Kisah Simbah dan Cucunya di Dusun Wintaos: Dapatkah Pendidikan Komunitas dan Formal Berjalan Berdampingan?

pendidikan komunitas tergilas zaman

Ilustrasi pendidikan komunitas di Dusun Wintaos, Gunungkidul (Mojok.co).

MOJOK.CO – Ini merupakan kisah mengenai betapa berbedanya masa muda dua orang nenek dengan para cucunya. Wartinah dan Siyem beserta cucu-cucu mereka, hingga kini masih tinggal di kampung halaman; Dusun Wintaos, Gunungkidul, Yogyakarta. Namun, zaman bergerak, bentuk pendidikan pun berubah. Bagaimana cerita perubahan bentuk, fungsi, dan makna pendidikan yang dialami oleh orang-orang Wintaos?

Wartinah lahir di Wintaos pada 1950. Kesibukan anak-anak Wintaos era 50-60an adalah bermain dan negal (bekerja bertani di ladang), begitu pun Wartinah. Sejak kecil semua aktivitas bertani terampil dikerjakannya. Kala itu, semua orang di keluarganya bertani. Sambil bermain di ladang, Wartinah diperkenalkan dengan kerja-kerja tetanen (budi daya tani). Wartinah mengenyam sekolah formal hingga kelas 5 SD. Pasca tak sekolah, Wartinah bekerja penuh di ladang.

Sama halnya Siyem. Ia lahir di Wintaos pada 1955. “Saat kecilku, dulu, tidak ada kegiatan lain selain bekerja di ladang. Aku dulu bekerja gotong-royong bersama temanku… ”.  Awalnya Siyem dan teman-temannya hanya bermain di ladang. Selanjutnya, Bapak mengajak Siyem belajar negal,Nak, jangan hanya main, ayo bantu, rumputnya dibersihkan”.

Menginjak tahun ketiga di SD, suatu hari, pasca-Tragedi ‘65, ketika mereka berada di sekolah, Siyem dan kawan-kawan melihat langsung Pak Guru diangkut paksa oleh tentara dengan truk besar. Peristiwa itu membuat anak-anak takut dan tak mau lagi sekolah. Selanjutnya Siyem dan kawan-kawannya sepanjang hari bekerja di ladang.

Pendidikan tetanen di komunitas untuk bertahan hidup

Wartinah dan Siyem merupakan bagian dari generasi yang lahir dan dibesarkan ketika modernisasi belum menyentuh banyak sisi kehidupan di Wintaos, Gunungkidul. Pada masa itu pemenuhan air dan pangan menjadi masalah prioritas di tiap keluarga. Sementara itu, ruang hidup mereka di kawasan karst yang susah air, dianggap kurang produktif untuk produksi pangan.

Apalagi sebelum 1980-an, Gunungkidul belum memiliki infrastruktur transportasi dan komunikasi yang memadai sehingga Wintaos dan dusun-dusun di sekitarnya relatif terisolir. Mobilitas orang-orang Wintaos kala itu dengan berjalan kaki. Jalinan hubungan dengan orang luar desa pun terbatas. Dalam konteks tersebut, keterampilan memproduksi dan mengelola pangan menjadi penting dimiliki. Ini perkara bertahan hidup.

Generasi perintis dan beberapa generasi sebelum Wartinah dan Siyem telah merintis dan mengembangakan cara bertahan hidup melalui sistem pangan yang lebih mendukung keberdayaan mereka di alam karst. Sistem pangan tersebut berupa: 1) sistem produksi pangan di lahan kering; 2) sistem penyimpanan pangan; dan 3) sistem konsumsi dari hasil produksi.

Sistem pangan tersebut bukan secara kebetulan ditemukan, namun didapatkan dari proses niteni (observasi) pengalaman dan eksperimen berulang kali. Temuan tersebut kemudian diwariskan turun temurun sebagai pengetahuan lokal. Selanjutnya, generasi terdahulu mengajarkan pada generasi berikutnya tentang cara-cara bertahan hidup di alam karst melalui produksi dan penyimpanan pangan.

Terjaminnya pangan jadi prioritas di semua keluarga. Oleh karena itu sejak kecil, generasi Wartinah dan Siyem menghabiskan waktu bekerja di ladang. Belajar tetanen relevan bagi mereka, menyangkut keberlangsungan hidup. Praktiknya, proses belajar tetanen dilakukan berbasis keluarga dan komunitas. Sekolah, di masa itu, belum prioritas. Tidak sekolah, tidak mengancam hidup mereka. Namun jika tidak punya pengetahuan dan keterampilan terkait pangan, mereka terancam kelaparan dan mati.

Cucu Wartinah dan Siyem nyaris tak pernah negal

Asri, cucu Wartinah, kini duduk di kelas 2 SMK Jurusan Teknologi Komputer dan Jaringan. Ia dibesarkan di rumah yang sama dengan Wartinah, namun keduanya mengalami pengalaman masa kecil yang berbeda. Jika sejak kecil Wartinah terbiasa negal, Asri menghabiskan waktu belajar di sekolah, les, mengerjakan tugas, juga mengaji di masjid.

Berlawanan dengan Wartinah, Asri tak berminat dan nyaris tak pernah negal. Pulang sekolah atau di hari libur, ia sibuk bermain game online dan media sosial. Materi yang dipelajarinya di sekolah terkait komputer dan jaringan, menurutnya tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari di rumah.

