Ketika Amien Rais bilang bahwa program Pemerintah soal bagi-bagi tanah dianggap ngibul, lalu Luhut Binsar Panjaitan merespons dengan akan membongkar dosa masa lalu Amien Rais, Fahri Hamzah menanggap polemik itu dengan menyatakan bahwa Pemerintah tidak perlu marah jika ada yang mengkritik.
Dalil umum Fahri sebetulnya tepat. Dia menegaskan berkali-kali kalau Pemerintah memang layak dikritik. Bukan dipuji. Terlebih misalnya, orang yang posisinya seperti dia yakni selain sebagai anggota parlemen juga bagian dari pihak oposisi.
Salah satu tugas parlemen adalah mengawasi jalannya pemerintahan. Jelas sekali. Dan tugas partai oposisi adalah mengkritik pemerintah. Itu juga jelas sekali.
Dalil umum kritik itu juga gamblang. Dalam kekaryaan, orang yang berkarya yang layak dapat kritik. Kalau Anda seniman atau sastrawan, hanya Anda yang berkarya sajalah, yang dalam konteks keilmuan, bisa dikritik. Kalau Anda menerbitkan novel, maka itu artinya Anda harus siap dikritik. Kalau Anda perupa yang sedang pameran, Anda layak dikritik. Kalau Anda mengaku sastrawan tapi tidak mengeluarkan karya, ya tidak dikritik. Paling dinyinyiri: pujangga tak berkarya.
Jadi kritik itu sendiri dalam kategori keilmuan, tidak ada tendensi negatif atau positif. Sebab kalau kita ikuti kaidah ‘kritik karya’ bukan selalu menilai dalam makna negatif.
Nah, parlemen juga begitu. Para anggota parlemen mengkritik Pemerintah, selain itu tugas mereka, juga tidak harus dimaknai negatif. Karena kritik itu masih dalam domain ikhtiar untuk membantu jalannya Pemerintah supaya lebih baik.
Kenapa Pemerintah yang layak dikritik? Karena Pemerintah adalah penguasa. Dia punya kuasa eksekutif. Dan dia punya aparat penyelenggara kekuasaan. Maka wajar jika pemerintah dikritik. Kalau jalannya pemerintahan baik, didukung. Kalau jalannya mencong, dikritik, diluruskan.
Hal itu pula yang bisa menjelaskan bahwa demokrasi akan sehat jika ada oposisi. Maka di titik inilah, Fahri Hamzah tepat: dia oposan, tugas dia salah satunya mengkritik. Terlebih dia anggota parlemen. Maka benar pula apa yang dia bilang: Pemerintah tidak perlu marah-marah. Kalau kritik itu keliru, tugas Pemerintah menjelaskan. Bukan marah-marah.
Sekarang masuk ke pembahasan yang lain. Fahri Hamzah adalah pejabat publik. Dia adalah penyelenggara negara. Sebagaimana kita pelajari waktu berada di sekolah dasar, penyelenggara negara atau pejabat negara itu meliputi: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam konteks ini, Fahri pun layak dikritik. Siapa yang mengkritik? Siapa saja. Termasuk kita sebagai rakyat. Dia merupakan pejabat negara, digaji negara, diberi mandat oleh rakyat, kalau tidak dikritik bisa berbahaya. Sejauh ini saya lihat, Fahri Hamzah termasuk orang yang tidak antikritik. Dia bahkan sering mengajak debat terbuka kepada siapa saja yang mengkritiknya. Itu kan hal yang baik.
Sekarang soal posisi Amien Rais. Amien Rais setahu saya rakyat biasa. Dia bukan pejabat publik. Bahwa dia merupakan tokoh masyarakat, dulu pernah menjabat ketua MPR, tapi posisi dia sekarang ini adalah rakyat.
Maka dia boleh mengkritik. Punya hak untuk mengkritik. Sehingga benar kata Fahri, Pemerintah tidak perlu marah-marah.
Kalau kritik Amien Rais keliru, ya biar saja. Kan nanti sesama rakyat, publik, akan menilai apakah kritik Amien itu tepat, atau reaksioner, atau bodoh.
Demokrasi punya aturan main. Kalau parlemen, oposan, rakyat, masih mengkritik pemerintah, berarti demokrasi masih sehat. Bayangkan kalau parlemen dan pemerintah saling melindungi, saling bersekutu untuk mengisap dan menindas rakyat, itu mengerikan sekali. Dan hal seperti itu pernah terjadi di negeri kita ini. Belum lama. Baru 20 tahun lalu.