Film Barbie: Isu Feminisme Dibalut Komedi, Tertawa di Luar Merenung di Dalam

Mayoritas penonton tidak menyangka pesan dalam film tersebut begitu dalam.

barbie mojok.co

Ilustrasi Barbie (Photo by Elena Mishlanova on Unsplash)

MOJOK.COFilm Barbie (2023) tidak hanya berhasil mengundang tawa para penonton. Film bergenre komedi itu menyisakan perenungan tidak berkesudahan bahkan setelah keluar dari gedung bioskop. 

[SPOILER WARNING]

Film Barbie menjadi film garapan sutradara perempuan tersukses sepanjang sejarah. Film yang disutradarai oleh Greta Gerwig itu mampu memecahkan box office di pekan pertama sejak pertama kali meluncur pada Rabu (19/7/2023). Barbie tercatat mengantongi pendapatan hingga USD 155 juta atau sekitar 23 triliun di pekan itu. 

Capaian-capaian yang bombastis tidak terlepas dari alur cerita Barbie mengejutkan penonton. Mayoritas penonton tidak menyangka pesan dalam film tersebut begitu dalam. Tentu saja alur cerita yang baik itu sejalan dengan biaya produksi dan pemasaran yang tidak sedikit.

Di balik film komedi berdurasi 1 jam 54 menit itu, Greta berupaya menyampaikan isu feminisme dengan ringan dan segar. Berkali-kali kalian akan tertawa, tapi sekaligus merenungkan bahwa apa yang kalian tertawakan itu sebenarnya begitu menyulitkan di kehidupan sehari-hari. 

Barbie syok masuk ke dunia nyata

Barbie Stereotipikal (Margot Robbie) panik ketika dirinya mengalami malfungsi dan menjadi tidak “sempurna”. Ia memikirkan tentang kematian, memiliki selulit di paha, dan kakinya tidak lagi berjinjit. Kondisi ini mendorongnya menemui Weird Barbie (Kate McKinnon) yang kemudian menyarankan Barbie Stereotipikal pergi ke dunia nyata dan menemui pemiliknya. 

Barbie dan Ken pun memulai petualangan komikal ke dunia nyata, dalam film ini di California. Walau sebenarnya, perlakuan yang Barbie terima di dunia nyata itu jauh dari kata menyenangkan. Ia mendapat tatapan secara tidak nyaman, mengalami cat calling, hingga direndahkan di kantor polisi. 

Barbie tau ada yang tidak beres dengan sikap orang-orang di dunia nyata terhadapnya, tapi ia tidak tahu namanya. Perasaan-perasaan itu baru dan tidak pernah ia alami di dunia asalnya, Barbieland, tempat di mana para Barbie hidup dengan tenang dan saling mendukung satu dengan yang lain.

Perasaan asing itu tidak tervalidasi oleh Ken yang merasa nyaman-nyaman saja dengan dunia nyata. Ia justru senang karena mendapat perhatian dan mengetahui bahwa laki-laki lebih mendominasi di dunia tersebut. 

Ken yang terpesona dengan patriarki

Bagian Ken (Ryan Gosling) berkenalan dan mempelajari patriarki dari dunia nyata tidak kalah menggelitik. Termasuk bagaimana Ken berusaha mengenalkan patriarki kepada para Ken yang lain di Barbieland. Greta Gerwig mampu menampilkan Ken yang terpesona dengan Patriarki secara kocak, lengkap dengan sindiran-sindiran keras. 

Salah satu scene menceritakan Ken ingin mendapat jabatan di sebuah kantor. Ken yang hanya bermodal identitas sebagai laki-laki gagal mendapat posisi karena tidak memiliki gelar apapun. Ia kemudian mengomentari bahwa kantor itu tidak menjalankan patriarki dengan baik. 

“Kami tetap menjalankannya, tetapi lebih pintar menyembunyikannya,” jawab laki-laki yang ia ajak obrol itu secara berbisik. Ken mengangguk mantap tanda memahami. Percakapan ini hanya satu dari banyak sindiran terhadap dunia nyata. 

Jajaran bos Mattel berisi laki-laki

Di dunia nyata, Barbie sempat menuju Mattel, perusahaan pencipta para barbie. Ia menemui para petinggi perusahaan dan mendapatkan fakta bahwa tidak ada satupun dari jajaran direksi itu adalah perempuan. Ini menimbulkan tanda tanya besar dalam benak Barbie. Bagaimana mungkin boneka Barbie yang lekat dengan simbol-simbol femininitas itu tidak memiliki perempuan dalam jajaran petinggi perusahaan.

CEO Mattel (Will Ferrell) kemudian mencari-cari alasan yang menggambarkan bahwa jajaran direksi itu peduli akan perempuan. Ia mengungkapkan, dalam sejarah perusahaan sempat ada perempuan-perempuan hebat yang menjabat. Walau tentu saja, jumlah itu sama sekali tidak sebanding dengan jumlah laki-laki yang menjabat selama ini.

Saking ingin mendapat pengakuan Barbie bahwa perusahaannya mendukung perempuan, CEO Mattel mulai mencari-cari alasan. Misalnya, dia adalah anak dari seorang ibu, keponakan dari seorang bibi, dan semua jajaran petinggi yang dalam cerita ini laki-laki menyukai perempuan. Alasan-alasan ngelantur itu tentu tidak bisa menggambarkan kepedulian Mattel terhadap perempuan.  

Bukankah potongan-potongan film Barbie di atas terasa tidak asing? Greta berhasil mengemas persoalan-persoalan yang muncul akibat ketidaksetaraan gender dengan komedi. Berhasil bikin tertawa sih, tapi dalam hati muncul perasaan-perasaan asing yang patut jadi renungan sepulang dari menonton bioskop. 

Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Sisi Gelap J. Robert Oppenheimer, Bapak Bom Atom yang Kisahnya Diangkat ke Layar Lebar

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

 

Exit mobile version