Seorang laki-laki tinggi besar melompat dari kabin truk, memakai setelan celana jeans dan kemeja kotak-kotak tanpa lengan, ototnya terlihat menyembul keluar. Macho, meeen!
Adegan awal sebuah iklan minuman berenergi itu dulu kerap mengisi layar kaca di rumah kita.
Dulu, sopir truk memang identik dengan badan besar. La, kalau kecil, dijamin nggak bakal sanggup memutar setir yang ukurannya segede tampah itu. Apalagi dulu mobil-mobil besar sistem kemudinya belum memakai teknologi power steering. Pernah nonton film Speed, kan? Ingat waktu Sandra Bullock kewalahan membelokkan bus yang ia kemudikan sampai harus dibantu Keanu Reeves? Sangking beratnya itu setir, broh.
Itu baru bus. Apalagi truk yang bobotnya bisa dua atau tiga kali lipatnya.
Tapi sekarang, sopir truk nggak perlu berbadan besar. Sistem kemudinya sudah power steering: ringan, nggak jauh beda sama Avanza. Parkir bisa dengan satu tangan. Lingkar setirnya juga udah nggak segede tampah.
Hanya saja memang nggak semua orang bisa mengemudikan truk kalau belum terbiasa, meskipun sudah mahir mengemudikan mobil Avanza dan sejenisnya. Untuk belok saja, truk perlu haluan yang lebih lebar agar ban belakang mobil nggak keluar dari badan jalan. Apalagi trailer. Truk trailer itu kalau parkir mundur, setirnya kita putar ke kanan, buntut mobilnya ke kiri.
Saya termasuk orang yang beruntung memiliki kesempatan mengemudikan truk trailer. Meskipun sejujurnya saya nggak pernah mimpi bisa nyetir truk. Jangankan truk atau mobil, nyetir bajaj aja nggak pernah kepikiran. Bisa mengendarai motor saja sudah syukur.
Semua bermula saat saya kena PHK dari pabrik garmen tempat saya bekerja saat itu. Tahu saya sedang menganggur dan butuh dana untuk biaya kuliah, seorang teman menawarkan bekerja sebagai kernet paruh waktu mobil tangki Pertamina. Tanpa pikir panjang saya langsung menerima tawaran itu.
Dasar nasib baik lagi berpihak, bukannya jadi kernet freelance, saya malah ditawarkan untuk menjadi tenaga kontrak salah satu anak perusahaan Pertamina dengan gaji yang lumayan. Saat itu Pertamina tengah membuat terobosan dengan mengeluarkan 20 unit mobil tangki yang didesain khusus dengan sistem komputer, cikal bakal perusahaan Patra Niaga yang saat ini tengah didemo sebagian karyawannya karena pemecatan sepihak oleh vendor yang dikontraknya.
Singkat cerita, setelah wawancara, diterimalah saya jadi karyawan kontrak di salah satu anak perusahaan BUMN yang dulu berlogo kuda laut itu. Ditandai dengan diberikannya seragam khas Awak Mobil Tangki (AMT) lengkap dengan helm dan sepatu septi.
Awal kerja sebagai AMT, jangankan mengemudikan mobil, disuruh mencabut anak kunci mobil tangki dari lubang kuncinya saja saya butuh waktu satu jam.
Itu pun setelah saya nggak sengaja menyentuh tombol kecil khusus untuk melepaskan anak kunci dari lubangnya. Ndesooo, ndesooo ….
Bertahun berlalu. Sekarang, setiap hari saya mengendarai mobil truk yang kabin dan tangkinya bisa dilepas itu, yang panjangnya nyaris sepanjang rumah KPR yang saat ini saya tempati. Beneran. Nggak percaya? Silakan ukur sendiri.
Kalau Iqbal Aji Daryono sopir truk yang cuma memiliki SIM A, saya tiap hari mengendarai truk besar itu tanpa SIM. Lo, kok bisa? Ya bisalah, wong cuma sebatas ngantre dan memasukkan mobil ke dalam depot untuk diisi tangki besarnya dengan produk Pertamina. Setelah itu, saya jadi bos, duduk di samping Pak Sopir sambil buka gawai membaca Mojok.co.
La, situ kernetnya?
Ho’oh.
Adakah profesi yang lebih membahagiakan dari menjadi seorang kernet truk tangki? Keliling Jabodetabek sambil bermain gawai, update status di media sosial, kalau ngantuk tinggal merem diam-diam. Hehe.
Sebenarnya mata seorang kernet dibutuhkan untuk melihat bagian depan sebelah kiri yang kadang luput dari penglihatan sopir. Kalian yang suka selap-selip saat naik motor, hati-hati! Jangan sekali-sekali memotong dari sebelah kiri truk kalau nggak mau dicium bemper truk.
Itulah makanya kebanyakan sopir sering kesal dan mengumpat “Dasar kernet. Bukan orang!” ketika menyadari orang di sebelah kirinya tengah pulas tertidur dengan kepala tergolek dan mulut menganga Nggak usah dibayangin.
Di mata sopir, kernet memang bukan orang. Pernah seorang pengawas armada di tempat saya bekerja mencari salah seorang karyawan dan bertanya kepada sopir yang mobilnya terpakir, “Di mobil ada siapa?”
“Ngfak ada orang, Pak,” jawab si sopir.
“Lo, itu siapa?”
“Oh, itu kernet saya.”
Asem … asem …. dikira saya temennya B.J, kali. Tahu B.J., kan? Itu lo, film yang populer di tahun ‘80-an. Tentang sopir truk ganteng bernama Billie “Joe” McKay (disingkat B.J.) yang selalu pamer bulu dada dan didampingi teman sejatinya, Bear. Bear juga ganteng, bahkan bulunya nggak cuma di dada, tapi di sekujur tubuhnya sampai ke muka. Yaeyalah, Bear kan nyemot.
Sopir ya begitu itu kelakuannya, memperlakukan kernet seenak bodongnya. Suka lupa dengan job desc kernet. Entahlah, mereka mungkin membawa dendam turunan, sebab hampir semua sopir truk sebelumnya pernah jadi kernet. Kalau nggak jadi kernet mana bisa mereka langsung nyetir mobil segede gerbong kereta begitu. Sependek pengetahuan saya, belum ada sekolah khusus mengemudi truk.
Suatu ketika manajer saya menawari saya menjadi sopir. Dengan halus saya menolak. Selain mata saya yang silinder dan minus, saya punya alasan lain. Ketika didesak untuk menyebutkan alasan lain itu, saya terpaksa menjawab.
“Saya ingin merawat cita-cita saya, Pak. Profesi sopir kan udah mentok, nyaris nggak ada peningkatan profesi. Nggak punya cita-cita lagi.”
“Memang cita-cita kamu apa?”
“Ya jadi sopir, Pak! Apa lagi?”
“Hahaha. Dasar Betawi gemblung!” semprot Manajer saya dengan logat Jawanya sambil terbahak-bahak.