Jogja jadi tempat kelahiran beberapa perguruan pencak silat di Indonesia. Dua di antaranya yakni Tapak Suci dan Merpati Putih. Keduanya memiliki karakter khasnya tersendiri. Namun, sama-sama berkeyakinan untuk tidak menempuh kekerasan di jalanan.
Posisi strategis Jogja dalam khazanah pencak silat terlihat dari wilayahnya yang menjadi lokasi kongres pertama Ikatan Pencak Silat Indonesia pada 1950. Pada dekade 1960-an, lahir dua peguruan pencak silat ternama dari Jogja yakni Merpati Putih dan Tapak Suci.
Merpati Putih lahir pada 2 April 1963 di Jogja. Kehadirannya tak lepas dari sosok guru bernama Saring Hadi Purnomo yang menurunkan keilmuannya pada dua anaknya yakni Poerwoto Hadi Purnomo dan Budi Santoso.
Awalnya Merpati Putih merupakan ilmu beladiri yang berkembang di lingkungan keluarga. Setelah remsi berdiri sebagai sebuah perguruan, akhirnya ilmu ini terbuka untuk masyarakat umum pelajari.
Sementara itu, Tapak Suci Putera Muhammadiyah resmi berdiri pada 31 Juli 1963 di Kauman Jogja. Seni beladiri ini lahir dari gabungan tiga aliran yakni Perguruan Kauman, Seranoman, dan Kasegu.
Pilihan Merpati Puti tak pakai istilah pendekar
Merpati Putih mengedepankan perdamaian. Itulah yang ditegaskan Wuryantono (54), salah satu guru latihan Merpati Putih yang sudah lebih dari 30 tahun mendalami keilmuan bela diri tersebut.
Sikap welas asih merupakan karakter yang dikedepankan Sang Guru. Hal itu juga menjadi alasan mengapa nama depan perguruan ada kombinasi antara pencak silat dengan bela diri. Menurut Tomo, utamanya para anggota diajarkan untuk membela dirinya.
“Bukan untuk menjadi aggressor,” tegasnya saat ditemui Mojok.
Di tengah perkembangannya saat ini, Merpati Putih tidak mengenal gelar pendekar bagi para anggotanya. Menurut Tomo, ide tentang pendekar memang sempat tercetus namun masih dalam proses pematangan konsepsi.
“Karena idealisme kita sesuai dengan pesan Mas Bud, jadi pendekar itu jadi insan perguruan tanggap, tangguh, dan mumpuni. Kalau secara agama, betul-betul insan kamil, itu kan susah, secara tidak mudah di zaman sekarang,” pungkasnya.
Tapak Suci yang tinggalkan tenaga dalam
Selanjutnya, Tapak Suci juga memiliki keunikan. Salah satunya mengenai cerita untuk meninggalkan keilmuan tenaga dalam.
Pendekar besar TS, Barie Irsyad, pada acara sarasehan di Bina Manggala 1991 silam pernah menyampaikan bahwa perguruan ini menganut aliran rasional. Setiap geraknya memanfaatkan kemampuan akal dengan memfungsikan kegunaan fisik beserta perangkatnya secara optimal.
Saat bertemu dengan salah satu pelatih Tapak Suci, Bowo Saputro, dijelaskan bahwa sebenarnya para pendiri TS juga mulanya menganut ilmu-ilmu kanuragan. Ada nama seperti Ahmad Dimyati dan Muhammad Wahin yang mulanya mengembangkan cikal-bakal perguruan tersebut.
Dua sosok tersebut berguru pada sosok pendekar beraliran Banjaran dari Banjarnegara. Setelah itu keduanya juga sempat berkelana ke berbagai tempat untuk menimba dan menguji keilmuan beladiri.
“Ada singgungan dengan beragam hal ya termasuk hal-hal semacam tenaga dalam itu,” papar Bowo.
Kendati begitu, setelah pulang ke Jogja dan mendirikan perguruan Cikauman. Ilmu-ilmu itu mulai mereka tinggalkan. Sehingga ketika TS lahir pun sudah tidak menggunakannya sama sekali.
Baca halaman selanjutnya…
Tanpa tenaga dalam dan ketiadaan pendekar tidak jadi penghalang ketangkasan, tapi tetap damai