Dalam angannya, apa yang dipelajarinya di sekolah jadi bekal supaya bisa mendapat pekerjaan di toko atau jasa reparasi komputer. Meski, diam-diam sebenarnya Asri tidak yakin kelak bisa bekerja di bidang yang dipelajarinya, mengingat nilai rapornya selalu ngepas.

Hampir serupa dengan kesibukan Edi dan Gatot. Mereka adalah cucu Siyem. Sejak usia empat tahun mereka telah masuk sekolah PAUD, TK, yang dilanjutkan dengan SD, SMP, dan SMA. Kini di SMA keduanya belajar di kelas IPA. Gatot bercerita, jika apa yang dipelajari di sekolah sangat berbeda dengan apa yang dialami di rumah. Ia bilang, sekolah mengajarkan ‘ilmu-ilmu tingkat tinggi’ yang tidak mungkin diketahui orang tuanya yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah menengah. Bahkan, ia sendiri pun sering merasa kurang paham dengan yang dipelajari di sekolah. Waktu Edi dan Gatot dipenuhi dengan aktivitas sekolah dan olahraga voli, sehingga sejauh ini nyaris tidak pernah ikut bekerja di ladang.

Jika tidak sekolah, dianggap tidak berpendidikan

Berbeda dengan apa yang dialami oleh nenek, kakek dan orang tuanya yang sebagian besar tak sekolah. Generasi masa kini dituntut untuk sekolah. Bagi masyarakat modern, sekolah dibutuhkan untuk bisa hidup di zaman modern. Jika tidak sekolah, dianggap tidak berpendidikan dan terbelakang.

Jika dilihat dari isi materi pembelajaran, sebagian besar materi ajar di sekolah kini tidak mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan upaya membangun keberdayaan atapun bertahan hidup di lingkungan setempat. Jarang sekali ada sekolah yang mengenalkan potensi lingkungan dan kebudayaan setempat yang bermanfaat bagi kehidupan pelajar.

Sekolah di era industrialisasi menjadi wahana untuk menyiapkan tenaga kerja yang dibutuhkan industri. Materi ajar disesuaikan untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut. Pada praktiknya, sekolah (termasuk di pedesaan) mengajak anak-anak membayangkan masa depan mereka sebagai buruh industri. Sekolah tidak relevan dengan kebudayaan namun relevan dengan industri.

Dari sisi para pelajar, mereka sadar jika apa yang dipelajari tidak relevan dengan realitas yang dihadapi sehari-hari. Bahkan, mereka sering merasa asing dengan kampungnya. Di tengah ketidakpahaman atas apa yang dipelajari di sekolah, mereka membayangkan jika ilmu tersebut dibutuhkan untuk bekerja di industri. Maka mereka pergi meninggalkan desa demi mencari peluang kerja yang bersedia menampungnya. Oleh karena itu, sering dikatakan sekolah (formal) mengajarkan ilmu pergi (dari desa/kampung asalnya).

Ketika makna pendidikan dipersempit menjadi sekolah (formal), artinya selain pendidikan formal, termasuk pendidikan komunitas (yang informal), tak lagi dianggap penting. Padahal kurikulum sekolah (formal) ditentukan oleh pemerintah, sehingga kurikulum menjadi terpusat, seragam, dan sulit kontekstual dengan beragamnya ruang hidup di Indonesia. Kurikulum tersebut seringkali kurang mengakomodasi kebutuhan di tingkat lokal, termasuk kebutuhan untuk menjadi relevan dengan kehidupan pelajar. Sebaliknya, pada praktiknya pendidikan komunitas memungkinkan relevan dengan kehidupan sehari-hari, di antaranya menjadi wahana belajar demi menguatkan keberdayaan di lingkungan setempat.

Sama-sama dibutuhkan, bisakah berjalan berdampingan?

Pada kondisi ideal, kehidupan di era modern kini seharusnya menempatkan sekolah (pendidikan formal) maupun pendidikan komunitas yang kontekstual (pendidikan informal) bisa berjalan beriringan. Karena dua-duanya sama-sama penting.

Sekolah formal dibutuhkan untuk menghadapi dunia modern. Sedangkan pendidikan komunitas dibutuhkan untuk menghadapi persoalan (sehari-hari) di komunitas. Realitanya seringkali yang terjadi tidak ideal. Pendidikan komunitas tanpa struktur, sedangkan sekolah dan negara berstruktur. Negara seringkali melakukan kontrol dan intervensi pada komunitas, sehingga komunitas tidak mampu menjalankan pendidikannya. Contohnya, kebijakan sekolah fullday di pedesaan yang menyita waktu, semakin mempersempit kesempatan bagi anak-anak petani berinteraksi dengan lahan.

Zaman mulai menenggelamkan pendidikan komunitas. Konsekuensinya, kesempatan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang kontekstual dengan situasi ruang hidupnya, makin kecil. Di sisi lain, realitanya hanya sebagian kecil orang yang bisa mengakses sekolah tinggi. Sebagian besar tidak mampu mengenyam pendidikan tinggi. Ketika mereka mengakses kerja-kerja industri, golongan ini akan terlempar pada level buruh terendah yang rentan penindasan.

Catatan penulis: Wartinah dan semua nama yang disebutkan di tulisan ini adalah nama samaran demi menjaga kenyamanan semua narasumber.

Penulis: Diah Widuretno
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Urip nDeso Melawan Warisan Orde Baru, dari Ladang hingga Meja Makan

 

 

 

 

Exit mobile version