5 Kebiasaan Santri yang Bikin Penyakit Gampang Menular di Pondok Pesantren

MOJOK.COKenapa Pondok Pesantren merupakan habitat sempurna untuk persebaran penyakit? Ternyata ada lima kebiasaan santri yang membuat hal kayak begini bisa awet kayak formalin.

Baca judul di atas saya tahu apa yang kamu pikirkan. Yaelah, ya iya dong penyakit gampang menular. Lha wong wilayah kayak gettho Yahudi jaman Nazi Jerman gitu. Populasi padat dalam area yang nggak proposional, tentu penyakit gampang menular dong, bijimana seh?

Iya deh iya. Tapi tahu nggak kalau hal semacam itu bukan satu-satunya faktor yang bikin penyakit santri bisa berkembang dan menyebar secara terstruktur, sistematis, dan masif. Ada beberapa sebab spesifik yang membuat penyakit di Pesantren efeknya seperti virus zombie dalam film World War Z—karena saking cepetnya menginfeksi.

Apalagi ada semacam strata penyakit. Kalau cuma kapalan, panuan, mah itu penyakit receh saja. Gudik, udunan, herpes, sampai mata belekan, adalah penyakit-penyakit kelas menengah dan diam-diam bikin si santri merasa senang. Lha kok bisa senang? Ya iya dong, sekolah sama ngajinya bisa libur untuk sementara waktu.

Ketimbang berhenti pada kesimpulan bahwa populasi manusia dalam satu tempat merupakan jalur penyakit gampang menular, sebenarnya ada detail-detail kecil yang bikin semakin masif penyakit menyebar dan sulit ditangani karena beberapa kebiasaan santri seperti berikut ini:

Kena Penyakit Malah Jadi Tanda Santri Kaffah

Ini umum terjadi. Dalam minggu-minggu pertama seorang santri masuk ke pondok pesantren. Penyakit gudik merupakan salah satu stempel non-formal sah atau tidaknya seorang santri disebut santri beneran. Malah kadang ada santri yang bertahun-tahun di Pesantren tidak kena gudik sering kali merasa jiwanya hampa.

Apalagi muncul celetukan-celetukan dari seniornya, “Idih, belum pernah gudiken ya? Wah, kamu belum jadi santri betulan tuh.”

Celetukan bikin perasaan jadi merana, karena seolah-olah kesantriannya dipertanyakan meski sudah hafal kitab Alfiah seribu nazam, khatam AtTadzhib, sampai Ihya’ Ulumuddin. Ada kehampaan di jiwa terdalam. Seolah-olah penyakit-penyakit ini malah jadi tren kontemporer.

Padahal asal tahu aja, sebenarnya celetukan seperti itu cuma perasaan iri aja sih. “Bedebah, ini bocah dari awal masuk sampai lulus nggak kena gudik, udun, sampai herpes. Ledekin aja ah. Biar menulari diri sendiri.”

Tidur Barengan

Beberapa pesantren memang ada yang sudah menyediakan kasur untuk tiap santri. Fasilitas yang manusiawi. Biasanya pesantren yang sudah punya fasilitas seperti itu merupakan pesantren modern dan biaya SPP-nya mahal.

Meski begitu ada lebih banyak pesantren yang tidak menyediakan fasilitas semewah itu. Kebanyakan santri bahkan tidur menggunakan karpet saja sudah merasakan secuil kenikmatan surgawi, dapat tiker tipis merasa ada di hotel berbintang, bahkan yang cuma tidur di atas sajadah saja sudah merasa seperti di rumah.

Oleh karena itu, ada pembeda jelas antara tidur barengan, dengan tidur pada jam bersamaan. Kalau di pesantren modern dengan fasilitas kasur per santri sendiri-sendiri, maka itu namanya bukan tidur barengan, melainkan tidur bersama pada waktu yang sama. Iya dong, kan tempatnya terpisah-pisah.

Nah, istilah tidur barengan baru bisa layak disematkan jika satu tiker ukuran 4 x 6 meter dipakai oleh 10 santri sampai mlungker-mlungker seperti cacing biar dapat tempat. Ada yang kena cuma pantat doang, kepala doang, bahkan ada yang kena jari telunjuk doang (menggugurkan kewajiban).

