Nasib Nahas Toyota Corolla Altis di Tangan Saya

Toyota Corolla Altis bolehlah tidak sehits adiknya si Avanza dan segala jenis mobil berbodi kaleng Khong Guan lainnya. Tapi, siapa pun akan sepakat bahwa Altis lebih siap menjadi imam dalam hal keselamatan dan kenyamanan berkendara dibanding Avanza wa akhawatuha.

Bila dilihat menggunakan stratifikasi sosialnya Clifford Geertz (manusia merupakan susunan taraf-taraf, setiap taraf melapisi taraf-taraf di bawahnya dan mengalasi taraf-taraf di atasnya), Avanza jelas cuma keset bagi Corolla Altis.

Jangan diambil hati. Di atas langit masih ada langit kok. Di mata Koenigsegg Raffi Ahmad (33 miliar), Corolla Altis (450 juta) bahkan cuma debunya keset. Ya gimana, 1 Koenigsegg setara dengan Altis 74 biji. Lalu gimana dengan Avanza (180 juta) yang kesetnya debu keset? Bisa dapat 184 buah. Ckck.

Lupakan Koenigsegg setan itu, kita bahas Corolla Altis saja. Tapi, sebelum saya berkisah tentang Altis milik saya, saya ingin minta maaf dulu agar tak ada dendam antara kita. Terutama bila kisah ini membuat Anda yang sehari-hari mengemudikan Avanza wa akhawatuha merasa seperti sedotan Ale-Ale penyet yang habis digigiti Gus Mul.

Alkisah, di tahun 2008 saya pindah rumah dari wilayah Sleman ke daerah Bantul. Misi kepindahan ini tidak hanya terkait dengan kejengahan saya pada atmosfer sosial perumahan ngehek yang gue-gue elu-elu pret, tapi jelas bertalian dengan keyakinan hati saya untuk menjadi bupati Bantul 2025.

Namanya pindahan rumah dengan barang segaban, meski banyak orang yang membantu, tetap ruwetlah hari-hari saya selama seminggu itu.

Urusan posisi ranjang kayu yang beratnya melampaui beban pikiranmu perihal jodoh di usia yang telah matang di pohon saja bisa menelan waktu seharian lamanya. Kalau menghadap utara, kok kayak posisi orang mati. Kalau kaki selonjor ke utara, kok kayak nyikili para almarhum yang tentu sebagiannya adalah orang tua, kerabat, sahabat, dan guru-guru kita. Kalau menghadap ke barat, kok kayak membelakangi kiblat. Kalau selonjor ke barat, lah malah tidak hormat pada kiblat.

Itu sekadar satu contoh keruwetan pindahan rumah. Luar biasa menguras energi, fokus, dan waktu untuk berleha-leha sambil jalan-jalan sore bersama Corolla Altis silver yang makin jarang saya pakai semenjak kedatangan Toyota Innova generasi awal yang konsumsi bensinnya per liter hanya cukup untuk melewati tujuh tiang listrik.

Seminggu setelahnya, setelah agak longgar urusan menata rumah itu, saya menemukan sebuah kunci kontak lengkap dengan remote gantungnya di dekat tumpukan baju. Tertera emblem Toyota.

Ini kontak mobil yang mana ya? Gumam saya sendiri.

Karena tak kunjung mendapatkan jawaban, saya lalu tanya kepada istri. Jawabannya sangat memuaskan.

“Tidak tahu.”

Daripada saya menjejalkan baju-baju ke dalam tas lalu mencegat Sumber Kencono untuk mudik, saya melangkah ke garasi rumah yang bisa menampung tiga mobil dan sepuluh motor. Sombong lagi? Duh, jujur dituding sombong, bohong disebut munafik. Maunya apaaa?

Satu demi satu saya dekati tiga mobil yang bobok di garasi untuk dicocokkan dengan remote-nya. Tak satu pun mengangkat suara atau mengedipkan mata.

Kemudian saya memanggil sopir ke rumah, menyerahkan kontak kepadanya dan meminta ia ngecek di garasi kantor. “Barangkali ada yang cocok di sana sama kontak ini, But.”

Tak lama kemudian Ribut datang lagi ke rumah sambil menggelengkan kepala. “Tidak ada yang cocok, Pak.”

“Lha, terus kontak mobil apa ini? Ndak mungkin to kontak ini termasuk golongan jomblo, ndak ada pasangannya?”

Setelah dua atau tiga hari berusaha mengingatnya meski lebih kerap melupakannya, saya mendapat jawaban melalui salat istikharah. Gambar rumah lama!

Ya! Jangan-jangan ada mobil Toyota di rumah lama yang telah saya tinggalkan sepuluh harian itu.

Saya lalu meminta sopir berangkat ke rumah lama di Sleman sambil menyerahkan kontak Toyota itu. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di depan rumah yang baru. Corolla Altis silver!

Kondisinya sungguh menyedihkan. Buluk luar biasa bermandikan debu-debu. Maklum, rumah lama di Kecamatan Condongcatur itu hanya punya carport, bukan garasi. Niscaya debu-debu yang berseliweran begitu bebas menyetubuhinya selama saya tinggalkan.

“Tadi ada tetangga yang pesan gini, Pak,” kata sopir saya, “Mas, Mas, mbok kalau Altisnya ini ndak kepake, kasihkan saya saja. Karimun saya boleh sampean ambil deh.”

Saya menyeringai. Mungkin, kalau masa itu jalanan sudah riuh oleh Avanza wa akhawatuha kayak sekarang, mungkin kalimatnya akan jadi begini, “Mas, Mas, mbok kalau Altisnya ini ndak kepake, kasihkan saya saja. Avanza saya yang suspensinya iyig-iyig dan semakin mendekatkan saya sekeluarga kepada Tuhan dalam setiap perjalanan boleh sampean ambil deh.”

Sungguh saya lupa. Benar-benar lupa bahwa saya masih punya satu mobil lagi. Toyota Corolla Altis.

Beberapa hari kemudian Altis itu saya lego. Daripada mengulangi nasib nahas kayak gitu, kan kasihan. Bukannya Altis tidak oke sih driving experience-nya, tapi … gimana ya ….

Oh gini. Waktu itu saya kepincut mobil anyar dengan “taraf baru” yang seketika menjadikan Altis sekadar keset baginya. Honda New Accord.

Exit mobile version