Suzuki Titan Sempurna berkat Knalpot Racing Purbalingga

Sebuah knalpot racing buatan Purbalingga menambal satu-satunya kekurangan Suzuki Titan.

Suzuki Titan Sempurna berkat Knalpot Racing Purbalingga

Ilustrasi Suzuki Titan (mojok.co/ega fansuri)

Teman-teman kerja yang baik hatinya itu membikin sebuah anekdot mengenai saya. Mereka bilang ada cara mudah bagi orang asing untuk menemukan saya di antara seratus ribu penduduk Kota Cepu. Pertama, duduklah di pinggir sembarang jalan, lebih bagus bila di dekat lampu merah. Kedua, pindailah semua pengendara motor bertubuh mungil dan berjilbab. Ketiga, jika sudah ketemu, pastikan motor yang ditungganginya adalah Suzuki Titan berkelir biru dengan knalpot racing.

Anekdot itu bikin saya mangkel, tapi kebenarannya tidak bisa disangkal. Cewek berjilbab memang ada banyak di Cepu, tapi populasi cewek penunggang Titan, apalagi berknalpot brum, amatlah langka. Sangat langka sampai-sampai saya layak dibuatkan suaka margasatwa.

***

Motor harian saya memang Suzuki Titan lansiran 2011. Seperti yang pernah saya ceritakan di tulisan ini, Titan 2011 bukanlah motor pertama saya, bukan juga yang terakhir. Namun, saya kadung jatuh hati dengan motor ini setelah Jupiter-Z membuktikan dirinya tak sanggup saya ajak hidup susah.

Singkatnya, setelah melego si ganteng yang suka rewel tersebut, keluarlah Titan dari pertapaannya untuk mengajarkan kepada dunia mengenai mesin Jepang yang sebenarnya. Ia seperti mengerti majikannya ini orang yang teledor merawat motor, ditambah dengan bangkrutnya bengkel resmi Suzuki di kota ini. Seumur-umur saya miliki, Suzuki Titan tersebut tak pernah merajuk.

Meski begitu, motor ini bukan tanpa kekurangan. Dibandingkan rival-rival sekelasnya, Titan punya knalpot yang lebih bapuk. Entah kenapa, ia gampang banget keropos. Ini mungkin ada hubungannya dengan idealisme khas Suzuki. Karena semua biaya produksi difokuskan pada mesin, perintilan lain kemudian dilupakan. Desainernya mungkin dibekali komputer yang hanya mampu membuka Microsoft Paint, sementara insinyur metalurginya cuma dibekali stok tutup Khong Guan.

Alhasil, dalam dua tahun pemakaian, knalpot Titan ini telah keropos di sana-sini, membuat tenaga mesin yang sudah kecil jadi tambah loyo. Suaranya pun menjengkelkan: ia tak lagi berbunyi putputputput, melainkan bopbopbopbop.

Saya hendak menggantinya dengan knalpot orisinal, tetapi empat ratus ribu hanya untuk silencer membuat saya mengurungkan niat. Pipa knalpotnya juga perlu diganti, dan saya mesti menyiapkan dana hampir delapan ratus ribu saat itu, nyaris separuh gaji sebulan.

“Ganti saja dengan knalpot aftermarket, lebih murah dan mantap,” saran Seto, satu-satunya mekanik bengkel Suzuki tempat saya bekerja, sembari mengacungkan jempol.

Saya menyerahkan tiga ratus ribu rupiah kepada Seto, dan lima hari kemudian uang tersebut berubah menjadi sebuntal paket. Kami membukanya saat jam makan siang, dan tampaklah mahakarya itu: sebuah knalpot Yoshimura, asli Purbalingga.

Seto pula yang memasang knalpot baru itu ke Suzuki Titan saya. Ketika dia sudah merampungkan tugasnya dan menyalakan mesin, apa yang saya dengar membuat saya paham mengapa jarang pensiunan polisi yang jadi seniman: mereka selama ini memusuhi suara estetis yang berseliweran di jalanan.

