Beberapa tahun lalu ketika masih sering pergi ke Jakarta, saya punya hotel langganan. Hotel itu memang agak mahal untuk ukuran kantong saya. Tapi saya butuh kenyamanan karena mesti bekerja.
Rata-rata saya menginap di hotel itu antara 5 sampai 10 hari dalam sebulan. Ada beberapa alasan kenapa saya memilih hotel tersebut.
Pertama, letaknya strategis. Selama di Jakarta, saya mesti pergi ke kantor di mana saya dikontrak kerja sebagai konsultannya, dan saya mesti pergi ke kantor lain yang juga sedang membutuhkan tenaga saya. Letak hotel itu nyaris persis berada di tengah kedua kantor tersebut.
Kedua, walau lumayan mahal, tapi kamarnya boleh untuk merokok dan agak luas. Sehingga kalau ada teman dekat datang, kami tak perlu ngobrol di lobi hotel yang sempit atau di restonya yang jam 24.00 sudah tutup itu.
Ketiga, makanan hotel itu enak sekali. Terutama untuk menu sup iganya. Memang harganya saat itu juga cukup mahal, berkisar 80 ribu per mangkuk. Tapi kalau saya bekerja cukup keras bolehlah menghadiahi diri dengan makanan agak mahal ini. Makanan ini juga selalu saya santap jika kedatangan tamu seorang atau dua orang kawan.
Keempat, persis di depan hotel ini, ada sebuah kedai kopi tua yang cukup luas, kopinya enak, penganannya enak, boleh merokok, dan harga makanan dan minumannya cukup murah untuk sebuah kedai di Jakarta. Asyik.
Maka tak jarang jika sedang tak ada kegiatan, saya mengundang ngobrol teman-teman saya di sana. Kadang dari pagi sampai malam. Teman-teman berdatangan. Serombongan teman datang lalu digantikan serombongan yang lain. Begitu terus. Silaturahmi bagi saya adalah hal yang penting.
Sebetulnya pokok cerita saya ada di kedai itu. Saya sangat menikmati suasana di kedai itu. Ramai. Penuh tawa. Orang yang datang beragam. Tapi tidak saling mengganggu. Pemiliknya, atau mungkin pengurusnya, seorang laki-laki tua yang kadang mengenakan tongkat. Rokok tak pernah berhenti terselip di jarinya.
Seorang kawan saya, almarhum Pemuda Arie, begitu saya ajak ngopi di sana langsung tertawa. Kenapa, tanya saya.
Menurutnya, tempat itu adalah tempat nongkrongnya broker politik, pencari proyek politik, dan aktivis kedaluwarsa. Saya pun terheran-heran. Semenjak itu, saya jadi punya agenda ‘jahat’ jika ke sana, yakni nguping obrolan orang.
Sebetulnya itu usaha yang boleh dibilang tak perlu keras benar, sebab rata-rata orang-orang bicara dengan suara keras seakan semua orang ingin suaranya didengarkan oleh seluruh ruangan.
Saat itu pemerintahan SBY sedang berkuasa. Yang saya merasa aneh, di satu meja berkumpul para pengkritik SBY tapi di meja sebelahnya adalah para pembela SBY. Dan di antara mereka tidak ada yang bersitegang. Apalagi berantem. “Ya ngapain berantem, mereka kan sama-sama tahu kalau sedang sama-sama cari makan…” komentar almarhum Pemuda Arie menanggapi keheranan saya.
Dari sekian orang kawan saya yang tahu kedai kopi itu, hanya Almarhum-lah yang bisa melukiskan dengan pas tentang kedai kopi itu.
“Kalau pagi,” katanya, “Orang-orang yang datang mengkritik SBY dan memuji SBY. Sementara kalau siang, obrolan berpindah ke kementerian dan elit politik.”
Elit politik yang dimaksud bisa siapa saja. Yang terkenal maupun yang tidak terkenal. Yang baik versi mereka maupun yang dianggap bajingan.
“Lalu mereka mulai ngobrol soal proyek,” lanjut Almarhum, “Mereka akan ngomong proyek-proyek seharga miliaran rupiah. Jika sore datang, nilai proyek turun jadi ratusan juta rupiah…
“Habis Magrib, turun lagi tinggal puluhan juta rupiah. Habis Isya’ turun lagi tinggal jutaan…
“Nah ini yang menarik, Kawan Puthut,” kata Almarhum, “Begitu jam 10 atau 11 malam, orang-orang mulai pulang satu persatu sambil saling berseru: Tolong bayarin dulu ya, aku kopi 3 dan roti bakar 2!” Saya langsung ngakak mendengar itu.
“Nah, orang yang terakhir di kedai itulah yang membayar semua omong kosong teman-temannya di sepanjang hari. Jadi, yang sedang punya uang harus tahu diri dan merelakan diri terakhir kali pulang.”
Saya masih gumun dengan apa yang diceritakan oleh almarhum kawan saya itu. Saya kemudian mengamati benar apa yang terjadi di sana. Dan memang benar. Mau dari pihak pembela SBY kek, pengkritik SBY kek, orang yang tertinggal terakhir di sanalah yang membayarnya. Muka-muka mereka lencu saat harus mengeluarkan uang untuk membayar semua omong kosong yang berbaur dengan tawa sepanjang hari.
Itu semua terjadi mungkin sudah belasan tahun, sejak Habibie menjadi Presiden.
Ketika saya kemudian memutuskan pensiun dini, saya menyetop terlebih dulu pekerjaan saya di Jakarta. Yogya makin macet. Apalagi Jakarta. Saya termasuk orang yang punya toleransi rendah pada kemacetan. Saya tidak lagi harus ke Jakarta 5 sampai 10 hari dalam sebulan.
Ketika sudah agak lama tak ke Jakarta, mungkin 5 atau 6 bulan, kebetulan saya harus ke Jakarta lagi. Saya memesan hotel langganan saya itu. Dan alangkah kecewanya, ketika saya dapati kedai kopi itu rubuh. Jujur saya sedih.
Tapi satpam di depan hotel, yang mengenal dengan baik diri saya, mengatakan bahwa kedai itu hanya pindah beberapa gedung saja bersebelahan dengan hotel. Saya ke sana. Ruangannya lebih sempit, tapi semua masih sama. Masih menyenangkan.
Ketika setahun kemudian saya mesti ke Jakarta lagi, menginap di hotel yang sama, kedai kopi itu lenyap lagi. Saya bertanya kepada satpam hotel, dan dia memberi petunjuk letak kedai kopi itu. Agak jauh dari hotel tapi masih masuk akal ditempuh dengan jalan kaki. Sesampai di sana, ruangannya makin sempit. Tapi makin bersih. Hanya sudah tak ada lagi obrolan omong kosong soal politik dan proyek-proyeknya. Orang-orang itu sudah lenyap digantikan anak-anak muda yang rapi dan wangi.
Saya makin malas ke Jakarta. Saya suka mendengar orang berbual-bual. Tertawa cekakakan. Menghirup kopi dengan nikmat. Menyedot rokok dalam-dalam. Lalu ada asap keluar dari mulut ketika mereka bicara. Itu indah sekali.