MOJOK.CO – Amien Rais memberi ultimatum, kalau nanti menurutnya ada kecurangan dalam Pilpres 2019, jangan salahkan kubunya kalau ada perang politik lanjutan.
Amien Rais memang selalu luar biasa. Demi bangsa dan negara yang lebih baik, politisi senior PAN ini menyampaikan kalau bakalan ada “perang politik” jika Pilpres 2019 berjalan tanpa transparansi dan penuh kecurangan.
“Kalau sampai terbukti nanti ada kecurangan yang sistematik, kemudian masif, terukur, maka jangan pernah menyalahkan kalau kita akan melakukan aksi-aksi politik, bukan perang total ala Moeldoko, bukan, tapi kita perang politik,” kata Amien Rais.
Kekhawatiran ini memang ada benarnya juga. Ya namanya sebagai negarawan yang dicintai banyak rakyat, tentu Amien Rais ingin memastikan bahwa jalannya Pilpres 2019 harus bikin Jokowi kalah sesuai koridor.
Masih lekat dalam ingatan bagaimana tuduhan Pilpres curang sudah muncul sejak 2014 silam. Kala itu padahal sudah jelas-jelas Prabowo kayaknya bakal menang. Mana udah sujud syukur pula ya kan waktu diumumkan hasil quick count waktu itu?
Bahkan saat itu muncul istilah terstruktur, sistematis, dan masif untuk menggambarkan tuduhan kecurangan hasil pilpres kala itu. Bersilit-silit, eh, berjilid-jilid bukti pun sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi, tapi ternyata hasilnya nihil. Pemerintahan Indonesia pun jatuh ke tangan Jokowi.
Sebagai politisi senior, Amien Rais tentu tidak ingin Pilpres 2019 kali ini akan berjalan seperti pilpres lima tahun silam. Harus ada perubahan yang revolusioner. Dan perubahan itu tak bisa tidak harus berlandaskan pada tagar #2019GantiPresiden.
Sebenarnya, tanda-tanda Pilpres 2019 nanti berjalan curang bisa dengan mudah ditandai. Bahkan dengan mata telanjang, hati nurani, plus akal sehat Rocky Gerung. Cuma hal kayak beginian ya nggak mungkin bisa dipahami oleh cebong dengan IQ 200 sebaskom.
Nah, berikut ini beberapa tanda-tanda kecurangan yang sudah mulai tampak, Fellas.
1. Elektabilitas Jokowi lebih tinggi dari Prabowo
Mengingat janji-janji Jokowi yang nggak bisa dipenuhi semuanya selama 5 tahun masa kepemimpinannya, rasanya sangat mustahil sekali jika pemberitaan media menyebut Jokowi punya elektabilitas yang lebih tinggi dibandingkan Prabowo. Hm, mncrgknskl.
Padahal jelas lho, kebutuhan pokok jadi sulit dibeli belakangan ini. Buktinya, rakyat Indonesia saat ini jadi lebih suka pesan GoFood ketimbang ke pasar tradisional. Rakyat jadi lebih suka yang instan-instan gitu, nggak lagi suka masak, tapi cuma main tunyuk-tunyuk di layar hape. Ini tanda kebutuhan pokok jadi dikit yang beli.
Selain itu utang Indonesia juga makin banyak. Meski kemampuan membayar utangnya jauh lebih tinggi ketimbang periode presiden sebelum-sebelumnya, tapi kan yang penting utangnya dulu yang diitung.
Kalau ditanya balik, memang ada kah negara yang tidak menambah utang? Amerika, Cina, atau Inggris yang negara superpower aja juga selalu punya tambahan utang kok?
Lah, kenapa pula pakai patokan negara superpower? Kan Indonesia ini negara yang relijiyes. Tambah utang itu kan artinya menambah beban riba. Padahal jelas-jelas riba itu dilarang dalam agama. Ini kan jadi kedobel-dobel. Tambah utang iya, tambah haram iya. Hedeh, jahanam waiting for you, broder.