Dengarkanlah suara knalpot baru Titan saya itu. Brumbrumbrumbrum, begitulah bunyinya. Merdu dan nge-bass sekali, seolah ada Bondan Prakoso terjepit di silencer-nya. Ketika gasnya saya puntir lebih dalam, pekikan knalpot itu mirip suara tenor Christopher Abimanyu. Indah sekali.

Saya jatuh cinta kepada knalpot baru itu sejak dentuman pertama, dan sebagaimana kekasih yang sedang kasmaran, saya mengajaknya berkeliling kota sore itu juga, hanya untuk mendapati ujian perdana cinta kami: cegatan polisi.

Empat orang polisi berdiri di pertigaan jalan, tetapi sudah tak ada waktu bagi saya putar balik. Salah satu dari mereka menghampiri dengan ekspresi seseorang yang di kepalanya sibuk menyusun surat tilang.

Dia menghormat, saya malah bergidik ngeri. “Selamat sore, Mbak, bisa lihat SIM dan STNK-nya?” Tangan saya tremor ketika menyerahkan surat-surat itu kepadanya, dan dia menatap saya dan SIM bergantian dengan dahi berkerut. Walaupun foto saya pada SIM itu penuh jerawat dan berjilbab mencong, tapi itu benar-benar saya—salah petugas SIM-nya yang tak mengizinkan saya memakai koleksi foto selfie.

Tiga abad kemudian, atau begitulah yang saya rasakan saat itu, dia mengembalikan SIM dan STNK saya sebelum berkata, “Terima kasih, Mbak. Silakan melanjutkan perjalanan.” Saya berlalu secepat mungkin sebelum dia berubah pikiran.

Itulah inisiasi perdana cinta kami, dan lolosnya saya dari jerat tilang membuktikan bahwa ikatan saya dengan knalpot Suzuki Titan berkelir biru itu telah direstui semesta dan Korps Bhayangkara. Memang benar bahwa beberapa tetangga ultra-konservatif kerap mendelik tiap kali saya lewat, tapi setiap kisah asmara selalu butuh tokoh antagonisnya, bukan?

Saya tak pernah mengganti knalpot lagi sejak saat itu. Ketika saya menikah dan mesti pindah ke Cepu, motor Titan itu berada di urutan pertama dalam daftar barang yang saya boyong, dan sampai sekarang ia tetap menjadi tunggangan utama walau motor-motor yang lebih anyar datang menghuni garasi rumah.

***

Usia mengubah selera, atau gampangnya begitu. Saya tidak lagi muda. Tahun ini digit usia saya menjadi 32, sedangkan knalpot racing Titan itu bakal membleyer tujuh lilin ulang tahunnya. Kini saya rasakan suara knalpotnya tak seempuk di masa bulan madu kami. Masih nge-bass sih, tapi belakangan suaranya membuat saya penat, seolah saya dipaksa duduk di acara pensi untuk mendapati band bocah SMA yang kelewat antusias.

Saya juga kembali memikirkan anggapan orang-orang. Mereka berharap seorang pengajar yang berjilbab memancarkan aura kewibawaan dan intelektualitas. Di atas Titan dengan knalpot racing ini, konon saya lebih mirip joki balap.

Maka, keputusan saya sudah bulat: knalpot racing Titan itu harus diganti. Saya kini punya cukup uang untuk membeli knalpot aslinya. Andai knalpot asli Titan sangat langka sampai-sampai memaksa saya membuat rencana alternatif, saya masih punya cukup uang untuk memboyong Titan bekas, yang akan saya preteli knalpotnya sebelum saya kirim sisa motornya ke loakan.

Seharian penuh saya berselancar di Tokopedia demi mencari barang yang saya incar. Setelah menyetor sejumlah uang, datanglah barang yang saya tunggu itu empat hari kemudian.

Singkat cerita, kini Titan saya punya knalpot baru. Mereknya Akrapovic, asli Purbalingga.

BACA JUGA Dengan Modal Usaha 3 Juta, Kira-kira Kamu Bisa Bikin Bisnis Apa Saja? dan tulisan Mita Idhatul Khumaidah lainnya.

Penulis: Mita Idhatul Khumaidah
Editor: Prima Sulistya

Exit mobile version