5 Cara Rakyat Indonesia Manfaatkan Baliho Caleg Usai Pemilu

5 Cara Rakyat Indonesia Manfaatkan Baliho Caleg Usai Pemilu

5 Cara Rakyat Indonesia Manfaatkan Baliho Caleg Usai Pemilu

MOJOK.CO – Usai masa kampanye, banner atau baliho caleg biasanya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh masyarakat yang sadar lingkungan sekaligus berpikir ekonomis.

Salah satu anugerah yang tak terhingga menjengkelkan bagi masyarakat usai Pileg atau Pilpres—salah satunya—adalah sampah-sampah baliho para caleg usai kampanye. Dimulai sejak masa tenang, perintilan-perintilan macam bendera, baliho, atau banner para politikus negeri ini bakal dikukuti satu demi satu.

Akan tetapi bukan rakyat Indonesia namanya, kalau hal beginian cuma mangkrak tak dimanfaatkan. Selain kesadaran masyarakat kita yang tinggi akan sampah-sampah visual non-organik, masyarakat Indonesia pandai memanfaatkan hal yang tadinya tak punya manfaat, jadi ada nilai gunanya.

Sebuah ciri khas yang harus dipertahankan negeri ini. Hal yang jadi bukti bahwa masyarakat kita memang sangat adaptif dalam mengais segala macam sampah dari (calon) elite di negeri ini. Benar-benar warbiyasa kreatifnya. Maklum sih tapi, kita kan kismin.

Dan berikut adalah lima cara masyarakat memanfaatkan sisa-sisa sampah baliho atau banner kampanye para caleg.

Tenda angkringan

Selain itu, baliho atau banner kampanye caleg juga wajar digunakan untuk tenda angkringan. Apalagi kalau banner yang dipakai merupakan menggunakan bahan kelas wahid. Tinggal dipotong sesuai kebutuhan, lalu diikatkan dengan bambu, jadi deh tenda angkringan.

Meski begitu, jika pemilik angkringan merasa takut kalau dibilang oknum yang melakukan “politisasi angkringan”, maka biasanya si pemilik punya inovasi menarik yang bisa dilakukan. Seperti wajah-wajah caleg ditiban pakai cat biar nggak kelihatan, atau meletakkan sisi banner yang berwarna putih polos sebagai muka dan sisi yang berisi jargon-jargon kampanye di dalam.

Tenang, ketika makan nasi kucing atau menikmati gorengan di dalam angkirngan, perasaan kayak berada di “rumah pemenangan” tim kampanye yang isinya orang-orang galak semua nggak akan muncul kok. Kecuali kalau situ niat mau ngutang sih.

Alas meja warung makan

Karena berbahan dasar plastik, banner juga jadi bahan yang sempurna untuk melapisi meja warung makan. Jadi pemandangan lumrah kalau meja di warung makan selalu kena tumpahan soto, sop, rawon, spaghetti, atau kaviar—misalnya.

Ketimbang selalu kesulitan membersihkan meja warung makan, pemilik warung biasanya cukup kreatif memanfaatkan spanduk banner sisa kampanye untuk jadi cover meja.

Masalah mungkin bakal muncul kalau pengunjung makan dan disuguhi wajah-wajah caleg di meja yang kita tahu tak pernah menepati janji-janjinya atau pernah kena skandal korupsi. Selera makan melayang, pelanggan mblayang.

Alas kolam lele

Biasanya, baliho atau banner bekas kampanye caleg berukuran raksasa akan banyak diburu oleh peternak-peternak lele. Alasannya sederhana, banner itu bisa dipakai untuk jadi alas kolam ternak lele. Namun tentu jenis banner yang dipakai benar-benar yang nggak tembus air, bukan yang udah dilubang-lubangi.

Ada banyak manfaat yang bisa diambil bagi peternak lele yang mau memakai bekas banner atau baliho kampanye caleg, konon sih lele yang diternakkan jauh lebih agresif dan beringas. Bahkan kadang jadi kanibal segala.

Entah itu efek karena gara-gara melihat wajah di balihonya atau memang sifat dasar pendukungnya lele sih.

Buat latihan nggambar

Salah satu kebiasaan warga negara Indonesia yang aneh dan entah kenapa sulit dihilangkan adalah demen mencorat-coret (entah dengan spidol atau pena) wajah-wajah manusia kalau lagi nganggur todemax.

Entah itu di muka halaman majalah bekas, koran, atau—ini yang biasanya terjadi—foto-foto model di cover buku Teka-teki Silang (TTS).

Secantik-cantiknya model yang sedang pose di cover itu, tiba-tiba saja akan muncul alis tambahan, kumis, kacamata hitam, tahi lalat, tompel, atau bahkan dicorat-coret dengan gambar-gambar perangkat elektronik lalu dikasih judul: Iron Man.

Nah, kebiasaan unfaedah tapi menyenangkan ini pun tak luput dilakukan ketika masyarakat menemukan banner atau baliho bekas kampanye caleg.

Kalau keadaan lagi selo dan nganggur, tak jarang ada saja tangan-tangan usil yang memberi tambahan corat-coret. Misalnya, wajah Ferdinand Hutaean, Fadli Zon, atau Adian Napitupulu mendadak jadi punya kumis, pakai topi koboi dan sebagainya.

Lucu juga nggak padahal, tapi ya enak aja ngegambarnya. Semacam jadi tim make up para caleg gitu. Ya kan kapan lagi bisa corat-coret para elite ya to?

Alas duduk

Sebuah pemandangan lumrah ketika ada hajatan nonton bola bareng oleh beberapa kelompok supporter, alas yang digunakan merupakan banner kampanye caleg. Ya wajar saja, biasanya banner kayak gini kan terbuat dari bahan yang sangat bagus (sangat bagus untuk jadi alas).

Cukup awet untuk digunakan bertahun-tahun dan lumayan tahan air. Bahkan, jadi pemandangan lumrah kalau ada pemuda-pemuda kampung yang memanfaatkan banner-banner kampanye ini dijadikan alas saat acara-acara kampung.

Malam 17 Agustus atau acara selametan misalnya. Sampai niat disimpan di gudang segala. Lalu lima tahun sekali bakal ada pembaruan banner kampanye alas duduk ini.

Lebih daripada itu, penggunaan alas ini sebenarnya juga menyimpan makna filosofi yang dalam. Yakni, sekalipun masyarakat sering dimanfaatkan oleh para caleg yang mengotori kampung mereka dengan berbagai spanduk banner, pada akhirnya tetap warga lah yang bisa “menduduki” wajah-wajah caleg itu ketika momen kampanye berakhir.

Apalagi kalau caleg itu jebul mengkhianati suara masyarakat pemilihnya, menduduki banner rasanya jadi jauh lebih nyaman. Ditambah ngentut pas di gambar mukanya. Wah, kayak ada manis-manisnya gitu deh.

Exit mobile version