Smoking area Bandara Soekarno-Hatta. 18 September, pukul 10.00. Laki-laki di samping saya memakai batu yang sedang saya buru: Lumuik Sungai Dareh. Ia sontak panik ketika diumumkan bahwa penerbangan ke Pekanbaru ditunda dalam waktu yang tidak bisa ditentukan karena kabut asap. Televisi di ruang merokok ini kebetulan sedang mewartakan kabut asap di Sumatera Utara.
“Kuala Namo masih bisa terbang,” ungkap seseorang di seberang tempat duduk saya. Laki-laki bercincin di samping saya tampak lega. Dilihat dari raut wajahnya, usianya mungkin sekitar 50-an tahun. Ia meminjam korek api, kemudian terlibat obrolan, dengan orang di samping kanannya. Lalu menoleh ke kiri, ke arah saya.
“Adik ke mana?”
“Ke Jambi, Pak.”
“O, Jambi masih aman,” katanya sambil tetap menunjukkan rasa kesal.
Tapi saya tetap tidak tenang. Tahun 2003, selama setahun lebih saya trauma naik pesawat terbang gara-gara pesawat ke Jambi yang saya tumpangi hampir tidak bisa mendarat karena kabut asap.
Saya ceritakan kejadian tersebut.
“Di Pekanbaru parah, Dik. Hampir tiap tahun terjadi. Pengusaha-pengusaha sawit itu memang kurang ajar.”
Ia lalu berkisah. Untuk membuka lahan sawit, jika dilakukan secara benar maka membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bisa lebih dari setahun. Pengusaha-pengusaha itu lalu melakukan tindakan tolol dengan membakar hutan supaya proses pembersihan lahan mudah, cepat dan murah.
“Terus nanti yang disalahkan masyarakat. Yang buang puntung rokok-lah, yang ceroboh-lah. Padahal kan gampang diketahui, di satelit bisa langsung kita tahu lahan-lahan perkebunan mana dari perusahaan apa yang sedang terbakar.”
Ia tampak sedikit emosi. Lalu pinjam korek saya, dan menyulut rokoknya.
“Saya gak pernah ngerti ini maksud pemerintah apa. Begini terus! Mestinya tangkap satu, hukum dia, cabut izinnya, maka semua akan kapok. Kalau sudah begini, semua dirugikan.”
Saya melihat jam di tangan. Sebentar lagi boarding. Saya pamitan sembari meninggalkan korek. “Ini untuk Bapak,” ucap saya.
“O gak usah, Dik. Saya ada kok tapi di tas,” katanya sambil menunjuk tas di dekat pintu.
Segera saya meninggalkan smoking area, menuju ke tempat boarding dan bertanya ke petugas; Jambi masih on schedule? Dijawab masih.
Saya tetap tidak enak. Dan benar, tiba-tiba ada pengumuman, penerbangan ke Jambi ditunda untuk waktu yang belum diketahui karena alasan cuaca. Maksudnya pasti karena asap.
Semua gairah saya dari Yogyakarta untuk berburu kopi di Kerinci selama 8 hari langsung lenyap. Kesal. Juga takut.
Saya berdoa.