Pada situasi tumpang tindih demikian, maka tentu segala macam penyakit akan hijrah dari satu inang ke inang lain dengan cepat. Jangankan penyakit, lha wong kutu rambut saja bisa berhijrah membawa satu bani keluarga untuk pindah dari satu kepala ke kepala yang lain hanya dalam tempo satu malam kok. Dan itu semua terjadi tanpa perlu naik buraq.

Celana Dalem Nggak Cuma Side A dan Side B

Dalam tulisan saya sebelumnya, saya sudah pernah sebutkan bahwa salah satu penyakit paling menganggu bagi kalangan santri adalah rasa gatal di selangkangan. Nah, selain sebab-sebab di atas, sebenarnya hal ini bisa terjadi karena sempak alias celana dalam seorang santri minimal baru diganti jika sudah berlangsung selama empat hari. Ebuset.

Memangnya tidak risih ya? Eit, tunggu dulu, santri punya trik khususnya.

Jika anak kos-kosan mahasiswa terbiasa mengenal logika sempak hanya Side A dan Side B, maka seorang santri punya Side C sampai Side D. Jika Side A dan Side B cuma membalik yang tadinya di dalem jadi di luar, Side C dan Side D adalah membalik yang tadinya depan ke belakang. Kalau diibaratkan loyang penggorengan, semua ini dilakukan biar kotornya, eh, matangnya sempurna.

Canggih ya? Canggih, ndasmu.

Bak Mandi Kadang Bisa Jadi Kolam Renang Dadakan

Dalam pesantren, model arsitektur kamar mandi—lumrahnya—merupakan bak mandi panjang yang diselingi bilik-bilik kecil. Desain semacam ini merupakan upaya agar jumlah kuota dua qullah bisa terpenuhi dan air di bak mandi tidak mudah jadi air yang mutanajis karena volumenya yang luar biasa besar.

Dengan demikian, mau kamu jebur-jeburan di dalam bak tersebut, air dalam bak tersebut tidak mudah jadi najis.

Masalahnya, sering kali ada saja santri iseng (biasanya santri yang masih anak-anak) suka berenang dari satu bilik ke bilik lain kamar mandi. Hal yang semakin mudah menyebarkan penyakit, karena air adalah salah satu konduktor sempurna untuk bakteri.

Pakaian Ganti-Gantian

Menjadi seorang santri, apalagi di pesantren tradisional membuat kita kehilangan hak kepemilikan pribadi. Semua barang di dalam kamar adalah milik semua orang. Dari buku, peci, sandal, sepatu,, sarung, kemeja, bahkan seragam sekolah.

Hal ini terjadi karena mencuci adalah peristiwa sakral yang belum tentu bisa kamu lakukan setiap saat. Ya asal kamu tahu aja, kadang jumlah pancuran untuk nyuci begitu penuh saat hari libur sehingga membuat daftar panjangnya antre nyuci melebihi antre sembako murah. Ketimbang antre nyuci, beberapa santri mengandalkan pakaian temannya yang belum kotor-kotor amat.

Itulah yang bikin pakaian sering berganti-ganti kepemilikan. Tergantung pada siapa cepat dia dapat. Maka akan jadi pemandangan lumrah ketika kamu memakai pakaianmu sendiri dan ditegur oleh orang lain, “Eh, kamu pakai punya siapa itu baju?”

Puadahal itu jelas-jelas pakaianmu sendiri. Hal ini menandakan bahwa pakaianmu itu lebih sering dipakai oleh temenmu ketimbang kamu sendiri.

Kombinasi antara baju yang lama tidak dicuci dan dikenakan dengan aroma keringat berbeda-beda inilah yang membuat bakteri jahat dapat berkembang sempurna, penuh gizi, sampai akhirnya koit sendiri karena nggak tahan sama arena jajahan kulit yang beda-beda—lalu digantikan bakteri yang lebih kuat.

Benar-benar ramah lingkungan bakteri ya? Puff, untung aja yang nulis ini udah alumni.

Exit mobile version