaran.

Seseorang yang bikin argumen ngawur dan ngetik kata “di suruh” bukan “disuruh” itu sejujurnya bikin saya geli banget. Ternyata setelah dibaca lagi, argumennya juga jauh lebih menggelikan. Ketika ada orang lain yang mendebat dan mencoba menjelaskan di mana hal yang wagu, eh si orang yang nggak paham penggunaan kata di ini justru semakin menggila. Di samping itu, hal ini bikin saya nggak fokus ke argumennya, malah fokus ke penulisan dan bagaimana dia merangkai kata. Duh, kan kebiasaan buruk buat cari-cari kesalahan orang lain, dasar editor.

Saya sebenarnya nggak berani banget buat mendebat argumen orang yang nggak paham penggunaan kata di tadi. Masalahnya bukan karena saya takut salah, justru karena kalau ngasih kritik dan menyoroti soal penulisannya, saya takut dibilang nggak asyik. Maklum lah, kalau di luar sana ada grammar nazi, di sini saya juga bisa tumbuh jadi polisi EBI atau polisi bahasa. Padahal kalau mau ngurutin semua artikel yang saya buat, setidaknya pasti ada typo, salah tik, dan kesalahan-kesalahan bodoh lain yang mungkin belum saya pahami ketika itu. Nah, kan takut jadi bumerang, saya pun ciut.

Di saat lagi ciut-ciutnya, ternyata emosi saya diuji. Belum lama ini saya menyimak di media sosial masih aja ada orang yang menulis kata “sekadar” dengan kata “sekedar. Parahnya dia pun menulis “Aku ingin merubah diriku.” Tolong lah, Anda mau menjadi rubah? Kan yang benar “mengubah”, Sayanggg. Seketika itu saya pun kepancing, udah argumennya seenak jidat, ngejekin orang lain, merasa paling benar, typing-nya pun buruk rupa. Padahal ini permasalahan yang sepele, lho. Masalah yang sebenarnya sudah diajarkan dari SD, soal penggunaan bahasa yang benar, penggunaan kata di yang benar, penggunaan awal me-, dan lain sebagainya.

Senada sama orang yang masih pakai kata “merubah” ada juga yang pakai kata “menyuci”. Ah elah, kalau huruf c kemudian melebur jadi huruf y, ya masa sih bakal ada kata “menyampakkan”, “menyuri”, “menyintai”. Hassssh, ra mashook.

Ya kalau memang belum paham betul sama penulisan yang sesuai EBI (Ejaan Bahasa Indonesia) nggak masalah, tapi mbok ya ada keinginan buat belajar gitu lho. Udah ada Uda Ivan Lanin yang kadang memberikan pencerahan dengan sentuhan jokes bapack-bapack, nggak galak kayak guru bahasa Indonesia kalian pokoknya. Apa salahnya dipahami, terutama hal-hal mendasar kayak penggunaan kata di. Semakin paham, semakin ganteng typing kalian. Semakin nggak kelihatan bodoh pula argumen kalian di media sosial. Walaupun tetap bodoh, setidaknya bisa ngetik bener lah biar nggak kelihatan tambah pekok. Hindarkan diri kalian dari mitos-mitos “penggunaan kata di”.

BACA JUGA Kata Paling Indah dalam Bahasa Indonesia dan tulisan AJENG RIZKA lainnya.

Terakhir diperbarui pada 14 Juli 2021 oleh

Tags: ejaan bahasa Indonesiagrammar nazkaidah bahasapenggunaan kata dipolisi bahasa
Iklan
Ajeng Rizka

Ajeng Rizka

Penulis, penonton, dan buruh media.

Artikel Terkait

Versus

Harus Banget, ya, Menegur Grammar Bahasa Inggris Orang Lain?

22 April 2019
Esai

Mengungkap Kategori Tukang Rese Bahasa, Dari Polisi Bahasa sampai Hansip Bahasa

13 Januari 2019
Versus

Penulisan Di dan Pun: Harusnya Dipisah atau Digabung, Sih?

10 Mei 2018
tidak punya hobi hobby pengertian hobi macam-macam hobi memasak sepeda brompton mojok.co
Versus

Perasaan Saya ketika Dianggap Polisi Bahasa alias Grammar Nazi

3 November 2017
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Brutalnya Hidup di Negara kayak Indonesia: Negara ‘Survival of The Fittest’

Brutalnya Hidup di Negara kayak Indonesia: Negara 'Survival of The Fittest'

Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Toko Buah Horor di Sudut Kota Jogja MOJOK.CO

Toko Buah Horor di Sudut Kota Jogja: Tentang Sosok Hantu Perempuan yang Muncul dari Tempat yang Tidak Terduga

22 Mei 2025
Ujian warga plat K seperti Rembang yang merantau di Semarang MOJOK.CO

Orang Plat K Harus Hadapi Banyak Derita kalau Merantau di Semarang, Benar-benar Penuh Drama

22 Mei 2025
Sisi suram kos pasutri di Sleman Jogja MOJOK.CO

Sisi Suram Kos Pasutri Jogja, Tetangga Tak Tahu Batasan hingga Jadi Kedok “Hubungan Terlarang”

17 Mei 2025
Kos dekat UII, Jogja dengan harga murah. MOJOK.CO

Kenikmatan Ngekos Dekat Kampus UII, Cocok untuk Slow Living di Jogja dan Lebih Hemat Biaya

21 Mei 2025
Melbourne, Australia lebih baik timbang Bordertown. MOJOK.CO

Pengalaman Pertama Orang Indonesia Pindah ke Bordertown, Malah bikin Syok karena Melbourne Lebih Menjanjikan

20 Mei 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.