Naiknya elektabilitas Jokowi di berbagai lembaga survei ini juga tak masuk akal. Apalagi dengan keadaan yang makin tidak tenang ini. Demo di mana-mana, kriminal di-ulama-kan di mana-mana, sampai jalan tol yang dibangun tapi mahal, semuanya itu harusnya bikin elektabilitas petahana nyungsep.
Hayajelas hal beginian bikin Lord Amien Rais jadi tambah waswas dong.
2. Kampanye kubu Prabowo sering dimasalahkan
Tidak hanya sekali dua kali kampanye oposisi dimasalahkan. Hampir setiap kampanye dari Prabowo dan Sandi selalu diperkarakan. Dari urusan hukum sampai tafsir agama, selalu jadi riuh di media sosial.
Sejak Indonesia bubar 2030, tempe setipis ATM, puisi doa Neno Warisman, sampai kampanye ibuk-ibuk yang bilang kalau Jokowi menang azan bakalan nggak kedengaran dan LGBT bakalan makin marak. Semuanya dimasalahkan.
Hedeh, semua-semua-semuanya dari Prabowo kok dimasalahkan sih. Sukanya kok ya ngorek-ngorek kesalahan oposisi? Kayak nggak punya salah aja nih pemerintah.
Padahal kan soal ibu-ibu yang dituduh kampanye hitam itu Lord Fadli Zon udah bilang, “Itu kan pendapat pribadinya (ibu-ibu). Jadi saya kira itu bukan kampanye hitam. Itu pendapat pribadi dia yang ya mungkin perlu klarifikasi.”
Tuh, lihat, cuma pendapat pribadi aja urusannya pidana lho. Memang si ibu-ibu yang bilang kalau Jokowi menang azan dilarang dan LGBT makin marak itu nyebut negara Indonesia? Kan nggak. Nggak ada keterangan negaranya kok.
Siapa tahu si ibu-ibu itu sebenarnya mau bilang kalau azan bakalan nggak kedengaran lagi di Madagaskar kalau Jokowi menang. Apalagi kalau azannya dikumandangkan dari Monas. Coba mana salahnya kalau kayak begitu?
Hedeh, logika sederhana ambyar gini aja kelen nggak ngerti. Makanya, Lord Amien Rais pusing kalau rakyatnya begini semua. Apa-apa dari kubu Prabowo dianggap salaaah mulu.
3. Suara golput meningkat, tapi kok nggak nyantol ke Prabowo?
Nah, ini kecurigaan berikutnya. Makin banyaknya cebong yang sadar bahwa pilihannya memilih Jokowi salah, tapi kok akhirnya malah memilih golput itu hal yang aneh banget. Apalagi sampai milih Nurhadi-Aldo capres Nomor 10 dari jalur prestasi segala.
Hedeh, orang-orang yang golput ini memang kurang sempurna tercerahkannya sih. Masih ada setengah-setengah cebongnya gitu. Ibarat metamorphosis, ini baru keluar kakinya dikit, tapi tetap nggak mau jadi kampret. Kurang ajar emang makhluk hybrid atu ini. Sombong betul.
Kan harusnya kalau kecewa dengan Jokowi ya milihnya Prabowo dong. Ini kok malah jadi ilang nggak jelas dan jadi golput sih? Apa karena Prabowo dianggap nggak lebih baik dari Jokowi? Ya kan belum tahu Prabowo jadi presiden bakal bijimana, Malih. Belum pernah ini.
Ingat, yang nggak boleh coba-coba itu cuma berlaku buat anak, kalau buat Pilpres mah boleh coba-coba. Kasih kesempatan aja dulu. Kalau toh jebul jelek, ya tinggal kritik aja di medsos. Tapi ingat, jangan didemo.
Biar Pak Prabowo kalau jadi Presiden nanti bisa komentar, “Wah, saya kangen nih didemo.”