Mercedes-Benz SLK250: Harga Tujuh Avanza, Kenyamanan Kalah Sama Innova

marcedes-benz-slk250-mojok

Tahun 2012, zaman kaya, akibat terprovokasi tumpakan Wahyu Subuh di sinetron Pesantren & Rock ‘n Roll, saya membeli mobil sport. Mercedes-Benz SLK250 warna putih. Belinya di Jakarta. Gres. Cash keras.

“Gila!” umpat saya kini, bukan dulu, “itu kalau dibeliin Avanza bisa dapat tujuh unit.”

Cc-nya tak seberapa besar memang, tapi dengan jejalan teknologi ala mobil sport, jadilah tenaga dan torsinya sangat luar biasa. Sekali injak gas, bablas seluruh Avanza yang demen ngebut saat lampu merah masih menyisakan dua tiga detik menuju hijau itu. Atapnya bisa dibuka, kursinya dua. Pajaknya lima belas juta setahun.

Suatu kali, dengan mengenakan kacamata hitam empat puluh ribu yang saya beli di tepian jalan depan kampus UNY, saya buka atapnya sambil nganter anak ke sekolah. Tentu saja di Yogya, mobil langka beginian seketika jadi pusat perhatian.

Di perempatan Gedongkuning beberapa polisi memperhatikan mobil saya. Sangat lekat. Pulangnya, saya diberhentikan di jalan yang sama. Saya pun menepi. Saya salah apa?

Rupanya polisi-polisi itu sekadar ingin tanya-tanya soal Benz ini. Mulai dari mesin, suspensi, sistem pengereman, sound system, harga, dan pajaknya. Juga kacamata saya.

Mereka lantas minta izin berfoto, tentu saja saya persilakan. Kami pun bersalaman. Polisi memang sahabat rakyat.

Soal kacamata ini yang bikin saya cengar-cengir sepanjang jalan. Setelah membahas beberapa hal tentang mobil, seorang polisi menggumam kepada temannya.

Mobile wae semono, kacamatane ra patut nek rego selawenan, mesti kui jutaan. Awak dewe ki kapan iso ngono, Dab …” (Mobilnya aja segitu, kacamatanya nggak mungkin dua puluh lima ribuan, pasti jutaan. Kita kapan bisa kayak gitu, Bro).

Anjrit, orang-orang bisa semudah itu tertipu penampilan. Pantas banyak penipu bisa menipu dengan sekadar berpenampilan luxury, padahal aslinya kere bundas.

Seiring berjalannya waktu, saya makin jarang pakai mobil itu. Ada beberapa sebab.

Pertama, mobil sport jauh dari rasa nyaman. Sempit, ceper banget, akselerasi kasar, dan jangan bayangkan bisa leluasa bawa teman, keluarga, dan barang-barang. Dibanding Honda All New Accord atau Toyota All New Camry yang juga powerful, jelas SLK250 kebanting banyak soal kenyamanan.

Bayangkan, di Yogya yang satu-satunya jalan cepat ialah Ring Road alias jalan lingkar, mau digeber kayak gimana tenaga 250 kuda yang bertapa di jeroan mesin SLK250 itu? Baru bejek sekian meter, gangguan melintang. Terutama dari kaum emak-emak pengemudi matic. Ring Road jelas beda jauh sama tol dalam hal keamanan dari pengemudi-pengemudi lain. Yogya jelas sama sekali tak punya ruang memadai untuk menggeber SLK250 sampai kuda-kudanya njenggirat semua.

