MOJOK.CO – Mengingat perjalanan hidup dengan sepeda. Dari kisah sepeda kumbang milik ayah, hingga sepeda lipat milik tetangga.
Pertama naik sepeda, saya dibonceng sepeda kumbang milik ayah. Saat itu saya masih kecil, karenanya, kaki saya diikat ke frame mengunakan jarik bermotif burung phoenik warna biru agar tidak masuk jari-jari sepeda kumbang Ayah. Saya ingat saat itu, kami pergi ke kantor pajak untuk membayar iuran televisi. Zaman itu, punya tivi masih bayar pajak penyiaran. Anak zaman ini mungkin tidak mengalami membayar pajak penyiaran maupun dibonceng sepeda kumbang.
Meski cuma sepeda kumbang, saat itu, tidak semua orang punya karena uang memiliki peredaran yang terbatas. Namun demikian, memiliki sepeda bukan berarti dianggap orang kaya, karena sepeda merupakan sebuah kebutuhan dibandingkan dengan kemewahan. Sepeda menjadi salah satu alat transportasi yang bisa diandalkan zaman itu. Selain dipakai sendiri, yang nggak punya sepeda bisa pakai ojek sepeda kalau sedang buru-buru. Zaman itu orang memang santai, ke mana-mana jalan kaki. Nggak seperti sekarang, mau ke warung depan aja milih naik motor—saking pengin menghemat waktu dan tenaganya.
Sepeda pertama yang saya gunakan adalah BMX lungsuran kakak saat SD. Saya ingat pertama belajar bersepeda kelas IV dan mulai lancar kelas V SD. Dibanding dengan teman seangkatan ataupun saudara, saya tergolong yang paling lambat bersepeda.
Di rumah saya (saat itu), sepeda adalah sebuah bukti prestasi. Karena, hanya anak yang dapat ranking 1 yang dibelikan sepeda oleh ibu. Sementara kakak saya tergolong pintar, karena itu hampir setiap tahun dia dibelikan sepeda baru (atau sesuatu yang baru seperti jam tangan Voltron dan lainnya).
Saya yang begonya (hampir) nggak ketulungan, selalu jalan kaki ke sekolah karena tidak punya sepeda. Kalau mengenang masa SD, rasanya jadi sedih-sedih gimana gitu. Saking begonya, kelas 1 saya ngulang (tinggal kelas atau nunggak) karena belum bisa membaca.
Setelah ngulang, baru kelas II saya tahu kalau bunyi “eng” adalah gabungan antara huruf “n” dan “g”. Begitu juga bunyi “eny“ adalah gabungan dari “n” dan ”y”. Itu pun yang ngasih tahu bukan ibu guru, tetapi Andika teman sebangku saya.
Benar, zaman dulu, anak SD duduknya pakai bangku panjang yang kayak di angkringan pinggir jalan (emang ada yang di tengah jalan, ya?). Berbeda dengan zaman sekarang yang duduknya udah satu anak pakai bangku sendiri. Jadi jangan bilang, “Masih enak zaman Bapakku, Tho?” Sungguh, itu dusta kawan!
Kembali ke urusan sepeda. Sesuai dengan namanya, BMX (bicycle motocross), dipakai secara ugal-ugalan oleh kakak. Sehingga ketika dilungsurkan, kondisinya sudah cukup memprihatinkan. Nggak lama dipakai, setang dan frame-nya langsung patah.
Kalau dipikir, kerusakan terjadi memang karena pemakaian. Sepeda Federal baru kakak saya juga mengalami hal serupa (patah di bagian frame). Untungnya pas patah udah kenaikan kelas, dan kakak dapat rangking 1 hingga langsung dibelikan sepeda baru.
Waktu itu, Federal adalah sepeda jenis terbaru dan merupakan model yang sedang ngehits. Setiap orang (saat itu) nggak paham, kalau Federal adalah merek sepeda. Sedangkan yang sedang populer adalah model sepedanya, yaitu sepeda MTB (mountain bike).
