MOJOK.CO – Selama memerintah, ada banyak prestasi Jokowi yang dicatat oleh media dan para pendukungnya. Berikut 5 prestasi yang Mojok Institute catat.
Menjelang debat capres dan cawapres babak kedua, baik kubu Jokowi maupun Prabowo tancap gas kampanye. Keduanya saling “menginfiltrasi” sumber-sumber suara lawan. misalnya Jokowi dua kali berkunjung ke Jawa Barat, kandang Prabowo. Sementara itu, pasangan 02, membuka banyak posko di Jawa Tengah, “rumah” pasangan 01.
Salah satu cara kubu petahana untuk “mempromosikan” dirinya adalah dengan membuat daftar prestasi. Tujuannya supaya masyarakat, terutama yang para pemilih mengambang, bisa mendapatkan resume keberhasilan Jokowi selama memerintah sejak tahun 2014.
Tentu kami, Mojok Institute yang super penasaran ini, tak ingin ketinggalan. Kami menyusun daftar 5 prestasi Jokowi, sebagai panduan bagi kamu sumua yang belum menentukan pilihan. Ingat, di Pilpres 2019 nanti jangan golput. Kalau nggak milih, baru nggak papa.
1. PKI bangkit hanya di zaman Jokowi.
Ini sebuah prestasi yang membanggakan. Partai yang sudah dilarang di Indonesia seolah-olah bisa bangkit di zaman petahana. Ini sebuah prestasi Jokowi yang patut kamu apresiasi.
Coba bayangkan ini. Hanya di zaman Pakde, sebuah partai terlarang bisa bangkit dan ujug–ujug punya 15 juta pendukung, kata salah satu jenderal. Bagaimana caranya, sebuah partai terlarang, bisa melakukan konsolidasi untuk mengumpulkan massa sebanyak itu? Kalau mereka ikut pemilu, bisa-bisa partai tradisional bakal kalah.
Ini tidak pernah terjadi di zaman SBY, dan kemungkinan tidak bakal bisa kejadian lagi di zaman Prabowo. Kalau pasangan 02 menang.
2. Prestasi Jokowi adalah dikoreksi anaknya sendiri.
Pemerintahan Jokowi diwarnai oleh prestasi anak di bidang bisnis. Baik Gibran Rakabumi, hingga Kaesang Pangarep, punya bisnis sendiri. Hebatnya, keduanya tidak mengandalkan nama besar bapaknya untuk bisa “jadi besar”. Bahkan, Gibran menolak keras memberi keistimewaan untuk orang-orang yang dekat dengan Pakde.
Bahkan, Kaesang berani mengoreksi bapaknya sendiri yang notabene orang paling berkuasa di Indonesia. Dasar kaesang, betul-betul…
Jadi, ketika menghadiri Festival Terampil 2019 di Jakarta Selatan, Jokowi berkata bahwa, “Dulu saya menganggap remeh bisnis pisang goreng nugget yang dikelola Kaesang. Apa sih ini pisang goreng nugget ini? Kenapa Kaesang tak mau mengurus perusahaan mebel yang saya rintis dari nol? “Saya baru antusias ketika usaha anak bungsu saya ini sudah memiliki 54 cabang. Saya sampai bertanya berapa ongkos produksi dan omzetnya. Ternyata, dihitung-hitung, pabrik saya sendiri sudah kalah oleh Sang Pisang. Bagaimana bisa.”
Membaca pernyataan bapaknya, Kaesang langsung mengoreksi lewat akun Twitter-nya: “65 CABANG PAK.” Kaesang tidak terima gerai usahanya hanya disebut punya 54 cabang, padahal sebetulnya 65. Ini kurang ajar betul.
sikap Kaesang ini adalah prestasi, karena menggambarkan iklim bisnis positif di keluarga Pakde. Namun, ini juga sebuah kegagalan. Bagaimana bisa, seorang anak presiden tidak mendapat privilise? Ngawur. Sudah berani membantah, malah mengoreksi pula.
Belum ada anak presiden yang berani begini. Bikin malu anak-anak presiden terdahulu, yang bisa dapat bisnis mobil nasional dan ada pula anak presiden yang “didorong” terjun ke dunia politik menjadi “pewaris tahta”. Pakde ini bagaimana. Mbok ya paham dikit.
3. Tol Trans Jawa bikin perjalanan jadi cepat.
Salah satu prestasi Jokowi yang paling dominan, konon, adalah pembangunan infrastruktur. Salah satunya pembangunan jalan tol. Berdasarkan data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PUPR, hingga 20 Oktober 2018, total panjang jalan tol yang sudah dioperasikan pada periode Oktober 2014-Oktober 2018 mencapai 423,17 km.