Kedua, umur saya yang kala itu telah menyentuh angka 35 membuat saya malu sendiri. Ke mana-mana jadi pusat perhatian. Ternyata, Bro, sangat nggak enak jadi pusat perhatian macam seleb. Diparkir di mana pun, amat kerap saya menjumpai orang-orang selfie di mobil saya. Saya risi sendiri ketika harus menunggu lama untuk naik ke mobil sendiri gara-gara ada sekelompok remaja (pernah juga emak-emak gaul) sedang asyik ber-selfie. Pernah nyaris lima belas menit saya menunggu sampai akhirnya saya mendekat sembari memencet remote dan berkata, “Nuwun sewu, selfie-selfiene sampun nggeh?” (Permisi, selfie-nya sudah ya?) Mereka mengangguk saling melirik rendah, menyilakan saya naik ke mobil saya sendiri. Dan kejadian begini berkali-kali terjadi.

Ketiga, biaya perawatannya sungguh mahabajilak. Boro-boro ganti spare part, sekadar servis rutin di Kalimas, biayanya bisa beli setengah Mio. Dua kali servis rutin, dapat satu Mio. Gres. Memang sih sejak awal beli saya sudah paham risiko tersebut, tapi ya nggak sekampret itu juga kali.

Karena jarang saya pakai, saya sampai lalai memanaskan mesinnya selama nyaris dua minggu. Begitu saya starter suatu hari, aki nggak ngangkat. Anjrit, soak! Saya minta teknisi Kalimas menyervis. Sarannya: ganti aki.

“Berapa?”

“Harus inden, Pak. Kira-kira lima belas juta.”

Anjay! Aki lima belas juta, Broooh! Itu kalau dipake beli kolak, bisa buat luluran seluruh warga UIN Yogya lo.

Akhirnya, tahun 2015 saya menjualnya. Susah banget mendapatkan pembeli. Setelah beberapa waktu, dibelilah mobil itu oleh seseorang dengan harga yang anjloknya dari harga baru bisa untuk membiayai kawinan semua kru Mojok.

Saya pikir-pikir, tafakur dan tadabur pada iktikaf yang panjang, saya heran sama diri sendiri. Tinggal di Yogya kok beli mobil sport. Jelas tidak efektif, efisien, dan mubazir. Ibaratnya orang menikah dengan biaya yang tak sedikit, tapi pasangannya hanya dijadikan teman diskusi soal Habib Rizieq, Jonru, Fahri Hamzah, dan Fadli Zon belaka. Betapa sia-sianya. Begitulah taubatan nashuhah yang terpatri di dalam dada ….

Tapi, dasar manusia ya, kebodohan serupa saya ulangi lagi di ujung 2016. Lupa saya sama tobat sendiri. Berbekal niat mulia menghadiahi anak cewek sulung yang mau SMA, saya beli MINI Cooper. Di Jakarta. Cash keras lagi. Saya pikir mobil kategori city car tapi sport ini cocoklah buat cewek abegeh.

Beberapa minggu di rumah, saya lihat anak saya hanya dua kali menggunakannya. Selebihnya ia pakai Yaris. Atau kadang CR-V. Saya tanya, “Kenapa MINI Cooper-nya kok nggak dipakai?” Ealah, jawabannya bikin saya merasa gagal membahagiakannya: “Mobilnya nggak enak, Yah, mesinnya kasar. Digas dikit kayak lompat. Sempit pula, kasihan kalau pas bareng teman-teman, yang harus duduk di belakang katanya sesak banget, bikin mual-mual.”

Allah! Tiba-tiba saya ingat Alphard yang alkampret itu.

Sekira tiga bulan saja MINI Cooper itu ada di rumah sebelum saya jual ke Jakarta lagi. Ruginya bisa buat beli Ninja 250 ABS gres. Asyuuu!

Saya tanya anggota keluarga saat ngumpul di suatu malam yang hangat. “Sebenarnya kalian ini senangnya mobil apa?”

Mereka kompak menjawab. “Kalau rame-rame, Innova. Kalau empat lima orang, CR-V atau Accord. Kalau lebih sedikit lagi, Yaris atau Jazz udah enak banget.”

“Jadi … jadi … kalian semua ….”

“Kami nggak butuh mobil sport, Yah! termasuk Alkampret!”

Exit mobile version