MOJOK.CO – Honda Mobilio yang sering diremehkan sebagai “family car” ini tetap mampu melahap tanjakan Sarangan yang ekstrem itu.
Sewaktu masih kerja di perusahaan travel agent, kira-kira awal 2014, saya punya juragan yang kebetulan agak hobi gonta-ganti mobil. Lebih tepatnya menambah jumlah mobil di garasi. Namanya saja bisnis travel agent.
Waktu itu, bisnis travel agent sedang ranum-ranumnya. Setiap ada mobil keluaran baru yang menurut beliau menarik, sudah pasti dibeli. Tujuannya tentu dipakai sendiri dan kalau ada yang mau menyewa, sudah pasti disewakan, alias dijadikan mobil rental.
Pada saat itu, Honda Mobilio mulai masuk Indonesia. Saat masih hangat-hangatnya, tanpa menunggu lama, juragan saya sudah membawa Honda Mobilio baru ke kantor.
Enggak tanggung-tanggung, yang diboyong adalah Honda Mobilio RS. Sebagai karyawan (yang mencoba) teladan pada saat itu, saya cuma bisa bersyukur. “Alhamdulillah, punya tumpangan baru.” Suara hati seorang staf, merangkap sopir AKAP yang sering diajak jalan-jalan nyupirin Bu Juragan. Ora nduweni nanging iso numpaki… mobilnya cuuuk! Pikirane mbok tulung.
Kesan pertama saya menatap Honda Mobilio baru di parkiran depan kantor; mobil ini unisex sekali. Saya ingin mengatakan mobil ini ganteng atau cantik, tapi takut dianggap sebagai orang yang suka membedakan gender. Tapi jujur saja, siapa pun yang mengendarai Honda Mobilio RS ini, benar-benar terlihat sebagai seorang family man atau family woman. Membuat pengendaranya jadi lebih berwibawa.
Bagaimana tidak? Mobil dengan tujuh kursi penumpang, velg two tone 15 inci, body kit-nya sporty, lampu depan sudah LED. Kurang good looking apa lagi kalau sudah begini? Walaupun bentuknya secara umum seperti Brio yang dipanjangkan pantatnya.
Sejak kehadirannya, mobil ini lebih sering dipakai Bu Juragan belanja ke pasar. Biasanya, bagasi belakang Honda Mobilio baru itu akan penuh dengan sembako dan sayuran. Ada yang buat di rumah, ada yang dibagi-bagikan.
Honda Mobilio baru itu, sekalinya keluar Jogja, langsung dibawa antar-kota antar-provinsi. Pernah juga dibawa roadshow setengah Pulau Jawa. Tentu saja, saya yang nyopiri Bu Juragan. The one and only driver she can trust. Halah!
Roadshow ini isinya semacam promosi kepada mitra atau calon pelanggan dari kota ke kota. Semacam sales call begitulah. Waktu itu, rutenya dari Yogyakarta, Semarang, Pekalongan, Pemalang, Cirebon, Bogor, Bandung, Purwokerto, dan kembali ke Jogja. Mampus tuh pantat.
Kesan pertama saya mengendarai Honda Mobilio RS ini adalah joknya yang enak betul. Semi bucket. Jadi, punggung bakal terasa lebih nyaman. Audio sudah double din, dengan speaker yang suaranya cukup lumayan untuk telinga saya yang tidak peka-peka amat sama nada. Tombol-tombolan di setir jadi lebih enak saat mengubah channel radio atau playlist musik. Lalu, Honda Mobilio adalah mobil matik kedua yang saya kendarai setelah Nissan March yang dulu Bu Juragan sempat punya.
Dalam kondisi santai dan pelan, Honda Mobilio ini memang nyaman. Suspensinya enak. Tapi begitu agak ngebut sedikit, kenyamanan itu menjadi sesuatu yang morat-marit. Suara ban dan angin tembus hingga ke dalam kabin. Selain itu, guncangan saat melewati jalanan bergelombang dari Semarang hingga Pemalang benar-benar meresap hingga ke tulang belakang. Untung sedikit tertolong berkat jok bucket meski tidak terlalu signifikan.
Yang layak diacungi jempol, empat kalau bisa, adalah, pertama, stabilitasnya mantap betul. Saat masih naik daunnya Tol Cipali, dari Cirebon menuju Bogor, gas terus di 140, kadang 150 kilometer per jam. Mobil ini tetap stabil dengan empat penumpang dan barang-barang roadshow di belakang. Efek sampingnya adalah suara ban dan angin tembus ke kabin. Hadeeeh.
Kedua, Bu Juragan pernah memakai mobil ini untuk mudik sekeluarga ke Bojonegoro, tapi lewat jalur Sarangan, Magetan, sekalian mampir tempat saudaranya. Total ada tujuh penumpang termasuk saya sebagai sopir cadangan soalnya yang nyetir Pak Juragan.
Dengan kondisi full seat serta jalan berkelok naik dan turun, Honda Mobilio ini sanggup melalui jalur perbukitan Sarangan tanpa ngos-ngosan. Meskipun setelah melewati tanjakan ada bau-bau sangit seperti sesuatu yang terbakar. Setidaknya keberhasilan mendaki tanjakan Sarangan menjadi bukti bahwa Honda Mobilio dengan CVT-nya tidak bisa diremehkan.
Ketiga, saya pernah meminjam mobil ini untuk kondangan ke Kebumen. Waktu itu, karena ingin menambah jam terbang mengemudikan mobil matik, dan sayang sama rambut ikal gondrong seleher yang harus creambath seminggu sekali, saya memberanikan diri pinjam mobil.
Saat itu, saya ditemani enam jok kosong alias sendiran saja. Yah, meski sendirian saja hingga saat ini, saya bersyukur Honda Mobilio nggak bikin dompet saya jebol karena harus sering-sering mengisi bensin.
Jogja-Kebumen kota PP hanya menghabiskan selembar uang merah seratus ribu. Dengan gaya mengemudi yang selow seperti orang sedang yang-yangan, menikmati enaknya mobil matik dan kaki kiri naik.
Ya, mobil ini memang membuat saya lebih percaya diri untuk belajar menjadi seorang family man yang sampai lokasi kondangan malah mendapat pertanyaan: “Kok dewekan?”
Rasanya ingin sekali daku mengobrak-abrik pelaminan temanku itu.
BACA JUGA Menyiksa Honda Brio Satya dengan Membawa Beban Setengah Ton di Tol Trans-Jawa dan pengalaman menarik lainnya bersama kendaraan di rubrik OTOMOJOK.