MOJOK.CO – Toyota Rush Konde dan All New Toyota Rush ini harta sekaligus kenangan bagi saya akan bapak, yang saya ledekin terus di dalam tulisan ini. Hehe… love you, Pak.
Toyota Rush generasi pertama, atau yang sering dikenal orang dengan istilah Rush konde–karena ada ban serep yang digantung di belakang–hadir mengisi garasi rumah saya sejak 2010. Saat itu, bapak saya beli Toyota Rush tersebut dari hasil cairnya uang asuransi Toyota Avanza 2008 kami yang hilang digondol maling.
Toyota Rush Konde yang dibeli bapak itu seken, lahiran 2007, bekas dokter gigi. Ada yang lucu berkat mobil bekas ini. Jadi, di kaca depan, tertempel stiker PDGI. Jadi, kalau masuk rumah sakit, selalu dapat prioritas tempat parkir. Enak juga. Nggak perlu jalan jauh dari parkiran.
Rush bekas yang dibeli bapak ini warnanya hitam, tipe S (tipe yang menurut Toyota paling canggih), dan transmisi manual. Mobil ini termasuk “cap badak”.
Kenapa saya bilang begitu? Karena sudah tiga kali kami bawa pulang kampung ke Medan dan nggak pernah ngambek. Iya, sama sekali nggak pernah bermasalah. Padahal cukup sering dipakai bapak menerabas lubang di jalan. Belakangan baru saya tahu kalau bapak udah susah secara jeli mengamati lubang di jalan. Haduh, untung perjalanan mudik kami berjalan lancar. Hehe… maaf ya, Pak.
Berkat tongkrongan Toyota Rush Konde yang gagah, bapak pede ngebut di Lintas Sumatra macam orang yang kebelet boker. Adalah adik dan ibu saya yang jadi korban keganasan setiran bapak karena mereka berdua cuma bisa pasrah duduk di bangku tengah.
Harus saya akui, duduk di baris kedua Toyota Rush konde ini nggak enak. Masih lebih enak duduk di kursi tengah Toyota Avanza kami yang hilang digondol maling sialan itu. Selain karena bantingannya yang labil, malah terasa keras kalau muatan enteng, empuk kalau muatan berat, juga karena joknya itu empuk tapi keras.
Gimana ya menjelaskannya. Kamu pernah duduk di atas karung beras 20 kg? Nah kayak gitu rasanya. Nggak cuman itu, Toyota Rush konde kami sudah sering ngerasain brutalnya konblok Jalan Braga di Bandung, pernah mandi abu dari Gunung Merapi, sampai nyicipin pasir Pantai Anyer. Tahan banting betulan.
Selain menjadi “kereta kencana” bagi kami untuk pulang kampung dan liburan, Toyota Rush Konde ini juga jadi andalan bapak menghadapi kesemrawutan Jakarta ketika masih aktif bekerja.
Kebayang kan nyetir mobil manual di Jakarta? Untung koplingnya enteng, jadi betis bapak nggak gede sebelah. Masih aman, gedenya sama rata. Ya Allah, kok saya jadi ngatain bapak saya mulu ya? Ampun. Oya, mobil ini juga nggak gampang haus bensin. Pas banget sama dompet bapak yang agak dangkal dan nggak ada kartu kreditnya. Hehe….
Itulah sebabnya, kulit Toyota Rush Konde kami udah nggak mulus lagi. Namun, kami memutuskan nggak akan sering-sering memanjakan mobil ini dengan membuat jadi lebih cantik dari luar. Kecantikan paling sentosa itu kecantikan dari dalam diri. Hadah… hadah.
Nah, pada Juli 2020, bapak beli mobil lagi. Saya pikir bakal beli Toyota Avanza karena ingatan manisnya masa lalu itu. Namun, dugaan saya keliru. Bapak udah kadung jatuh hati sama Rush-nya Toyota.
Oleh sebab itu, bapak memilih beli All New Rush TRD Sportivo AT. Bagaimana bisa, bapak yang dompetnya yang tebel-tebel amat itu beli mobil seharga Rp260 juta lebih dikit itu? Ternyata beliau habis jual tanah dan dapat duit hampir satu miliar. Hoalah, pantas.
All New Toyota Rush yang bapak pilih berwarna putih. Katanya biar sepasang hitam dan putih, yin dan yang sama Rush Konde. Boleh juga pemikiran bapak.
Alasan yang agak susah dibantah itu sukses mematahkan usaha saya ketika membujuk bapak untuk beli Mazda CX-5 yang gantengnya kebangetan. Kim Soo-hyun, Song Joong-ki, apalagi Hyun Bin mah lewat gantengnya dibanding CX-5 Facelift.
Yah, apa daya, bapak juga yang punya duit, meskipun pada akhirnya, STNK All New Toyota Rush putih itu dibikin atas nama saya. Akhirnya saya juga yang bayar pajaknya Rp4 juta per tahun itu. Boleh juga ini strategi pak tua.
Nggak banyak yang bisa saya ceritain dari si Putih ini. Lha wong baru awal Juli 2021 kemarin itu saya bayar pajak tahunan utnuk kali pertama. Kilometernya baru 1600. Udah tiga kali servis, yang alhamdulillah masih gratis.
Petugas Service Advisor-nya sampe heran, “Mobil nggak pernah dipakai, Pak?”
Saya bilang, “Bapak saya yang beli, tapi nggak bisa pakai. Takut. moncongnya nggak keliatan sama Bapak saya soalnya.”
Yap, dari hari pertama sampai di rumah sampai tulisan saya ini tayang, belum pernah sekali pun jok supir All New Toyota Rush itu mencium pantat bapak saya. Selalu pantat saya yang dipangkunya. Nyala juga cuma seminggu sekali, cuma dipanasin-panasin doang. Untung ia nggak emosian dipanasin melulu. Bapak lebih milih nyetir si Rush Konde yang sudah setia mengabdi kepada keluarga kami selama 11 tahun terakhir. Bapak nggak kepikiran sama sekali buat menjualnya.
Lha nasib All New Toyota Rush gimana? Ya cuma jadi pajangan garasi sampai virus brengsek ini pergi supaya bisa nganterin kami pulang kampung dan jalan-jalan lagi.
Yah, bagi bapak, yang kemudian saya amini, punya mobil bukan sekadar for the sake of punya gitu. Gimana kita merawat dan teliti, gimana kita pandai menghargai apa yang kita punya itu penting banget buat kehidupan. Ketika akhirnya punya mobil baru, bukan pula untuk melupakan yang sudah berjasa, tapi mengajari saya untuk bersyukur. Toyota Rush Konde dan All New Toyota Rush ini harta sekaligus kenangan bagi saya akan bapak, yang saya ledekin terus di dalam tulisan ini. Hehe… love you, Pak.
BACA JUGA Rahasia di Balik Tangguhnya Mobil Toyota Avanza Mertua dan kisah asik bersama tunggangan lainnya di rubrik OTOMOJOK.