MOJOK.CO – Berawal dari kesaksiannya melihat sang Bibi dipegat lantaran tidak memiliki keturunan, sampai akhir hayatnya Maria Ulfah vokal menentang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Terutama, yang lahir dari ketimpangan dalam relasi perkawinan.
Pengalaman hidup, tak bisa dimungkiri telah melecut semangat Maria Ulfah untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dalam perkawinan.
Sebagaimana dicatat Ipong Jazimah dan Arifin S. Nugroho dalam Maria Ulfah, Menteri Perempuan Pertama Indonesia (2021), kala itu Maria Ulfah menyaksikan bibinya yang bernama Raden Ayu Soewenda “dipulangkan” ke rumah orang tua setelah diceraikan Bupati Pandeglang, Raden Tumenggung Hasan Kartadiningrat. Alasannya, karena Ayu Soewenda tidak memiliki keturunan.
“Nasib bibi saya itu tidak saya lupakan. Lebih-lebih ternyata setelah bekas suaminya kawin dua kali lagi, ia tidak juga mendapat keturunan,” ujar Maria Ulfah, seperti dicatat dalam buku biografinya tersebut.
“Mengapa kesalahan dilimpahkan kepada bibi saya? Mengapa bibi saya harus menderita?” gugatnya.
Nasib naas tak hanya dialami adik ayahnya tersebut. Bahkan, ketika Maria Ulfah mulai aktif di biro konsultasi perkawinan yang ia tangani, ada banyak cerita serupa yang ia temui.
Salah satunya, seperti yang ia tulis di esai berjudul “Habis Manis Sepah Dibuang” dalam majalah Isteri Indonesia (1939). Dalam tulisannya itu, Maria Ulfah bercerita tentang seorang perempuan yang tiba-tiba dicerai suaminya setelah 33 tahun menikah.
Ironisnya, saat si istri itu diceraikan, stigma selalu mengarah padanya. Ia dipandang gagal memikat perhatian suami, dianggap beban keluarga, aib, membawa malu, dan sebagainya. Padahal, menurut Maria Ulfah, kesalahan tak selamanya terletak pada sang perempuan.
Berangkat dari pengalaman-pengalaman getir ini, Maria Ulfah bertekad untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan dalam perkawinan. Sebagai lulusan hukum Universitas Leiden, ia percaya, bahwa jalan konstitusi melalui undang-undang adalah cara terbaik.
Wasit dalam pro-kontra poligami
Ihwal perkawinan sebagai masalah dasar perempuan, sebenarnya telah dibahas sejak Kongres Indonesia (KPI) pertama pada 22 Desember 1928. Sementara Maria Ulfah, mulai tercatat dalam kongres besar KPI II pada 1935 di Jakarta.
Mengutip Nur Janti dalam esainya berjudul “Membaca Ulang Masalah Perkawinan Lewat Perjuangan Maria Ulfah” yang dimuat di buku Yang Terlupakan dan Dilupakan (2021), saat KPI II berlangsung, terjadi perseteruan terkait poligami antara antara Ratna Sari dan Soewarni.
Sebagai informasi, Ratna Sari adalah perwakilan Persatuan Muslim Indonesia (Permi) yang pro poligami. Sementara Soewarni, adalah pimpinan Istri-Sedar, sebuah organisasi sayap kiri yang menolak praktik poligami. Bagi Istri-Sedar, poligami ibarat “racun dunia” bagi perempuan.
Dalam kongres ini, Ratna Sari berpidato dengan meledak-ledak, hingga bikin forum memanas. Suwarni tak mau kalah, ia juga melontarkan argumen bantahan untuk pidato Ratna Sari. Namun, setiap kali Suwarni berbicara, peserta laki-laki yang hadir berteriak “kukuruyuk” seperti ayam jago, yang bikin peserta kongres tertawa.
Suwarni menganggap sikap para laki-laki itu sebagai hinaan. Akhirnya, di penghujung pidato, ia memutuskan walk out yang bikin forum makin tegang. Namun, di tengah kegaduhan ini, Maria Ulfah hadir sebagai penengah. Ia mengusulkan agar saran Ratna Sari—yang meminta perempuan menerima poligami—untuk tidak dibahas.
“Lebih baik tidak dibahas lagi dan jangan ambil keputusan. Lagipula kalau kita ambil keputusan dan terjadi perpecahan, Belanda akan senang,” kata Maria Ulfah, seperti dikutip Nur Janti.
Biro Konsultasi Perkawinan
Sebagai gantinya, disepakatilah pembentukan Biro Konsultasi Perkawinan yang akan mempelajari hukum perkawinan Islam dan membantu kaum perempuan yang menemui kesulitan dalam perkawinan. Maria Ulfah, dengan latar belakang sebagai pakar hukum, ditunjuk menangani biro konsultasi ini.
Sebagai badan federasi berbagai organisasi perempuan di Indonesia, Kongres Perempuan Indonesia (KPI) tidak luput dari perdebatan, karena dianggap hanya membuat keputusan yang berpihak pada satu golongan. Seperti diketahui, Maria Ulfah adalah sosok yang dikenal menantang praktik poligami di Indonesia.