Dari banyak model sepeda saat itu, sepeda yang paling saya inginkan adalah sepeda balap. Saya berjuang sangat keras untuk bisa membeli sepeda tersebut. Otak saya yang pas-pasan, tidak mampu membuat saya rangking satu. Karena itu saya mengumpulkan uang untuk membelinya sendiri. Selain menyisihkan uang saku yang nggak seberapa, saya juga bekerja sambilan di bengkel sebelah rumah. Setelah setahun bekerja sambilan, akhirnya saya berhasil membeli sepeda balap idaman saya sebelum masuk SMP.
Kenapa pilih sepeda balap, bukankah MTB yang sedang populer?
Saya menginginkan sepeda balap setelah membaca novel remaja karya Stefan Wolf berjudul STOP. STOP adalah novel detektif asal Jerman Barat yang populer kala itu. Judul STOP adalah akronim dari nama anggota kelompok detektif yaitu: Sporty, Thomas, Oscar, dan Petra.
Nah, Sporty sebagai pimpinan kelompok itu memiliki sepeda balap, karena itu saya jadi pengin. Yang agak aneh di sini, meski saya bego soal pelajaran tapi saya masih boleh baca novel waktu SD. Nggak cuma STOP, saya juga baca Lima Sekawan (Enid Blyton), dan Trio Detektif (Alfred Hitchcock).
Nggak hanya itu alasan kenapa saya begitu ingin sepeda. Alasan lainnya adalah, karena saya harus melanjutkan ke SMP setelah lulus SD. Sementara sekolah SMP tidak ada yang dekat dengan rumah. Tentu akan sangat melelahkan kalau harus berjalan kaki.
Meski ketika itu udah banyak angkot, kondisi saya yang suka mabuk kendaraan menghalangi saya menggunakan moda transportasi ini. Selain itu, untuk anak di bawah umur, orang tua saya melarang menggunakan sepeda motor meski saya sudah bisa naik motor saat kelas 1 SMP.
Aturan naik motor di dalam keluarga saya memang ketat. Selain itu, aturan sekolah juga ketat untuk tidak memperbolehkan siswanya bawa motor. Akhirnya, saya naik sepeda atau jalan kaki sampai kelas II SMA saat saya dapat sim C.
Setelah naik motor, saya berhenti menggunakan sepeda. Karena nggak dipakai, sepeda balap saya rusak dan dijual kiloan. Lantas, hari-hari dilalui tanpa sepeda dan tanpa keinginan membeli sepeda.
Setelah menikah dan punya anak, saya kembali menggunakan sepeda. Hal itu karena anak saya suka minta dibonceng sepeda saat berangkat sekolah. Lantaran saya nggak punya sepeda, akhirnya hampir setiap hari pinjam sepeda lipat milik tetangga.
Tiap hari pinjem, pengin dong beli sepeda sendiri. Tapi setelah dicek, sepeda zaman sekarang kok mahal, ya? Malah banyak sepeda yang harganya lebih tinggi dari motor. Saya jadi mengurungkan niat membeli sepeda.
Untuk urusan hobi, tentu nggak ada istilah mahal. Mungkin itulah yang ada dalam benak para penggemar sepeda. Akan tetapi ingat ya, kalau udah jadi bapak-bapak, harus jujur sama istrinya. Jangan beli sepeda harga 15 juta terus ngakunya cuma 500 ribu. Fyi aja, nih. Seorang istri itu punya ilmu gabungan antara auditor keuangan dan intelejen. Jadi kalau mau bohong, yang agak realistis dikitlah. Lagian, zaman sekarang, mana ada sepeda bagus harganya 500 ribu? Wqwqwq.
Saya suka heran sama suami-suami zaman sekarang. Kalau di kantor suka mark-up. Eh, giliran kalau di rumah suka mark-down harga. Hadeeeh. Dasar, nggak konsisten.
Oh ya, kembali soal bersepeda. Bisa dibilang bersepeda zaman sekarang harusnya lebih seru. Banyak jalan yang udah ada jalur khusus untuk sepeda hingga bisa lebih aman dan nyaman. Namun, mungkin itu di kota lain. Pasalnya, kalau di kota saya, mohon maaf nih, jalur sepeda dipakai buat parkir mobil. Sementara trotoar dipakai buat jualan sama parkir motor. Jadi bingung, terus sepedaannya lewat mana?!1!!