Jika dilihat dari capaian pada masa pemerintahan sebelum-sebelumnya. torehan ini cukup mentereng. Dari data pengoperasian jalan tol BPJT, capaian pembangunan jalan tol di era Presiden Jokowi memang cukup signifikan. Salah satu tol yang tengah hangat diperbincangkan adalah Tol Trans Jawa.
Kalau kamu lewat Tol Trans Jawa, total jarak dari Jakarta ke Surabaya lewat tol yang mencapai 760 km, bisa dicapai dalam waktu 10 jam saja. Peribahasa orang Jawa menyebutkan bahwa “Ono rego, ono rupa” atau “Ada biaya, ada kualitas”. Biaya untuk lewat tol ini memang mahal, antara 1,5 hingga 2 juta rupiah. Harga yang dikeluhkan oleh banyak pengusaha.
Jokowi ini memang tidak peka. Kami ingi kan inginnya murah dan cepat. Ya kalau tidak bisa, murah tapi lama juga nggap apa-apa. Begitu aja nggap paham.
4. Mengerjakan integrasi infrastruktur.
Pengerjaan infrastruktur yang sangat masih ini, kata Jokowi bertujuan untuk membentuk sebuah integrasi antara antara jalan tol dengan infrastruktur lainnya, kawasan industri, hingga kawasan wisata.
Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut berharap, pertumbuhan ekonomi dari pembangunan infrastruktur dapat dinikmati oleh masyarakat di kota-kota kecil di sekitarnya. “Oleh karena itu, kawasan yang terlewati jalan tol akan ikut berkembang, jangan hanya di kanan kiri kota-kota besar, tapi juga kabupaten, kota-kota kecil juga menikmati pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.
Prestasi Jokowi ini patut dipertanyakan. Dulu, banyak orang yang menggantungkan hidupnya dengan melakukan aksi pungutan yang tidak ada dalam rencana kerja. Apa, pungli? Jangan ngawur. Nggak ada itu yang namanya pungli. Namanya adalah “aksi pungutan yang tidak ada dalam rencana kerja”. Tolong dicatat baik-baik.
Pembangunan infrastruktur yang terintegrasi bisa bikin pungli hilang. Sungguh Presiden yang nggak peka.
5. Pembatalan remisi pembunuh wartawan.
Beberapa minggu terakhir, Indonesia sangat ramai dengan aksi menolak remisi dari Presiden untuk I Nyoman Susrama, terpidana pembunuh jurnalis Radar Bali (Jawa Pos Group) AA Gde Bagus Narendra Prabangsa pada 2009 lalu.
Jokowi mendengar protes keras tersebut dan akhirnya membatalkan remisi yang sudah diberikan. Sontak, keputusan ini diapresiasi. Ini dianggap sebagai prestasi Jokowi di bidang kebebasan pers. Bahkan, Pakde dapat penghargaan di Hari Pers Nasional yang lalu.
Namun, prestasi Jokowi ini menulai masalah. Pemerintahan Jokowi dianggap tidak punya komunikasi yang baik di level antar-lembaga.
“Dalam memutuskan remisi, grasi, atau yang lainnya itu pemerintah kerap ‘kecolongan’. Ketika sudah ramai, baru direspons. Artinya memang tidak ada kajian atau dampak sosial, beserta nilai-nilai keadilan yang berlaku,” kata Ade Wahyudin, Direktur LBH Pers.
Hal serupa dinyatakan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati. Ia menilai, pemberian dan pencabutan remisi menandakan ada yang salah dari koordinasi pemerintah, mulai dari Kepala Lapas, Direktur Jenderal Lapas, hingga Menteri Hukum dan HAM.
“Kesalahan pembuatan keputusan tersebut menunjukkan orang di bawah presiden tidak bekerja dengan benar, dan semua orang sudah tahu,” ujar Asfin kepada reporter Tirto.
Poin terakhir ini kita agak bercanda. Masak serius terus dari poin pertama tadi. Sikap Jokowi ini juga menggambarkan bahwa sebagai pemimpin, beliau bisa ditekan oleh kekuatan besar. Masalah intinya adalah, Jokowi tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut ketika mendapati ide remisi dari bawahannya.
Remisi tidak akan jadi masalah ketika tidak diberikan sejak awal. Ini jelas tidak menggambarkan kepedulian pemerintah kepada kebebasan pers. Toh kalau memang peduli, sudah sejak lama kasus-kasus pembunuhan wartawan dikejar untuk diungkap. Inilah alasannya, Prabowo bisa menang di Pilpres 2019 nanti.