“Bagaimana mungkin perempuan Indonesia memenuhi harapan kita untuk mengasuh bangsa yang baru, jika laki-laki Indonesia tidak ingin melepaskan kedudukan mereka sebagai raja dalam perkawinan? Bebaskan kekuasaan itu,” gugat Maria Ulfah kala itu.
Namun, biar bagaimanapun, putusan KPI II dalam membentuk Biro Konsultasi Perkawinan menjadi langkah yang progresif dan efektif. Pada akhirnya, ada banyak perempuan yang masalahnya (dalam perkawinan) dapat tertangani.
Sengketa atas Ordonansi Perkawinan
Pada 1937, pergerakan perempuan kembali bersengketa, setelah pemerintah kolonial menawarkan rancangan Ordonansi Perkawinan. Menurut RUU ini, setiap pernikahan yang dilangsungkan menurut hukum Islam dapat didaftarkan pada kantor bupati, meskipun pendaftaran bersifat sukarela.
Konsekuensi dari ordonansi tersebut adalah pernikahan harus tunduk pada asas hukum perkawinan sipil barat, yakni monogami. Alhasil, RUU ini pun mengundang pro-kontra, utamanya bagi KPI.
“Secara pribadi, Maria Ulfah menyepakati rancangan ordonansi ini, karena sifatnya yang juga tidak memaksa. Tetapi untuk prinsip persatuan pergerakan, KPI tidak mengambil keputusan,” tulis Jazimah dan Nugroho.
Maria Ulfah, bersama aktivis KPI lain mencari jalan keluar. Alhasil, berdirilah Komite Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak-Anak Indonesia (KPKPAI). Pada 1938, KPI III memutuskan komite itu berubah nama menjadi Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPIP).
Badan ini berfungsi membantu kesulitan perempuan dalam perkawinan. Salah satunya menyusun ta’liq talak untuk menguatkan posisi perempuan dalam perkawinan, yang memungkinkan perempuan minta cerai apabila suami mengambil istri yang lain atau bila timbul perselisihan yang tidak dapat didamaikan.
Tak hanya itu, badan ini juga mengumpulkan bahan penyusunan RUU Perkawinan bagi umat Islam. Regulasi tersebut adalah gagasan Maria Ulfah, yang memandang pentingnya hukum perkawinan bagi orang Islam.
Menurutnya, warga Kristen Indonesia sudah memiliki Huwelyks ordonansi Voor Christen Indonesiers, sementara orang Tionghoa dan Eropa berlaku hukum perkawinan yang diatur dalam hukum sipil (bugerlijk wetboek).
Dengan dibantu Chailan Syamsu Datuk Tumenggung, ia mengajak gerakan perempuan untuk memikirkan formulasi hukum perkawinan yang dapat melindungi perempuan dari penyalahgunaan hukum agama untuk kepentingan laki-laki sehingga merugikan perempuan.
Kesetaraan gender dalam UU Perkawinan
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah menetapkan pendaftaran perkawinan, melarang perkawinan anak, dan menghukum perkawinan paksa. Namun, poligami masih diperbolehkan dan mudah dilakukan. Maria Ulfah, sudah pasti, sangat menolak aturan yang masih berlaku ini.
Puncak karier politik Maria Ulfah terjadi pada saat ia dipercaya Sutan Sjahrir untuk duduk sebagai Menteri Sosial dalam Kabinet Sjahrir II dan III. Dengan demikian, ia sah menjadi menteri perempuan pertama dalam sejarah Indonesia.
Pada waktu itu, hal krusial pertama yang harus diatasi adalah mengurus para tawanan perempuan dan anak-anak Belanda, yang ditawan di kamp-kamp Jepang. Selain itu, Maria Ulfah juga mengeluarkan Maklumat Kementerian Sosial tentang Hari Buruh Sedunia.
Melalui kedudukannya ini pula, Maria Ulfah juga makin vokal dalam memperjuangkan kepentingan perempuan. Salah satu yang paling diingat adalah tatkala ia mengkritik UU Perkawinan yang baru saja dikeluarkan kementerian agama saat itu.
Seperti dicatat Nur Janti, UU Perkawinan itu dipandang Maria Ulfah sebagai produk hukum yang “tidak adil terhadap kaum perempuan karena selalu dipersulit apabila ia minta cerai pada suaminya.” Sebaliknya, aturan itu memudahkan sang suami untuk menceraikan istrinya kapan saja.
Lantas, ia pun memimpin sebuah badan untuk memeriksa penggantian UU Perkawinan agar memberikan hak yang sama kepada suami atau istri untuk mengajukan perceraian. Alhasil, perjuangannya itu pun berbuah manis.
Dua dekade kemudian, pemerintah meloloskan UU Nomor 1 tahun 1974 Jo UU nomor 7 tahun 1989, yang memberikan hak yang sama kepada suami atau istri. Mulai saat itu, baik suami ataupun istri dapat mengajukan perceraian melalui sidang pengadilan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda